JAKARTA (Arrahmah.com) – Adanya jaminan kehalalan suatu produk sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab pemerintah yang berkewajiban bertanggung jawab atas kehalalan setiap produk terdistribusi di masyarakat. Terlebih masyarakat Indonesia yang memang mayoritas Muslim. Namun, hal tersebut tidak menjadikan para pejabat serta merta setuju keberadaan RUU Jaminan Produk Halal (JPH). Ada saja alasan para pemimpin kita untuk menggagalkan RUU tersebut. Padahal halal haramnya suatu produk yang dikonsumsi seharusnya menjadi prioritas utama.
Hal tersebut seperti yang diutarakan anggota Badan Legislatif DPR, Suhartono Wijaya yang mengungkapkan bahwa Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (JPH) jika jadi diundangkan, akan menimbulkan beban negara karena akan dibentuk badan sertifikasi halal baru.
“Ini tidak sesuai dengan semangat reformasi birokrasi. Apalagi presiden sudah mengisyarakatkan agar DPR tidak menambah lembaga atau badan baru lagi,” katanya, di Jakarta, Rabu (21/9/2011).
Belum lagi alasan biaya, dimana jika dilihat dari bentuk kelembagaan badan sertifikasi halal ini ada sembilan kementerian yang terlibat di dalamnya, sehingga struktur organisasinya akan gemuk karena sampai ke daerah-daerah.
“Anda bisa bayangkan sendiri, berapa duit yang harus dikeluarkan untuk membiayai lembaga sertifkasi ini. Lembaga ini bukan hanya di pusat tapi sampai ke daerah,” katanya usai rapat panja RUU JPH.
Anggota Komisi III DPR RI ini memaklumi semangat komisi pengusul (Komisi VIII) dengan inisiatifnya membuat RUU JPH, tetapi alangkah baiknya ikut memikirkan dampak negatif yang akan timbul.
“Saya yakin, banyak `stakeholder` yang merasa keberatan dengan RUU ini, karena itu sebaiknya ini ditampung dulu baru kemudian diundangkan,” katanya.
Dia juga mengatakan bahwa hal ini bisa saja ada stakeholder yang merasa dirugikan dan akan mengajukan yudisial review ke MK.
Mengenai alasan akan ada pendapatan yang masuk ke kas negara, Suhartono merasa pesimis. “Itukan hanya prediksi saja, belum tentu tercapai. Bahkan bisa jadi malah uang negara tersedot sementara pemasukan tidak ada,” cetusnya.
Dalam rapat Baleg, diputuskan draft RUU JPH akan disahkan dalam rapat pleno, untuk kemudian dibawa ke paripurna DPR RI. Meski begitu Suhartono meyakini dalam paripurna nanti, prokontra masih akan terjadi.
“Walaupun sudah diplenokan di Baleg, tapi belum tentu di paripurna disetujui seluruh anggota dewan. Salah satunya karena alasan-alasan yang saya sebutkan di atas,” tandasnya.
Hal sama juga diungkapkan politisi PDI-P, Rukmini Buchori yang mengatakan DPR RI mengundangkan RUU ini atas dasar ingin melakukan proteksi, hanya saja masih terjadi prokontra.
“Kami sebenarnya tidak setuju dengan RUU ini, karena nantinya akan timbul permasalahan baru, apalagi kalau sistem regulasi yang dibuat pemerintah dalam bentuk PP tidak bisa mengakomodir masalah-masalah yang mencuat,” katanya.
Selama ini tanpa RUU JPH, keamanan produk yang dikonsumsi sudah berjalan lewat sertifikasi halal. Tetapi keberadaan RUU tersebut pada dasarnya lebih pada penjaminan bahwa setiap produk yang ada dan masuk ke Indonesia harus halal. Sehingga bukan lagi sertifikat halal yang dibutuhkan melainkan sertifikat tidak halal.
Kalau untuk alasan pembangunan gedung dan studi banding ke luar negeri saja DPR antusias, tapi kalau masalah halal haram kalkulator politiknya berjalan, sepertinya mereka lebih memilih memakan yang subhat dibandingkan meyakinkan diri dengan yang halal. (Ans/arrahmah.com)