JAKARTA (Arrahmah.com) – Seperti tak punya kepedulian, Pemerintah RI enggan membayar kekurangan uang darah (diyat) kepada keluarga korban majikan Satinah binti Jumadi yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Padahal pemerintah RI setiap tahunnya menikmati kue devisa hasil keringat TKI mencapai nilai 8o trilyun rupiah, sebuah angka yang sangat kecil untuk menutupi uang diyat yang hanya 21 milyar.
Satinah mengaku bersalah membunuh majikannya, Nura Al Gharib, di pengadilan Arab Saudi pada 2010 dan dijatuhi hukuman pancung. Berdasarkan hukum di Arab, eksekusi bisa dihindari jika pelaku membayar kompensasi yang disebut diyat kepada keluarga korban.
Diyat yang dituntut oleh keluarga Al Gharib semula sebesar 15 juta riyal namun kemudian turun menjadi 7 juta riyal atau sekitar Rp 21 miliar. Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Tatang Razak, dalam jumpa pers mengatakan bahwa pemerintah hanya bersedia membantu empat juta riyal saja.
“Pemerintah menunjukkan keberpihakan tapi jangan pemerintah yang harus membayar, kami sudah mendekati semua negara Filipina, Bangladesh dan tidak ada satu pun negara yang menyediakan bantuan bagi warga negaranya dalam kasus-kasus kriminal,” kata Tatang, sebagaimana dilansir oleh BBC News, Senin (24/3/2014).
Satinah Binti Djumadi binti Amad Rabin datang ke Arab Saudi sebagai pembantu rumah tangga pada tahun 2006. Mengaku kerap diperlakukan kasar dan disiksa majikannya, Satinah kemudian melawan dan memukul majikan perempuannya. Dalam insiden tahun 2007, majikannya yang tinggal di Provinsi Al Ghasseem meninggal dunia.
Keluarga majikan Satinah di Arab Saudi, meminta ganti rugi kematian senilai tujuh juta riyal (Rp18 miliar) turun dari permintaan sebelumnya sebesar Rp15 miliar, sebagai syarat untuk menghindarkan TKW asal Ungaran Jawa Tengah itu dari hukuman pancung.
Turunnya ganti rugi kematian (diyat) ini menurut Ketua Satugas Tugas TKI Humfrey Djemat merupakan hasil kerja tim perunding yang diutus pemerintah Indoensia, yang diketuai oleh Mantan Menteri Agama sekaligus mantan Ketua Satgas TKI, M Maftuh Basyuni.
Pada September 2010, Raja Arab Saudi telah menyetujui hukuman pancung untuk Satinah atas tudingan kejahatan pembunuhan. Proses memperjuangkan peringanan hukuman TKW asal Ungaran, Jawa Tengah ini menurut Humfrey Djemat bisa dilakukan karena ahli waris korban sudah memberikan maaf.
Indonesia menurut Humfrey juga merupakan satu-satunya negara yang bersedia menanggung diyat untuk pekerja migrannya di Arab Saudi. Negara asal migran lain seperti Bangladesh dan Pakistan menurutnya tak pernah bertindak serupa.
“Belum lama ada tujuh atau delapan warga Pakistan dijatuhi hukuman pancung, ya mereka dieksekusi.”
Pemerintah mengaku sudah berusaha maksimal dengan mengadakan pendekatan dengan pihak keluarga hingga meminta keringanan hukuman kepada pemerintah Saudi, termasuk memundurkan jadwal hukuman mati hingga lima kali.
“Kini caranya ada dua pendekatan yaitu pertama pendekatan khusus kepada keluarga korban agar bersedia menerima diyat empat juta riyal itu,” jelas Tatang.
“Kedua agar eksekusinya mundur lagi, jika keluarga tidak bersedia terima empat juta riyal,” tambahnya.
Namun opsi persuasif kepada keluarga atau menunda eksekusi dinilai tidak efektif oleh LSM pegiat hak-hak buruh migran, Migrant Care.
“Kalau dibicarakan lagi dengan keluarga, tebusan bisa naik lagi atau kalau mereka ga terima ya eksekusi.”
“Jadi saya kira pemerintah harus dukung masyarakat sipil yang menggalang dana di daerah dan mengakui upaya-upaya mereka agar sebelum 3 April bisa terkumpul dan satinah bisa bebas,” kata direktur eksekutif Migrant Care Anis Hidayah.
Dirinya berharap agar tidak ada lagi TKI yang menemui ajal di meja eksekusi.
“Seperti kami yang mengadvokasi kasus buruh migran, masa-masa Ruyati dieksekusi kan masih terasa, kita tidak akan membiarkan Satinah dieksekusi hanya karena negara tidak mau membantu,” tambah Anis.
Data Kementerian Luar Negeri menyebutkan, sejak 2011 hingga awal 2014, setidaknya ada 249 warga Indonesia yang terancam hukuman mati di berbagai negara, termasuk 20 kasus terakhir pada awal 2014 ini.
Atas kasus yang menimpa Satinah, banyak masyarakat yang peduli. Kepedulian yang sangat berharga, tapi tentu saj tidaklah gampang mengumpulkan uang Rp 21 miliar dalam waktu yang pendek ini.
Di antara sedikit pihak yang peduli itu adalah Pemerintah Kabupaten Semarang. Sekretaris Daerah, Budi Kristiono, mencoba menggalang dana. Dia mulai dari PNS di kota itu.
Layaknya pemerintah, penggalangan dukungan dana disampaikan lewat instruksi.
“Suratnya kami kirim ke semua kepala dinas. Dana yang terkumpul akan kami salurkan melalui rekening pemerintah provinsi,” kata Budi, Senin (24/3/2014), seperti dilansir Tribun Jateng.
Koordinator Politik Hukum dan HAM, Djoko Suyanto, membantah bila pemerintah Indonesia dianggap tidak membantu pembebasan Pembantu Rumah Tangga (PRT) Satinah yang akan menjalani hukuman mati di Arab Saudi.
Menurut dia, dalam menangani kasus seperti kasus Satinah ini harus utuh dan jelas serta sudah ada sudah keputusan hukum di Arab Saudi. Sementara itu di Indonesia kasus kejahatan seperti itu tidak ada yang meminta dibebaskan.
“Pemahaman ini harus utuh dan jelas,” tegas dia.
Dia menambahkan pemerintah Indonesia tidak berhenti berupaya mengupayakan kasus itu. Namun kenyataannya tuntutan tebusan tidak masuk akal dan menjadi komoditas.
“Pemerintah sudah sampai pada batas kemampuan. Kita sudah berupaya baik melalui PJTKI, relawan di sana dan dubes, namun uang 4 juta Riyal yang dikumpulkan ditolak. Harus diingat dia diputus karena melakukan kejahatan,” pungkas Djoko.
Indonesia, tidak diragukan lagi, merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam, sangat jauh jika dibanding dengan negara tetangga Malaysia, akan tetapi pengelolaan yang ditangani oleh para pemimpin yang tidak amanah, ditambah dengan kasus korupsi yang menggurita dan pemimpin yang memperkaya diri sendiri, menyebabkan sebagian besar rakyat Indonesia tenggelam dalam kemiskinan. Mereka terpaksa berbondong-bondong ke luar negeri untuk mengais rejeki, walau harus berhadapan dengan mara bahaya berupa tindakan kekerasan, penghinaan, pelecehan.
Kalau sudah seperti ini, masih maukan Indonesia melepas tanggung jawab terhadap nasib rakyatnya?
(ameera/arrahmah.com)