Oleh Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Rukun iman adalah perkara yang amat penting dalam Islam. Jika seseorang tidak memenuhinya, maka predikat Mu’min tidak dapat dilekatkan. Begitulah yang terjadi pada kaum Syiah, predikat Mu’min tidak dapat dilekatkan kepada mereka, apalagi disebut Muslim.
Mengapa demikian? Berikut ulasan perkara iman dalam Syiah yang Arrahmah kutip dari Sigabah.com. Ulasan ini diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
Syiah dan Rukun Iman
Sebagaimana kekufuran Syiah terhadap kenabian (nubuwwah) pada bahasan sebelumnya, keyakinan Syiah tentang kitabullah juga berbeda dengan umat Islam.
Iman Kepada kitabullah
Syiah percaya terhadap kitab-kitab Allah subhanahu wata’ala yang diturunkan kepada para nabi-Nya. Malah, mereka berpendapat bahwa para Imam Dua Belas telah membaca kitab-kitab tersebut dalam semua bahasa aslinya.[1] Mengenai hal ini, dalam suatu riwayat Syiah dijelaskan:
وَإِنَّ عِنْدَنَا عِلْمَ التَّوْرَاةِ وَالانْجِيلِ وَالزَّبُورِ وَبَيَانَ مَا فِي الالْوَاح
“Sesungguhnya kami mempunyai pengetahuan tentang Taurat, Injil, Zabur dan penjelasan (arti) dari apa yang terdapat dari Lauh al-Mahfuz.”[2]
Selain itu, Syiah juga meyakini bahwa kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihi salaam, Zabur kepada Nabi Dawud ‘alaihi salaam, Injil kepada Nabi Isa ‘alaihi salaam, dan al-Quran pada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut:
عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ أَبِي الْعَلاءِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ الله (عَلَيْهِ السَّلام) يَقُولُ إِنَّ عِنْدِي الْجَفْرَ الابْيَضَ قَالَ قُلْتُ فَأَيُّ شَيْ ءٍ فِيهِ قَالَ زَبُورُ دَاوُدَ وَتَوْرَاةُ مُوسَى وَإِنْجِيلُ عِيسَى وَصُحُفُ إِبْرَاهِيمَ (عَلَيْهِ السَّلام) وَالْحَلالُ وَالْحَرَامُ
Dari al-Husen bin Abi al-Ala’, dia berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah AS. Berkata, ‘Sesungguhnya aku mempunyai al-Jafr putih.’ Aku bertanya, ‘Apa isinya?’ Beliau menjawab, ‘(Isinya adalah) Zabur Daud, Taurat Musa, Injil Isa dan Shuhuf Ibrahim serta halal dan haram…’.”[3]
Al-Jafr adalah kitab yang terbuat dari kulit yang konon berisi ilmu para nabi, ilmu para Imam dan ilmu ulama Bani Isra’il. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa al-Jafr adalah kitab dari kulit sapi jantan. (Lihat, al-Kafi, juz 1, hlm. 239) ikuti pembahasan lebih lanjut mengenai kitab ini.
Dalam riwayat lain juga disebutkan:
عَنْ سَمَاعَةَ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ قُلْتُ لأبِي عَبْدِ الله (عَلَيهِ السَّلام) قَوْلَ الله عَزَّ وَجَلَّ فَاصْبِرْ كَما صَبَرَ أُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ فَقَالَ نُوحٌ وَإِبْرَاهِيمُ وَمُوسَى وَعِيسَى وَمُحَمَّدٌ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِه) قُلْتُ كَيْفَ صَارُوا أُولِي الْعَزْمِ قَالَ … حَتَّى جَاءَ مُوسَى بِالتَّوْرَاةِ وَشَرِيعَتِهِ وَمِنْهَاجِهِ وَبِعَزِيمَةِ تَرْكِ الصُّحُفِ وَكُلُّ نَبِيٍّ جَاءَ بَعْدَ مُوسَى (عَلَيهِ السَّلام) أَخَذَ بِالتَّوْرَاةِ وَشَرِيعَتِهِ وَمِنْهَاجِهِ حَتَّى جَاءَ الْمَسِيحُ (عَلَيهِ السَّلام) بِالإنْجِيلِ وَبِعَزِيمَةِ تَرْكِ شَرِيعَةِ مُوسَى وَمِنْهَاجِهِ فَكُلُّ نَبِيٍّ جَاءَ بَعْدَ الْمَسِيحِ أَخَذَ بِشَرِيعَتِهِ وَمِنْهَاجِهِ حَتَّى جَاءَ مُحَمَّدٌ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِه) فَجَاءَ بِالْقُرْآنِ وَبِشَرِيعَتِهِ وَمِنْهَاجِهِ فَحَلالُهُ حَلالٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَحَرَامُهُ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَهَؤُلاءِ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
Dari Sama’ah bin Mihran, dia berkata: “Aku bertanya pada Abu Abdillah AS. Tentang firman Allah subhanahu wata’ala. “Maka bersabarlah kamu sebagaimana sabarnya para utusan Ulul ‘Azmi.” Beliau menjawab: “(Mereka adalah) Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. aku kembali bertanya: “Bagaimana mereka menjadi Ulu al-‘Azmi?”. Beliau menjawab: “. . .hingga datanglah Musa dengan Taurat, syari’at dan ajarannya, serta kemauan untuk meninggalkan Shuhuf (Ibrahim). Semua nabi yang datang setelah Musa mengamalkan Taurat, syari’at dan ajarannya. Hingga datanglah al-Masih AS. Dengan membawa Injil serta kemauan untuk meninggalkan syari’at dan ajaran Musa, maka setiap nabi yang datang setelahnya melaksanakan syari’at dan ajaran al-Masih. Hingga datanglah shalallahu ‘alaihi wasallam. dengan membawa al-Qur’an, syari’at dan ajarannya. Apa yang dihalalkannya menjadi halal hingga hari kiamat, dan apa yang diharamkannya menjadi haram hingga hari kiamat. Mereka adalah para utusan Ulul ‘Azmi.”[4]
