YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Beginilah kalau manusia lebih mengagungkan adat istiadat dibndingkan memuliakan hukum Allah Ta’ala. Dalam resepsi pernikahan di Keraton Yogyakarta, para wartawan wanita yang awalnya telah memakai jilbab (red: kerudung) diharuskan ‘merelakan’ diri melepas kerudungnya dan wajib bersanggul jika ingin meliput acara di Keraton tersebut.
Informasi cara berpakaian yang diperbolehkan masuk Keraton bagi para wartawan simpang-siur. Salah satunya pengenaan kerudung yang semula diperbolehkan masuk Keraton, ternyata direvisi oleh tim media center.
“Bukan jilbabnya yang tidak boleh, tetapi karena ini kegiatan adat istiadat, maka semua wartawan harus bersanggul,” kilah Haris Djauhari, salah satu anggota tim media center seperti yang dikutip Tempo pada Ahad (16/10/2011) malam.
“Jadi, tidak boleh mengenakan jilbab.” Tambahnya.
Mungkin untuk menghindari ‘masalah baru’, meskipun tidak diperbolehkan, informasi tersebut tidak disampaikan melalui pengumuman resmi, tetapi pendekatan personal.
Tidak hanya acara perkawinan kali ini saja, sebelumnya seolah menjadi kebiasaan di Keraton, selama ada kegiatan adat istiadat selama ini memang tak memperkenankan kerudung masuk Keraton. Contohnya, sungkeman pada perayaan Idul Fitri atau ngabekten.
Untuk kaum perempuannya wajib mengenakan sanggul dan kebaya. Jadi, meskipun para pejabat mengenakan kerudung di pemerintahan, mereka melepaskan jilbab dan menggantinya dengan sanggul.
Namun karena ‘larangan’ tersebut disampaikan tidaks ecara resmi akhirnya terjadi ‘ketidak seragaman’ pada ‘dresscode’ yang dipakai wartawan, ada yang tidak mengenakan sanggul, ada yang cuma dikuncir, ada pula yang make up lengkap dengan sanggul karena di tata tertib bagi wartawan memang mengumumkan hal tersebut.
Seperti dalam acara di Keraton Kilen, ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X sedang mengumumkan sesuatu yang tak berkaitan dengan adat istiadat, beberapa wartawan yang mengenakan jilbab tetap bisa masuk Keraton Kilen.
Gara-gara ‘kewajiban sanggul dan kebaya tersebut seorang wartawan NHK Jepang, mengatakan karena tak bisa mengenakan kebaya dan sanggul, dia terpaksa mengambil paket seharga Rp 125.000.
Bahkan seorang wartawan Jerman kesulitan mencari kebaya karena ukuran tubuhnya yang jumbo. Seorang pemilik salon di kawasan Gejayan, Puri, mengaku sudah mencari pinjaman ke mana-mana, tetapi tidak juga menemukan kebaya yang dimaksud.
Beginilah ketika manusia lebih menjunjung tinggi aturan manusia, bahkan hanya demi ‘mendapatkan hot news pernikahan keraton’ mereka rela mematuhi aturan manusia sekalipun aturan tersebut jelas-jelas telah ‘menginjak-injak’ aturan Allah Ta’ala.
Belum lagi prosesi pernikahan yang dipenuhi acara tetek bengek. Meskipun mengaku sebagai Muslim, tapi prosesi yang diperlihatkan ke masyarakat umum jelas-jelas bukan pernikahan cara Kaum Muslim seperti yang selama ini dicontohkan Rasulullah SAW, parahnya prosesi pernikahan tersebut banyak mengandung perbuatan syirik. (dbs/arrahmah.com)