BANDAR SERI BEGAWAN (Arrahmah.com) – Ketika kerajaan Brunei yang kecil dan kaya minyak pertama kali mengumumkan pada 2013 bahwa mereka akan mengadopsi hukum Islam, termasuk merajam sampai mati pelaku homoseksual, banyak orang di komunitas LGBT di negara itu diduga melarikan diri.
Tetapi ada beberapa yang tetap tinggal, dan berharap bahwa hukum yang akan ditetapkan secara resmi pada 3 April tidak akan pernah terjadi.
“Ini benar-benar menakutkan,” kata Khairul, seorang lelaki gay muda di Brunei yang berbicara dengan CNN melalui telepon, Selasa (2/4/2019).
Dia dan yang lainnya yang diwawancarai oleh CNN meminta agar identitas asli mereka disembunyikan karena takut.
Wanita transgender, Zain, kabur dari Brunei pada akhir 2018 dan sekarang mencari suaka di Kanada.
Zain juga mengajak rekan-rekannya untuk meninggalkan negara itu.
“Saya hanya ingin teman-teman LGBT saya aman, dan jika mungkin keluar dari Brunei,” kata Zain.
Kesultanan Brunei Darussalam mempunyai alasan untuk menerapkan hukum cambuk hingga rajam sampai mati terhadap kaum penyuka sesama jenis atau lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Menurutnya, hal itu untuk melindungi dan mendidik warganya.
Pernyataan itu dilontarkan Brunei menyusul kritikan hingga kecaman yang muncul atas penolakan terhadap penerapan hukum syariat Islam tersebut.
“Undang-undang (syariah), selain menghalangi tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam, juga bertujuan untuk mendidik, menghormati, dan melindungi hak-hak yang sah dari semua individu, masyarakat, dari setiap agama dan ras,” demikian bunyi pernyataan kantor Sultan sekaligus Perdana Menteri Brunei Darussalam, Hassanal Bolkiah, seperti dikutip Reuters pada Selasa (2/4).
Sebelumnya, Sultan Hassanal Bolkiah juga meminta agar semua pihak menghormati Brunei Darussalam meski tidak setuju dengan penerapan Hukum Pidana Syariat Islam yang mencakup eksekusi rajam sampai mati bagi pelaku zina dan hubungan seks sesama jenis.
Seruan Sultan Bolkiah untuk menghormati aturan di Brunei itu muncul dalam situs web pemerintah setempat.
“Pemerintah tidak mengharapkan orang lain untuk menerima dan setuju dengan itu, tetapi akan cukup jika mereka menghormati bangsa dengan cara yang sama seperti itu juga menghormati mereka,” demikian bunyi pernyataan di situs tersebut.
(ameera/arrahmah.com)