Jadi, mengamati riwayat-riwayat Syiah di atas, memang tidak terdapat perbedaan antara Syiah dan Islam mengenai kitab-kitab Allah subhanahu wata’ala. Yang diturunkan kepada para nabi. Hanya saja masalahnya, Syiah memiliki pandangan dan keyakinan lain mengenai al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Mereka meyakini bahwa al-Qur’an yang kini berada di tangan kaum Muslimin di seluruh dunia telah diubah oleh para sahabat. Karenanya, al-Qur’an itu kini berbeda dari al-Qur’an yang dibaca oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Syiah berpendapat bahwa telah terjadi pengurangan dan penambahan pada al-Qur’an yang ada saat ini, terutama berkenaan dengan ayat-ayat yang menyebutkan para Imam Dua Belas. Jadi, Syiah memandang al-Qur’an tidak berbeda dengan Zabur, Taurat dan Injil, yang telah mengalami problem distorsi dan interpolasi (tahrif/perubahan). Mereka meyakini bahwa al-Qur’an yang asli kini berada pada Imam kedua belas, yakni al-Mahdi, dan akan datang nanti pada akhir zaman lalu membacakannya sesuai dengan yang dibacakan langsung oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Mengenai pengurangan, penambahan dan distorsi (tahrif) terhadap al-Qur’an ini, dalam kitab al-Imamah karya Muhammad bin Ja’far al-Ahwal, misalnya, dinyatakan bahwa Allah subhanahu wata’ala tidak pernah berfirman:
[9:40] (ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا (التوبة
Senada dengan pernyataan di atas, al-Kulaini juga mengutip beberapa riwayat yang diafiliasikan kepada Abi Abdillah, antara lain sebagai berikut:
عَنْ سَالِمِ بْنِ سَلَمَةَ قَالَ قَرَأَ رَجُلٌ عَلَى أَبِي عَبْدِ الله (عَلَيهِ السَّلام) وَأَنَا أَسْتَمِعُ حُرُوفاً مِنَ الْقُرْآنِ لَيْسَ عَلَى مَا يَقْرَأُهَا النَّاسُ فَقَالَ أَبُو عَبْدِ الله (عَلَيهِ السَّلام) كُفَّ عَنْ هَذِهِ الْقِرَاءَةِ اقْرَأْ كَمَا يَقْرَأُ النَّاسُ حَتَّى يَقُومَ الْقَائِمُ (عجل الله تعالى فرجه الشريف) فَإِذَا قَامَ الْقَائِمُ (عجل الله تعالى فرجه الشريف) قَرَأَ كِتَابَ الله عَزَّ وَجَلَّ عَلَى حَدِّهِ
Dari Salin bin Salamah, dia berkata: “Seorang laki-laki membaca (al-Qur’an) dihadapan Abu Abdillah AS. Aku mendengarkan beberapa bacaan yang tidak sama dengan bacaan orang-orang. Maka Abu Abdillah AS. Berkata: “Berhentilah membaca Qira’at ini! Bacalah seperti yang biasa dibaca oleh orang-orang! Hingga datang al-Qaim (al-Mahdi). Bila al-Qaim datang, dia akan membaca al-Qur’an sesuai aslinya.”[5]
Lebih dari itu, Syiah juga menuding bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam menyembunyikan sembilan per sepuluh al-Qur’an.[6] Dalam kitab Ahwal ar-Rijal,[7] seperti dikutip al-Qifari, dijelaskan bahwa Abdullah bin Saba’ mengajarkan, sesungguhnya al-Qur’an yang ada sekarang hanya satu juz dari seluruh isi al-Qur’an yang ada. Tak ada yang tahu isi al-Qur’an seluruhnya kecuali Imam Ali ‘alaihi salaam.
Selain meyakini terjadinya tahrif al-Qur’an, Syiah juga mengklaim telah memiliki kitab-kitab yang diturunkan langsung oleh Allah subhanahu wata’ala untuk kalangan mereka sendiri. Namun di samping klaim tersebut, realitanya Syiah juga mengakui bahwa kitab-kitab samawi itu belum pernah dijumpai oleh siapapun, bahkan oleh kelompok-kelompok Syiah sendiri.
Pembahasan tentang kitab-kitab Allah subhanahu wata’ala yang diyakini oleh Syiah diturunkan kepada mereka, insyaa Allah akan disampaikan pada edisi berikutnya.
[1]Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 227.
[2]Al-Kulaini, al-Kafi, juz 5 hlm. 354. Dikutip antara lain oleh Dr. Shalih ar-Raqb dalam al-Wasyi’ah fi Kasyf Syana’i ‘Aqaid asy-Syi’ah, hlm. 107 dan Dr. Nashir bin Abdullah bin Ali al-Qifari, Ushul al-Madzhab ar-Rafidhi, juz 2 hlm. 119.
[3]Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 24.
[4]Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 17.
[5]Al-Kulaini, al-Kafi, juz 2 hlm. 631-634. Demikian pandangan mereka mengenai problem distorsi dalam al-Qur’an. Pembahasan ini akan dikaji secara lebih rinci dalam sub bagian khusus: Syiah dan al-Qur’an.
[6]Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 712.
[7]Al-Jauzani, Ahwal ar-Rijal, hlm. 38 dan al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 712.
(adibahasan/arrahmah.com)