Oleh Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Rukun iman adalah perkara yang amat penting dalam Islam. Jika seseorang tidak memenuhinya, maka predikat Mu’min tidak dapat dilekatkan. Begitulah yang terjadi pada kaum Syiah, predikat Mu’min tidak dapat dilekatkan kepada mereka, apalagi disebut Muslim.
Mengapa demikian? Berikut ulasan perkara iman dalam Syiah yang Arrahmah kutip dari Sigabah.com. Ulasan ini diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
Syiah dan Rukun Iman
Sebagaimana kekufurannya terhadap malaikat -yang telah kami bahas sebelumnya-keyakinan Syiah tentang kenabian (nubuwwah) juga berbeda dengan umat Islam.
3. Iman kepada para Nabi
Meski Syiah meyakini eksistensi nubuwwah (kenabian)—bahkan menurut mereka, siapa saja yang memungkiri kenabian dapat distempel sebagai kafir—namun demikian, mereka tetap menjadikan imamah (kepemimpinan 12 imam) sebagai sentral dari hukum kekafiran itu. Berkenaan dengan hal ini, salah seorang ulama Syiah kenamaan, at-Thusi, menegaskan sebagai berikut:
وَدَفْعُ الإِمَامَةِ كُفْرٌ كَمَا أَنَّ دَفْعَ النُّبُوَّةِ كُفْرٌ لِأَنَّ الْجَهْلَ بِهِمَا عَلَى حَدٍّ وَاحِدٍ.
“Menolak imamah hukumnya kufur, seperti halnya menolak kenabian. Karena tidak mengetahui keduanya berada dalam satu batas yang sama.”[1]
Selain itu, Syiah juga beriman kepada para Rasul Ulul ‘Azmi. Menurut mereka, Ulul ‘Azmi ada lima, yaitu Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad ‘alaihim ash-shalatu wa as-salam, persis seperti yang diyakini Umat Islam. Diriwayatkan oleh al-Kulaini dalam salah satu haditsnya sebagai berikut:
عَنْ سَمَاعَةَ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ قُلْتُ لأبِي عَبْدِ الله (عَلَيهِ السَّلام) قَوْلَ الله عَزَّ وَجَلَّ فَاصْبِرْ كَما صَبَرَ أُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ فَقَالَ نُوحٌ وَإِبْرَاهِيمُ وَمُوسَى وَعِيسَى وَمُحَمَّدٌ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِه)
Dari Sama’ah bin Mahran, ia berkata, “Aku bertanya pada Abu Abdillah As. (Ja’far as-Shadiq) mengenai firman Allah Swt. (Yang artinya) ‘Bersabarlah kamu seperti sabarnya para utusan Ulul ‘Azmi.’ Maka Abu Abdillah menjawab, ‘Mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad saw’.”[2]
Meski demikian, tentu tak bisa dipungkiri, bahwa dalam kitab-kitab rujukan mereka banyak dijumpai riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa para Imam Ahlul Bait lebih utama daripada para nabi, bahkan para rasul Ulul ‘Azmi. Dalam hal ini, tanpa menggunakan taqiyyah (secara terang-terangan), al-Majlisi mengatakan bahwa keutamaan para Imam yang masih berada di atas para nabi adalah salah satu keyakinan yang harus dipegang oleh setiap penganut Syiah.
إعلم أنّ ما ذكره رحمه الله من فضل نبيّنا و أئمّتنا صلوات الله عليهم على جميع المخلوقات و كون أئمّتنا أفضل من سائر الأنبياء هو الذي لا يرتاب فيه من تّبع أخبارهم عليهم السلام على وجه الإذعان و اليقين, و الأخبار في ذلك أكثر من أن تحصى … و عليه عمدة الإمامية ولا يأبى ذلك إلا جاهل بالأخبار.
