JAKARTA (Arrahmah.com) – Diantara dosa besar yang mungkin jarang diketahui oleh kaum Muslimin adalah dosa takhbib. Melakukan takhbib berarti seorang Muslim menjadi penyebab perceraian dan kerusakan rumah tangga orang lain. Bentuk takhbib sangat beragam, disadari atau tidak, perilaku takhbib dapat berupa sehalus-halusnya nasihat, dukungan, sampai seburuk-buruknya penggodaan kepada seseorang yang sudah bersuami atau beristeri.
Karena kehadiran orang selain pasangannya, dapat membuat seorang wanita menjadi benci kepada suaminya dan meminta untuk berpisah dari suaminya, atau pun sebaliknya. Berikut sepenggal dari ulasan fiqih munakahat yang Arrahmah kutip dari Ustadz Ammi Nur Baits dari berbagai sumber, Sabtu (25/4/2015).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadis, memberikan ancaman keras untuk pelanggaran semacam ini. Diantaranya,
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امرَأَةً عَلَى زَوجِهَا
“Bukan bagian dariku seseorang yang melakukan takhbib terhadap seorang wanita, sehingga dia melawan suaminya.”
(HR. Abu Daud 2175 dan dishahihkan al-Albani)
2. Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya maka dia bukan bagian dariku.”
(HR. Ahmad 9157 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Dalam penjelasannya tentang bahaya cinta buta, Ibnul Qoyim menjelaskan tentang dosa takhbib,
وقد لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم من فعل ذلك ، وتبرأ منه ، وهو من أكبر الكبائر ، وإذا كان النبي صلى الله عليه وسلم قد نهى أن يخطب الرجل على خطبة أخيه وأن يستام على سومه : فكيف بمن يسعى بالتفريق بينه وبين امرأته وأمته حتى يتصل بهما
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat orang yang melakukan takhbib, dan beliau berlepas diri dari pelakunya. Takhbib termasuk salah satu dosa besar. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk meminang wanita yang telah dilamar oleh lelaki lain, dan melarang seseorang menawar barang yang sedang ditawar orang lain, maka bagaimana lagi dengan orang yang berusaha memisahkan antara seorang suami dengan istrinya atau budaknya, sehingga dia bisa menjalin hubungan dengannya.
(al-Jawab al-Kafi, hlm. 154).
Bahkan, karena besarnya dosa takhbib, Syaikhul Islam melarang menjadi makmum di belakang imam yang melakukan takhbib, sehingga bisa menikahi wanita tersebut.
(Majmu’ Fatawa, 23/363).
Makna Takhbib
Dalam Syarah Sunan Abu Daud Adzim Abadi (w. 1329 H) menjelaskan, takhbib secara bahasa artinya menipu dan merusak. Dengan menyebut-nyebut kejelekan suami di hadapan istrinya atau kebaikan lelaki lain di depan wanita itu. (Aunul Ma’bud, 6/159).
Di bagian lain, beliau juga menyebutkan,
مَنْ خَبَّب زوجة امرئ أي خدعها وأفسدها أو حسن إليها الطلاق ليتزوجها أو يزوجها لغيره أو غير ذلك
‘Siapa yang melakukan takhbib terhadap istri seseorang’ maknanya adalah siapa yang menipu wanita itu, merusak keluarganya atau memotivasinya agar cerai dengan suaminya, agar dia bisa menikah dengannya atau menikah dengan lelaki lain atau cara yang lainnya.
(Aunul Ma’bud, 14/52).
Ad-Dzahabi mendefinisikan takhbib,
إفساد قلب المرأة على زوجها
“Merusak hati wanita terhadap suaminya.” (al-Kabair, hal. 209).
Dalam Fatwa Islam, usaha memisahkan wanita dari suaminya, tidak hanya dalam bentuk memotivasi si wanita untuk menuntut cerai dari suaminya.
Yang juga termasuk takhbib adalah ketika seseorang memberikan perhatian, empati, menjadi teman curhat terhadap wanita yang sedang ada masalah dengan keluarganya.
وإفساد الزوجة على زوجها ليس فقط بأن تطلب منها الطلاق ، بل إن محاولة ملامسة العواطف والمشاعر ، والتسبب في تعليقها بك أعظم إفساد ، وأشنع مسعى يمكن أن يسعى به بين الناس .
“Merusak hubungan istri dengan suaminya, tidak hanya dalam bentuk memotivasi dia untuk menggugat cerai. Bahkan semata upaya memberikan empati, belas kasihan, berbagi rasa, dan segala sebab yang membuat si wanita menjadi jatuh cinta kepadamu, merupakan bentuk merusak (keluarga) yang serius, dan usaha paling licik yang mungkin bisa dilakukan seseorang.”
(Fatwa Islam, no. 84849)
Astaghfirullahal adziim, semoga kita terhindar dari kerusakan takhbib dan sifat sedemikian. Aammiin.
(adibahasan/ufi/arrahmah.com)