Oleh Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Keimanan Syiah terhadap rukun iman sangat berbeda dengan kaum Muslimin. Selain meyakini bahwa al-Qur’an yang ada sekarang tidak orisinal, Syiah juga mengklaim telah memiliki kitab-kitab yang diturunkan langsung oleh Allah subhanahuwata’ala untuk kalangan mereka sendiri.
Namun mereka sendiri tidak pernah melihat wujud “kitabullah” yang menurutnya hanya diketahui Ali radhiallahu ‘anhu itu. Lantas kitab suci apa yang digunakan kaum Syiah sebagai landasan ibadahnya? Berikut ulasan kitab suci Syiah yang Arrahmah kutip dari Sigabah.com. Ulasan ini diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
Syiah dan Rukun Iman: Kitab Suci Syiah
Menurut Syiah, terdapat kitab-kitab suci yang Allah subahanahu wata’ala turunkan kepada mereka. Salah satunya adalah Mushaf Qur’an Fathimah.
Mushaf Fathimah
Dalam perspektif Syiah, kitab ini diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada Sayyidah Fathimah az-Zahra radhiallahu ‘anha pasca wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Syiah mengatakan bahwa, turunnya mushaf tersebut lantaran Sayyidah Fathimah radhiallahu ‘anha sangat berduka atas kepergian ayahandanya selama beberapa hari, hingga akhirnya Allah subhanahu wata’ala berkenan mengutus malaikat untuk menghibur putri kesayangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ini.
Konon, malaikat itu mengajak az-Zahra radhiallahu ‘anha berbicara, mengabarkan hal-hal yang ghaib, hingga az-Zahra radhiallahu ‘anha merasa terhibur. Beliau-pun memberitahu Imam Ali AS. tentang semua peristiwa yang dialaminya. Kemudian Imam Ali AS. Meminta supaya az-Zahra radhiallahu ‘anha mendiktekan semua apa yang didengarnya saat malaikat itu mengajaknya bicara, sementara Imam Ali AS. yang menuliskannya untuk Fathimah radhiallahu ‘anha, hingga terhimpunlah sebuah kitab yang dapat dijadikan suatu pedoman.
Kisah ini antara lain diriwayatkan oleh al-Kulaini dalam kitabnya yang menjadi rujukan paling utama kaum Syiah, al-Kafi.
إِنَّ الله تَعَالَى لَمَّا قَبَضَ نَبِيَّهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِه) دَخَلَ عَلَى فَاطِمَةَ (عليها السلام) مِنْ وَفَاتِهِ مِنَ الْحُزْنِ مَا لا يَعْلَمُهُ إِلا الله عَزَّ وَجَلَّ فَأَرْسَلَ الله إِلَيْهَا مَلَكاً يُسَلِّي غَمَّهَا وَيُحَدِّثُهَا فَشَكَتْ ذَلِكَ إِلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ (عَلَيْهِ السَّلام) فَقَالَ إِذَا أَحْسَسْتِ بِذَلِكِ وَسَمِعْتِ الصَّوْتَ قُولِي لِي فَأَعْلَمَتْهُ بِذَلِكَ فَجَعَلَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ (عَلَيْهِ السَّلام) يَكْتُبُ كُلَّ مَا سَمِعَ حَتَّى أَثْبَتَ مِنْ ذَلِكَ مُصْحَفاً قَالَ ثُمَّ قَالَ أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِيهِ شَيْ ءٌ مِنَ الْحَلالَ وَالْحَرَامِ وَلَكِنْ فِيهِ عِلْمُ مَا يَكُونُ