“Ketahuilah, bahwa apa yang disampaikan oleh beliau (Ibnu Babawaih) – semoga rahmat Allah untuknya – tentang keutamaan Nabi dan para Imam kita – semoga shalawat Allah untuk mereka semua – atas semua makhluq yang lain, dan bahwa para A’immah lebih utama daripada para nabi, adalah (keyakinan) yang tak perlu diragukan lagi oleh orang yang sering membaca hadits para Imam, atas dasar ketundukan dan keyakinan. Hadits-hadits yang menjelaskan hal ini sangat melimpah . . . dan itulah yang dipegang oleh Syiah Imamiyah. Tak akan ada yang mengingkarinya kecuali orang yang tidak mengerti tentang hadits.”[3]
Dalam kitab yang sama, al-Majlisi menulis bab khusus mengenai hal ini. Pada bab spesifik itu, tulisan-tulisan al-Majlisi memberikan kesan kuat, bahwa Syiah tidak hanya gemar menghina umat Islam-Ahlussunnah, akan tetapi juga para utusan Allah Swt. yang maksum. Dengan penuh kemantapan, al-Majlisi menyatakan bahwa para Rasul Ulul ‘Azmi tersebut bisa sampai pada derajat yang tinggi disebabkan mereka mencintai para Imam Ahlul Bait. Artinya, andai saja mereka tidak mempercayai wilayah (kepemimpinan) Imam Dua Belas, tentu mereka tidak akan mendapat gelar Ulul ‘Azmi, serta tidak akan mendapatkan derajat dan keutamaan yang tinggi itu. Al-Majlisi menulis:
باب تفضيلهم عليهم السلام على الأنبياء و على جميع الخلق و أخذ ميثاقهم عنهم و عن الملائكة و عن سائر الخلق, وأنّ أولى العزم إنّما صاروا أولى العزم بحبّهم صلوات الله عليهم.
“Bab mengenai keutamaan para Imam di atas para nabi dan semua makhluq yang lain, serta pengambilan sumpah setia dari para nabi, malaikat dan makhluk yang lain untuk menjadi para Imam. Dan sesungguhnya Ulul ‘Azmi menjadi Ulul ‘Azmi sebab mencintai para Imam.”[4]
Dalam Bihar al-Anwar pada bab tersebut, al-Majlisi mengutip sedikitnya 88 (delapan puluh delapan) hadits yang diafiliasikan kepada para Imam Syiah Itsna Asyariyah (12 imam). Dalam hal ini, al-Majlisi tentu tidak sendirian. Para ulam Syiah yang lain juga menyuarakan pendapat yang sama. Ibnu Babawaih, yang mendapat predikat ash-Shaduq di kalangan Syiah, dalam kitabnya al-I’tiqadat menyatakan sebagai berikut:
يجب أن يعتقد أنّ الله عزّ و جلّ لم يخلق خلقا أفضل من محمد صلّى الله عليه و السلام و الأئمّة و أنّهم أحبّ الخلق الى الله عزّ و جلّ و أكرمهم و أوّلهم إقرارا به لما أخذ الله ميثاق النبيّين …
“Wajib diyakini bahwa Allah Swt. tidak menciptakan makhluk yang lebih mulia daripada Muhammad saw. dan para Imam, serta meyakini bahwa mereka adalah makhluk yang paling dicintai Allah Swt., paling mulia dan yang paling dahulu mengakui ketuhanan Allah, ketika Allah Swt. mengambil sumpah setia dari para nabi…”[5]
Keekstriman Syiah tidak hanya sampai disini. Lebih jauh, mereka mengatakan bahwa Allah Swt. tidak menciptakan Nabi Adam As. Melainkan karena wilayah (kepemimpinan) para Imam. Begitu pula halnya dengan nabi-nabi yang lain. Mereka tidak diciptakan dan diutus melainkan karena wilayah para Imam Syiah. Mengenai hal ini, Muhammad bin an-Nu’man al-Mufid menulis sebagai berikut.
ما استوجب آدم أن يخلقه الله بيده و ينفخ فيه من روحه إلّا بولاية عليّ عليه السلام , و ما كلّم الله موسى تكليما إلّا إلّا بولاية عليّ عليه السلام, و لا أقام الله عيسى بن مريم آية للعالمين إلّا بالخضوع لعليّ عليه السلام …
“Tidaklah Adam harus diciptakan oleh Allah dengan kekuasaan-Nya dan ditiupkan ruh padanya, melainkan karena wilayah Imam Ali AS. Tidaklah Allah berbicara dengan Musa melainkan sebab wilayah Imam Ali, dan Allah tidaklah menjadikan Isa putra Maryam sebagai tanda bagi alam semesta melainkan sebab tunduk kepada Imam Ali AS.[6]
Berkenaan dengan topik yang sama, Dr. Muhammad Kamil al-Hasyimi dalam kitabnya Aqaid asy-Syi’ah fi Al-Mizan mengutip Ibnu Babawaih al-Qummi sebagai berikut:
إنّ الكلمات الّتي تلقّاها آدم من ربّه , فتاب عليه, هي سؤاله بحقّ محمد و عليّ و فاطمة والحسن والحسين.
