KHARTOUM (Arrahmah.com) — Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok mengundurkan diri, menurut video yang diunggah pada Ahad (2/1/2022) di akun YouTube pemerintah yang terverifikasi.
Pengumuman itu muncul setelah tiga pengunjuk rasa dibunuh oleh pasukan keamanan Sudan, selama demonstrasi anti-kudeta di dekat ibu kota pada hari yang sama, kata Komite Dokter Pusat Sudan (SCDC) yang bersekutu dengan warga sipil melansir CNN (2/1).
Dalam video pengumuman pengunduran dirinya yang disiarkan televisi, Hamdok mengklaim mundur untuk memberi jalan “bagi anak putra atau putri” bangsa itu menyelesaikan masa transisi.
Dia juga memuji rakyat Sudan atas tekad mereka dalam menuntut “kebebasan dan keadilan” selama protes.
“Anda pasti akan memiliki masa depan yang lebih baik dengan antusiasme revolusioner Anda,” ujarnya.
“Perlu disebutkan di sini bahwa penerimaan saya atas tugas untuk jabatan perdana menteri pada Agustus 2019 didasarkan pada dokumen konstitusional dan konsensus politik antara komponen sipil dan militer, yang saya rekomendasikan sebagai model khas Sudan, tetapi itu tidak bertahan dengan tingkat komitmen dan keselarasan yang sama dengan saat itu dimulai,” kata Hamdok.
Sudan telah diperintah oleh aliansi yang tidak mudah antara militer dan kelompok-kelompok sipil sejak 2019. Namun pada Oktober, militer secara efektif mengambil kendali, membubarkan Dewan Berdaulat dan pemerintah transisi, dan menahan sementara Perdana Menteri Hamdok.
Panglima militer Sudan, Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan, mengembalikan posisi Hamdok pada November sebagai bagian dari kesepakatan antara kepemimpinan militer dan sipil.
Di bawah kesepakatan yang disepakati oleh Hamdok dan Al-Burhan, Hamdok akan kembali menjadi pemimpin pemerintahan transisi, yang pertama kali didirikan setelah Presiden Omar al-Bashir digulingkan pada 2019.
Pengunduran diri Hamdok menyusul berita bahwa tiga lagi demonstran pro-demokrasi dibunuh oleh pasukan keamanan Sudan.
Dua dari pengunjuk rasa ditembak di dada sementara yang ketiga meninggal karena “luka parah di kepala,” kata SCDC.
Berbagai kantor berita dan video media sosial menunjukkan sekelompok demonstran berlari melalui gumpalan asap gas air mata putih, dan membubarkan diri mendengar suara yang diklaim sebagai tembakan senjata api.
Demonstrasi tersebut berlangsung menyusul padamnya internet dan jaringan telepon seluler.
Protes Ahad (2/1) di Omdurman, sekitar 25 kilometer (16 mil) barat laut Khartoum, adalah hari ke-14 demonstrasi massa, menentang kekuasaan militer sejak kudeta 25 Oktober.
Setidaknya 57 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak itu, menurut laporan SCDC.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengeluarkan pernyataan pada Hari Tahun Baru, juga hari kemerdekaan Sudan, memperingati 66 tahun kemerdekaannya dan mengkritik serangan kekerasan terhadap warga sipil oleh dinas keamanan Sudan.
“Kami berharap 2021 akan menawarkan kesempatan untuk bermitra dengan Sudan yang demokratis, tetapi perebutan kekuasaan militer pada Oktober dan kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai telah meragukan masa depan itu,” kata Blinken dalam pernyataan itu.
“Kami tidak ingin kembali ke masa lalu dan siap untuk menanggapi mereka yang berusaha menghalangi aspirasi rakyat Sudan, untuk pemerintahan demokratis yang dipimpin sipil dan yang akan memegang akuntabilitas, keadilan, dan perdamaian.”
Blinken menuntut pasukan keamanan “segera menghentikan penggunaan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa”, dan memberikan keadilan kepada mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia.
Kedutaan Besar AS di Khartoum juga menegaskan kembali dukungannya untuk “ekspresi damai aspirasi demokrasi, dan kebutuhan untuk menghormati dan melindungi individu yang menjalankan kebebasan berbicara,” dalam sebuah tweet minggu lalu. (hanoum/arrahmah.com)