DAMASKUS (Arrahmah.id) — Warga Suriah turun ke jalan di Suriah selatan untuk memprotes perluasan wilayah Israel ke negara itu dan pernyataan perdana menterinya bahwa angkatan bersenjata Suriah tidak dapat bergerak ke selatan ibu kota.
Dalam pidatonya pada hari Ahad (23/2/2025), Benjamin Netanyahu mengatakan dia tidak akan mengizinkan pasukan penguasa baru Suriah untuk “memasuki wilayah selatan Damaskus”.
“Perlu dicatat: Kami tidak akan mengizinkan tentara baru Suriah memasuki wilayah selatan Damaskus,” katanya, dikutip dari Middle East Eye (24/2).
“Kami menuntut demiliterisasi penuh Suriah selatan dari pasukan rezim baru Suriah di provinsi Quneitra, Daraa, dan Sweida,” tambahnya.
Pernyataan itu disambut dengan kemarahan yang meluas di seluruh Suriah, khususnya di selatan setelah berminggu-minggu Israel maju dan menduduki wilayah tersebut.
“Saya pikir dia seorang oportunis dan dia mencoba memanfaatkan momen ini di mana dia tampaknya mendapat dukungan dari [Presiden AS Donald] Trump, bersama dengan dukungan para ekstremis dalam pemerintahan Amerika untuk melemahkan Suriah yang baru,” Robin Yassin-Kassab, seorang pakar konflik Suriah, mengatakan kepada Middle East Eye.
Dalam pidatonya, Netanyahu secara khusus menyebutkan komunitas Druze Suriah, yang sebagian besar tinggal di Sweida, dalam upaya yang sudah lazim untuk merayu dukungan dari kaum minoritas.
“Kami tidak akan menoleransi ancaman apa pun terhadap komunitas Druze di Suriah selatan,” katanya.
Meskipun kata-katanya menggemakan upaya pemerintahnya untuk “memperkuat” hubungan dengan kelompok agama yang mereka anggap “bersahabat” di wilayah tersebut, perasaan tersebut sejauh ini belum berbalas dari Druze Suriah.
Sheikh Hikmat al-Hijri, pemimpin komunitas di Suriah, sebelumnya mengutuk invasi Israel ke wilayah Suriah, yang dimulai setelah jatuhnya mantan presiden Bashar al-Assad pada bulan Desember.
“Orang-orang Druze ingin tetap tinggal di tanah mereka dengan privasi, tetapi ini telah menjadi masalah internasional,” kata Hijri pada bulan Desember. “Invasi adalah sesuatu yang harus ditangani oleh semua negara.”
Menurut Yassin-Kassab, Netanyahu “jelas mencoba memecah belah Suriah. Sungguh nakal, dia berbicara tentang melindungi Druze.
“Dia menciptakan situasi yang tidak ada,” tambahnya.
Berkumpul di alun-alun umum di provinsi-provinsi yang disebutkan oleh Netanyahu, warga Suriah menyatakan penolakan tegas mereka terhadap demiliterisasi apa pun pada hari Senin.
“Netanyahu, dasar babi, Suriah bukan untuk perpecahan,” teriak mereka di Daraa, bersamaan dengan “Suriah bebas, Israel keluar!”
Sementara itu, pengunjuk rasa Druze menggelar demonstrasi di Sweida, membawa spanduk yang menolak perambahan Israel di wilayah mereka.
“Orang-orang Sweida adalah bagian dari Suriah dan tidak akan menerima apa pun kecuali negara Suriah. Hukum Suriah adalah pelindung mereka dan penjamin hak-hak mereka,” tulis salah satu plakat.
Sementara itu, di Quneitra, orang-orang mengangkat spanduk yang menekankan bahwa mereka adalah bagian dari Suriah dan menolak pendudukan Israel apa pun.
Sebagian besar provinsi Quneitra telah diduduki oleh Israel sejak 1967.
“Gagasan bahwa tentara Suriah tidak akan diizinkan untuk ditempatkan di selatan Damaskus sangat mengerikan,” kata Yassin-Kassab.
“Tentu saja, pemerintah Suriah tidak dapat menerima hal itu, dan hal itu menempatkan mereka dalam situasi yang sangat sulit. Hal itu menunjukkan bahwa Israel akan memperlakukan tentara Suriah sebagaimana memperlakukan Hizbullah.”
Tentara Israel sesekali telah mengebom Lebanon selatan sejak gencatan senjata dengan Hizbullah pada bulan November, dengan mengklaim menyerang target milik kelompok Lebanon tersebut.
Di Suriah, Israel dengan cepat mengebom pangkalan militer, kendaraan, dan peralatan yang tak terhitung jumlahnya sejak pemerintahan Assad jatuh. (hanoum/arrahmah.id)