“Sesungguhnya kalimat yang diterima oleh Adam As. dari Tuhannya hingga dia diterima taubatnya adalah permintaan (ampunnya) dengan kedudukannya Nabi Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.”[7]
Lebih ekstrem lagi, adalah pendapat mereka yang menyatakan bahwa Nabi Ayyub AS. ditimpa berbagai musibah disebabkan beliau menolak wilayahnya Imam Ali As. Begitu pula dengan Nabi Yunus As., menurut Syiah, beliau dibuang dalam perut ikan sebab enggan mengakui imamah Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘Anhu. Bahkan, Nabi Adam As. dan Nabi Yusuf As. diusir dari rumahnya juga karena menolak imamah Imam Ali AS. Pernyataan ini antara lain termaktub dalam kitab tafsir mereka sebagai berikut:
إنّ حوت يونس قال: يا سيّدي : إنّ الله تعالى لم يبعث نبيّا من آدم الى أن صار جدّك محمد الّا و قد عرّض عليه ولايتكم اهل البيت, فمن قبلها من الأنبياء سلم و تخلّص, و من توقّف عنها و تتعتع في حملها لقي ما لقي آدم من المصيبة, و ما لقي نوح من الغرق, و ما لقي ابراهيم من النار, و ما لقي يوسف من الجبّ, و ما لقي أيّوب من البلاء, و ما لقي داود من الخطيئة, إلى أن بعث الله يونس فأوحى الله إليه أن يايونس, تولّ أمير المؤمنين.
“Sesungguhnya ikan Hut Nabi Yunus berkata, “Wahai tuan, sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutus seorang nabi mulai Adam hingga Muhammad kecuali telah menawarkan wilayah kalian wahai Ahlul Bait. Siapa pun dari para nabi yang menerimanya, dia akan selamat dan terbebas, dan siapa pun yang tidak menjawab atau ragu-ragu, dia akan merasakan musibah yang pernah dirasakan Adam, akan tenggelam seperti yang terjadi pada Ibrahim, dibuang ke sumur seperti yang terjadi pada Yusuf, ditimpa musibah sebagaimana yang menimpa Ayyub, berbuat salah seperti yang dilakukan Dawud. Hingga Allah Swt. mengutus Yunus As., maka dia mewahyukan kepadanya, ‘Hai Yunus, jadikan Ali Amirul Mukminin sebagai walimu’.”[8]
Selepas pemaparan data-data di atas, maka disini perlu dimaklumi, bahwa stigma-stigma negatif seperti itu memang sudah menjadi karakter ajaran Syiah, yang membuatnya berbeda dari sekte Islam yang lain, utamanya Ahlussunnah. Karenanya, pemujaan terhadap para Imam yang melampaui batas hingga berubah menjadi pengkultusan, tidak hanya memenuhi literatur-literatur dan menjadi cara pandang Syiah klasik, namun juga masih berlanjut pada Syiah kontemporer.
Namun yang perlu menjadi catatan adalah, trik yang digunakan Syiah kontemporer jauh berbeda dengan Syiah klasik. Jika Syiah klasik berani bicara apa adanya, misalnya, maka Syiah kontemporer tidak. Jika Syiah klasik monoton memakai dalil-dalil mereka sendiri, Syiah kontemporer justru menggunakan dalil-dalil umat Islam dengan segenap pemelintirannya. Akan tetapi kendati demikian, Syiah kontemporer pun tetap masih banyak yang mengikuti gerak langkah Syiah klasik.[9] Khomaini, pemuka Syiah konservatif penggerak revolusi Iran, menjadi salah satu contoh dari model ini. Dalam salah satu karyanya, al-Hukumah al-Islamiyah, Khomaini mengatakan:
إنّ للإمام مقاما محمودا و درجة سامية و خلافة تكوينيّة تخضع لولايتها وسيطرتها جميع ذرّات هذا الكون, و إنّ من ضروريّات مذهبنا أنّ لأئمتنا مقاما لم يبلغه ملك مقرب ولانبي مرسل …
“Sesungguhnya Imam mempunyai kedudukan yang terpuji, derajat yang mulia dan kepemimpinan mendunia, dimana seisi alam ini tunduk dibawah wilayah dan kekuasaannya. Dan termasuk hal yang aksiomatis adalah bahwa para Imam kita mempunyai kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat muqarrabin ataupun nabi yang diutus. . .[10]
