JAKARTA (Arrahmah.com) – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Ansyad Mbai mengklaim, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan berlangsung pada 2014 ancaman “teror” di Indonesia cukup tinggi. Sebab itu, kewaspadaan masyarakat harus ditingkatkan.
“Ya betul, dalam 2013-2014 harus diwaspadai karena aksi teror cukup tinggi, karena tahun politik, ujar Ansyaad saat ditemui wartawan di kantor BNPT, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/5/2013).
Dengan enteng, Ansyaad mengatakan saat ini jumlah teroris yang masih berkilaran mencapai ratusan orang. Namun, jumlah tersebut belum dapat dipastikan, lantaran masih dapat bertambah setiap harinya. “Karena mereka setiap saat selalu merekrut orang-orang baru,” tutur dia.
Seandainya hal itu benar maka sangat mudah bagi polisi menangkap mereka, dengan cara yang biasa, tidak berlebih-lebihan. Karena sudah termonitor dan terukur kekuatan mereka. Data telah lengkap, alat pendeteksi canggih, personel ada, idealnya bisa dibekuk dengan cara yang canggih.
Menurut Tjatur Sapto Edi, Wakil Ketua Komisi III DPR RI mengungkapkan bahwa menembak mati terduga teroris itu belum canggih.
“Soal teroris, ini bukti Densus belum canggih. Kalau bisa lumpuhkan saja dan bisa dapat informasi lebih dalam,” katanya.
Masih mengomentari kerja Densus yang serampangan dalam apa yang disebut dengan “kampanye memberantas teroris”. Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, kembali mengkritik Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri. Menurutnya, Densus terkesan tidak profesional, membabi-buta, dan selalu menembak mati sasarannya dalam upaya mereka memberantas teroris.
Din berpendapat, cara-cara seperti itu akhirnya membuat aktor intelektual dari aksi terorisme tidak terungkap. “Maka terjadilah pelestarian terorisme dan pelanggengan pemberantasan terorisme itu,” kata Din kepada VIVAnews, Jumat (10/5).
Din menyatakan, semua pihak tentu mendukung pemberantasan terorisme karena terorisme adalah musuh bangsa dan negara, serta kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan. Namun pendekatan pemberantasan terorisme terhadap terduga teroris harus profesional, transparan, tidak melanggar hukum dan HAM, melabrak simbol-simbol keagamaan, dan sungguh-sungguh bertujuan menyingkap dalang utama.
Bahkan pengamat terorisme Mustofa Nahrawardaya melalui akun twitternya Jumat (10/5) mempertanyakan langkah Detesemen dengan lambang burung hantu ini, yang menembak mati terduga teroris dengan alasan terduga melawan dan tidak kooperatif maka terjadilah “baku tembak”. “Baku tembak” berjam-jam artinya ada ribuan peluru yang ada disistu.
Selain itu Koordinator Indonesia Crime Analyst Forum ini, sempat menerima pengakuan mengagetkan dari para terduga teroris yang dilepas oleh Densus 88 dengan kondisi hidup dan mengalami cacat seumur hidup. Dalam pengakuannya, “mereka dipaksa mengakui apa yang TIDAK mereka lakukan. Penyiksaan yang diterima adalah akibat menolak “keinginan” aparat. Yang lebih miris, papar Mustofa, “ternyata orang-orang yang telah dilepas beberapa tahun silam, sebagian akhirnya tewas juga dalam aksi penyerbuan Densus di kemudian hari,” tulisnya. (azmuttaqin/arrahmah.com)