KABUL (Arrahmah.com) — Taliban membantah tuduhan yang dibuat dalam laporan terbaru Human Rights Watch (HRW) tentang keterlibatan mereka dalam kematian dan penghilangan paksa lebih dari 100 mantan pasukan Afghanistan. Hal itu diungkapkan anggota Komisi Kebudayaan Taliban, Bilal Karimi.
Sebelumnya HRW menerbitkan sebuah laporan tentang pembunuhan balas dendam di Afghanistan setelah runtuhnya pemerintah Afghanistan yang didukung Amerika Serikat (AS) pada bulan Agustus lalu.
Menurut temuan HRW, Taliban telah mengeksekusi atau menghilangkan secara paksa lebih dari 100 mantan polisi dan perwira intelijen hanya di empat provinsi selama beberapa bulan terakhir meskipun telah mengumumkan amnesti.
“Saya sangat menolak laporan ini. Tidak ada seorang pun yang dibunuh oleh Mujahidin Imarah Islam atas nama menjadi tentara di pemerintahan sebelumnya, atau bekerja di bidang lain. Mereka tidak dirugikan,” kata Karimi seperti dikutip dari Sputnik, Rabu (1/12/2021).
Dikatakan oleh Karimi bahwa pasukan Taliban tidak diperbolehkan untuk menyakiti mantan pejabat, dan jika insiden seperti itu terjadi, mereka disebabkan oleh permusuhan pribadi dan tidak disetujui oleh pihak berwenang.
“Beberapa dari mereka yang terlibat telah ditangkap dan diserahkan ke kantor kejaksaan,” kata perwakilan Taliban itu.
Karimi mengatakan beberapa dari mereka yang ditangkap juga terlibat dalam penyelundupan narkoba dan senjata dan diadili dengan alasan itu.
“Kami tidak mengkonfirmasi laporan apa pun dari Human Rights Watch bahwa ratusan orang telah terbunuh, karena ini adalah angka yang sangat besar dan insiden yang terjadi adalah karena permusuhan pribadi,” tegasnya.
Pada gilirannya, HRW mengatakan Taliban biasanya menyangkal keterlibatan mereka dalam pembunuhan balas dendam dan secara konsisten gagal menuntut mereka yang bertanggung jawab.
“Amnesti yang dijanjikan kepemimpinan Taliban tidak menghentikan komandan lokal untuk mengeksekusi atau menghilangkan mantan anggota pasukan keamanan Afghanistan. Beban ada pada Taliban untuk mencegah pembunuhan lebih lanjut, meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab, dan memberi kompensasi kepada keluarga korban,” kata Patricia Gossman, direktur asosiasi Asia di Human Rights Watch, dalam sebuah pernyataan.
Untuk mengidentifikasi kasus, pengawas hak asasi manusia itu mewawancarai 40 orang secara langsung di empat provinsi dan 27 lainnya melalui telepon, di antaranya adalah saksi, kerabat dan teman korban, mantan pejabat pemerintah, jurnalis, petugas kesehatan, serta anggota Taliban.
Pada pertengahan 2021, Taliban memimpin serangan besar-besaran di Afghanistan selama penarikan pasukan AS dari negara itu. Mereka kemudian mengambil alih pemerintahan pada bulan Agustus. Pada awal September, Taliban membentuk pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Mohammad Hassan Akhund. (hanoum/arrahmah.com)