Bersamaan dengan streotype hitam yang dipajang Khomaini dalam bukunya tersebut, muncul pula fatwa-fatwa para ulama dunia Islam yang mengkafirkannya. Hujan fatwa tersebut dapat dimaklumi, sebab aksi Khomaini memang terlalu jauh melampaui batas. Tak tangggung-tanggung, Khomaini malah berani bersuara lantang di depan publik, bahwa para nabi telah gagal dalam menegakkan keadilan di muka bumi, termasuk Nabi Muhammad saw. pidato itu dia sampaikan pada tanggal 15 Sya’ban 1400 H. dan dipancar-luaskan oleh Radio Nasional Iran. Berikut petikan dari pidato tersebut:
لقد جاء الأنبياء جميعا من أجل إرساء قواعد العدالة في العالم, لكنهم لم ينجحوا, حتى النبي محمد خاتم الأنبياء الذي جاء لإصلاح البشرية وتنفيذ العدالة, وتربية البشر لم ينجح في ذلك, وأن الذي سينجح في ذلك و يرسي قواعد العدالة في جميع أنحاء العالم في جميع مراتب إنسانية الإنسان وتقويم الإنحرافات هذا المهدي المنتظر …
“Benar-benar telah datang para nabi untuk menegakkan dasar-dasar keadilan di alam ini, namun mereka semua telah gagal, hingga Nabi Muhammad saw. yang menjadi penutup para nabi, yang diutus untuk memperbaiki kemanusiaan, menegakkan keadilan dan mendidik manusia, juga masih gagal. Yang akan berhasil menegakkan keadilan di seluruh dunia dalam setiap sektor kehidupan manusia dan memperbaiki segala kerusakan adalah al-Mahdi al-Muntadzar…”[11]
Namun memang harus diakui jika tidak semua versi Syiah mengklaim bahwa para imam lebih utama daripada para nabi. Syiah model ini adalah bagian dari aneka ragam karakter Syiah yang berbeda-beda. Secara garis besar, dalam konteks ini Syiah dapat dikelompokkan dalam tiga tipe:
Berpendapat bahwa para nabi lebih utama daripada para Imam, hanya ada sebagian dari mereka yang berpendapat jika para Imam lebih utama daripada para Malaikat.
Mempercayai bahwa para Imam lebih utama daripada para nabi dan Malaikat. Ini adalah pandangan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (12 imam). Meyakini bahwa para nabi dan Malaikat tetap lebih utama daripada para Imam Ahlul Bait. Mereka adalah Syi’i Mu’taziliy (Syiah dengan mainstream Mu’tazilah).
Terlepas dari klasifikasi ini, dari uraian di atas kita dapat menilai, bahwa literatur-literatur yang menyebutkan keutamaan para Imam Ahlul Bait berada di atas para nabi adalah kitab-kitab yang menjadi acuan utama dan terpercaya di kalangan Syiah. Kitab-kitab itulah yang senantiasa dijadikan rujukan, terus dibaca dan diajarkan dari generasi- ke generasi.[12]
Referensi
[1]Periksa, Muhammad bin Hasan ath-Thusi, Talkhish asy-Syafi, juz 4 hlm. 131, al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 8 hlm. 368 dan al-Qifari, Ushul Madzhab Syi’ah, juz 2 hlm. 227.
[2]Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 17.
[3]Lihat, Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, Juz 26, hlm. 297-298.
[4]Ibid, hlm. 267.
[5]Lihat, Ibnu Babawih, al-I’tiqadat, hlm. 106-107.
[6]Lihat, Muhammad bin Muhammad an-Nu’man al-Mufid, al-Ikhtishash, hlm. 250, al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 26 hlm. 294 dan al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 784.
[7]Lihat, Dr. Muhammad Kamil al-Hasyimi, ‘Aqa’id asy-Syi’ah fi Al-Mizan,hlm. 108, Ibnu Babawaih al-Qummi, Al-Khishal, hlm. 270.
[8]Lihat, Al-Huwaizi, Tafsir al-Tsaqalain, juz 3 hlm. 435 dan Dr. Muhammad Kamil al-Hasyimi, ‘Aqa’id asy-Syi’ah fi Al-Mizan, hlm. 108.
[9]Lebih lanjut, penjelasan tentang ini akan diuraikan lebih detail dalam pembahasan Syiah Kontemporer.
[10]Lihat, Khumaini, al-Hukumah al-Islamiyah, hlm. 52.
[11]Lihat, Wajih al-Madini, Limaadzaa Kaffara ‘Ulamaa al-Muslimiin al-Khomaini?, hlm. 14.
[12]Lihat, Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2, hlm. 743-753
(adibahasan/arrahmah.com)