“Sesungguhnya setelah Allah subhanahu wata’ala mengambil Nabi-Nya, Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, Fathimah radhiallahu ‘anha merasa sedih atas kepergian ayahnya, hanya Allah subhanahu wata’ala. Yang tahu akan besarnya kesedihan Fathimah. Maka Allah mengirimkan malaikat untuk menghibur kesedihannya, dan mengajaknya berbicara. Fathimah mengadukan peristiwa ini kepada Amirul Mukminin radhiallahu ‘anhu, lalu beliau berkata: “Bila engkau merasa malaikat itu berbicara dan engkau mendengar suaranya, tirukanlah ucapannya dihadapanku. Maka Amirul Mukminin radhiallahu ‘anhu menulis semua yang beliau dengar (dari Fathimah) hingga jadilah sebuah mushaf. . . Mushaf itu tidak berisi penjelasan tentang halal dan haram, akan tetapi berisi pengetahuan peristiwa yang akan terjadi.”[1]
Barangkali akan timbul pertanyaan pada diri kita, kira-kira seperti apa bentuk Mushaf Fathimah itu? Mengenai hal ini, al-Kulaini dalam al-Kafi-nya memberikan ilustrasi yang cukup jelas:
وَإِنَّ عِنْدَنَا لَمُصْحَفَ فَاطِمَةَ (عليها السلام) قُلْتُ (للراوي): وَمَا مُصْحَفُ فَاطِمَةَ (عليها السلام) قَالَ مُصْحَفٌ فِيهِ مِثْلُ قُرْآنِكُمْ هَذَا ثَلاثَ مَرَّاتٍ مَا فِيهِ مِنْ قُرْآنِكُمْ حَرْفٌ وَاحِدٌ
“Sesungguhnya kami mempunyai Mushaf Fathimah ‘alaihi as-salam. Aku bertanya (kepada rawi): “Apa itu Mushaf Fathimah ‘alaihi as- salam?. Abu Abdillah menjawab: “Mushaf Fathimah ‘alaihi as-salam adalah mushaf yang berisi tiga kali al-Qur’an kalian. Di dalamnya tidak ada kesamaan satu huruf pun dengan al-Qur’an kalian.”[2]
Namun, mengenai informasi tentang Mushaf Fathimah ini, agaknya Syiah tidak mengeluarkan suara bulat. Sebagaimana pernyataan-pernyataan atau riwayat-riwayat mereka yang lain, antara suara yang satu dengan yang lain memang seringkali bertentangan. Nah, mengenai Mushaf Fathimah ini, selain riwayat diatas, juga ada riwayat lain yang amat berbeda. Dalam riwayat ini dijelaskan, bahwa Mushaf Fathimah bukan hasil dikte dari malaikat, melainkan dikte dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada az-Zahra ‘alaiha as-salam dan ditulis oleh Imam Ali AS. Dengan demikian, berarti Mushaf ini ditulis sewaktu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.[3]
Dalam riwayat lain juga dinyatakan bahwa Mushaf ini diturunkan langsung oleh Allah subhanahu wata’ala kepada az-Zahra tanpa melalui perantara apa pun dan tanpa ditulis oleh Imam Ali AS.:
مصحف فاطمة عليها السلام ما فيه شيء من كتاب الله وإنما هو شيء ألقي عليها.
“Mushaf Fathimah ‘alaiha as-salam tidak berisi Kitabullah, akan tetapi Mushaf ini adalah sesuatu yang disampaikan kepada beliau (Sayyidah Fathimah az-Zahra’) secara langsung.”[4]
Di samping tiga riwayat yang kontradiktif di atas, masih tersisa riwayat lain yang juga berbeda. Riwayat yang satu ini menyebutkan bahwa Mushaf ini diturunkan langsung satu kali yang dibawa oleh Malaikat Jibril, Israfil dan Mikail. Mereka datang pada waktu Fathimah az-Zahra ‘alaiha as-salam sedang menunaikan shalat. Konon, setelah az-Zahra ‘alaiha as-salam menyelesaikan shalatnya, ketiga malaikat tersebut memberi salam, dan terjadilah dialog berikut:
السلام يقرئك السلام، ووضعوا المصحف في حجرها, فقالت: لله السلام ومنه السلام وإليه السلام وعليكم يا رسل الله السلام، ثم عرجوا إلى السماء فما زالت من بعد صلاة الفجر إلى زوال الشمس تقرؤه حتى أتت على آخره “ولقد كانت عليها السلام مفروضة الطاعة على جميع من خلق الله من الجن والإنس والطير والوحش والأنبياء والملائكة.
“Allah Yang Maha Memberi Keselamatan mengirimkan salam untukmu – dan mereka meletakkan Mushaf itu dipangkuannya. Maka Fathimah menjawab: “Milik Allah keselamatan, dari-Nya keselamatan, kepada-Nya keselamatan (kembali) dan mudah-mudahan kalian semua, wahai utusan Allah, diberi keselamatan. Kemudian para Malaikat itu meluncur ke langit. Fathimah terus membaca Mushaf itu sejak selesai shalat fajar hingga matahari condong ke arah barat, hingga dia sampai pada akhir bacaan (di sana tertulis) “Benar-benar Fathimah itu wajib ditaati oleh seluruh makhluk Allah, baik jin, manusia, burung, binatang liar, para nabi dan malaikat.”[5]
Dalam kepercayaan Syiah, Mushaf ini terus ditransmisikan oleh para Imam secara berkesinambungan, dari generasi ke-generasi. Setelah Fathimah az-Zahra’alaiha as-salam wafat, Mushaf ini dipegang oleh Imam Ali AS., kemudian dipegang oleh Imam Hasan AS. Lalu Imam Husein AS. Hingga sampai pada al-Mahdi al-Muntadzar.[6]
Keganjilan terhadap Mushaf Fathimah tidak hanya berhenti pada tataran periwayatannya yang kontradiktif saja, akan tetapi juga pada cerita akan kebenaran kandungan isinya. Riwayat yang menyatakan bahwa Mushaf Fathimah berawal dari cerita malaikat mengenai hal-hal yang akan terjadi guna menghibur Sayyidah Fathimah az-Zahra, sangat mungkin untuk disangsikan. Sebab, bagaimana mungkin az-Zahra ‘alaiha as-salam akan terhibur, bila malaikat itu memberitahu semua hal-hal yang akan terjadi, padahal di antara peristiwa yang akan terjadi itu adalah pembantaian putra-putranya dan berbagai cobaan yang menimpa Ahlul Bait?.
Kejanggalan lain, konon setelah membaca Mushaf Fathimah, para Imam bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada hari-hari yang akan datang. Diriwayatkan oleh Syiah bahwa Abu Abdullah (Ja’far ash-Shadiq) As.—yang diklaim syiah sebagai Imam ke-6—pernah mengatakan: “Akan muncul orang-orang zindiq pada tahun 128 H. Aku mengetahui semua ini dari Mushaf Fathimah ‘alaiha as-salam.” Realitanya, pada tahun 128 H. tidak terjadi peristiwa besar apapun kecuali terbunuhnya Jahm bin Shafwan, pemimpin orang-orang sesat. Tentu saja ini tidak sesuai, bahkan bertentangan, dengan apa yang disampaikan Abu Abdillah AS.[7]
Pertentangan riwayat-riwayat yang sangat mencolok di atas, sudah lebih dari cukup untuk menetapkan status Mushaf Fathimah sebagai cerita yang benar-benar diragukan keberadaan dan kebenarannya. Di samping kenyataannya, Mushaf itu tak pernah terlihat oleh siapa pun.
Satu pertanyaan besar untuk Syiah, jika memang Mushaf Fathimah benar-benar ada, kenapa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS. dan para Imam setelahnya harus menyembunyikan Mushaf itu dari para pengikutnya? Tidaklah kasus ini amat mirip dengan kegaiban Imam Mahdi? Mengada-ada cerita guna mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari umat Syiah untuk sebuah proyek besar? Dan jika Mushaf ini memang benar-benar didiktekan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, mengapa beliau tidak mengajarkan pada umatnya? Bukankah hal ini bertentangan dengan risalah nubuwwah, yang mengharuskan beliau menyampaikan segala apa yang beliau ketahui dari Allah subhanahu wata’ala? Allah subhanahu wata’ala berfirman sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ. (المائدة 5:67)
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Mai’dah [5]: 67).
Tampaknya, saat ini Syiah sudah kehilangan argumentasi kecuali dua yang tersisa: Pertama, selalu membungkus cerita itu dengan ending yang sama: bahwa kitab-kitab tersebut kini berada di genggaman Imam al-Mahdi yang tengah bersembunyi. Kedua, selalu membungkus keyakinan itu dengan taqiyah gaya baru: bahwa al Qur’an kalangan Syiah, sama dengan al Qur’an kalangan Sunni. Sembari buru-buru melempar tuduhan isu perubahan al-Qur’an itu sebagai upaya musuh Islam. (Silahkan cek salah satu blogger penganut Syiah berkedok persatuan Sunni-Syiah ini http://bersama14.blogspot.com/2013/03/ketika-sunni-syiah-dan-wahabi-rukun.html)
Referensi
[1]Lihat, Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 240; al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 26 hlm. 44; Muhammad bin Hasan bin Furukh ash-Shaffar, Basha’ir ad-Darajat, hlm. 43 dan al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 713.
[2]Lihat, Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 239.
[3]Lihat, Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 26 hlm. 42, Muhammad bin Hasan bin Furukh ash-Shaffar, Basha’ir ad-Darajat, hlm. 42,dan al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 715.
[4]Lihat, Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 26 hlm. 48, Muhammad bin Hasan bin Furukh ash-Shaffar, Basha’ir ad-Darajat, hlm. 43,dan al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 715.
[5]Lihat, Dala’il an-Nubuwwah, hlm. 27-28.
[6]Lihat, Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 720.
[7]Ibid, juz 2 hlm. 716.
(adibahasan/arrahmah.com)