Oleh Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Rukun iman adalah perkara yang amat penting dalam Islam. Jika seseorang tidak memenuhinya, maka predikat Mu’min tidak dapat dilekatkan. Begitulah yang terjadi pada kaum Syiah, predikat Mu’min tidak dapat dilekatkan kepada mereka, apalagi disebut Muslim.
Mengapa demikian? Berikut ulasan perkara iman dalam Syiah yang Arrahmah kutip dari Sigabah.com. Ulasan ini diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
Syiah dan Rukun Iman
Sebagaimana terhadap Uluhiyyah (ketuhanan)—yang telah kami bahas sebelumnya— keyakinan Syiah tentang malaikat juga berbeda dengan umat Islam sebagai berikut:
Iman Kepada Malaikat
Mempercayai keberadaan malaikat juga termasuk bagian dari rukun Iman. Semua umat Islam sepakat akan hal ini. Hanya saja, seperti halnya uluhiyyah dan nubuwwah, Syiah memiliki versi sendiri berkenaan dengan penciptaan malaikat berikut tugas-tugas mereka. Semua kepercayaan yang ganjil tentang malaikat ini juga bermuara pada ideologi politis mereka, yakni imamah.
Mengamati pembacaan Syiah terhadap ajaran “iman kepada para malaikat,” akan terasa sekali fanatisme berlebihan mereka kepada Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘anhu berikut para Imam mereka setelahnya.
Akibatnya, dalam Syiah muncul banyak doktrin-doktrin menyimpang dan khurafat. Dalam konteks pembahasan ini, mereka berpendapat bahwa para malaikat diciptakan dari cahaya para Imam Dua Belas dan malaikat-malaikat itu adalah pelayan-pelayan para Imam. [1] Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa para malaikat diciptakan dari cahaya Imam Ali Radhiyallahu ‘anhu. [2]
Lebih lanjut, dalam kitab Bihar al-Anwar dan Kanzu Jami’ al-Fawa’id terdapat penjelasan sebagai berikut:
خلق الله من نور وجه علي ابن أبي طالب سبعين ألف ملك يستغفرون له و لمحبيه إلى يوم القيامة.
“Allah Swt. menjadikan 70.000 malaikat dari cahaya wajah Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu Yang memohonkan ampun untuk beliau dan pengikut beliau hingga hari kiamat.”[3]
Sementara mengenai tugas-tugas para malaikat, Syiah juga punya versi tersendiri yang ganjil. Menurut Syiah, di antara mereka (para malaikat) ada yang bertugas khusus untuk menangis di kuburan Imam Husain As.[4] Salah satu pemuka dan ulama besar Syiah, Ibnu Babawaih, mengutip satu riwayat yang diafiliasikan kepada Rasulullah SAW.:
أنّه قال لعليّ: إنّ الله تبارك و تعالى فضّل أنبياءه المرسلين على ملائكته المقرّبين, و فضّلت على جميع النبيّين و المرسلين, و الفضل بعدي لك يا علي و للأئمة من بعدك, و إنّ الملائكة الخدّامنا و خدّام محبّينا…
Rasulullah SAW. bersabda kepada Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Allah Swt. mengutamakan para rasul di atas para malaikat muqarrabin. Sementara aku diutamakan dari para rasul dan para nabi. Sepeninggalku, keutamaan itu ada padamu dan para Imam setelahmu. Sesungguhnya para Malaikat adalah pelayan kita dan pelayan pengikut kita.” [5]
Terkait dengan riwayat di atas, dalam suatu riwayat yag dikutip al-Majlisi, dikatakan bahwa suatu ketika Malaikat Jibril berdo’a agar menjadi pelayan para Imam:
إنّ جبرائيل دعا أن يكون خادما للأئمّة…
Bahwasanya malaikat Jibril berdoa agar menjadi pelayan bagi para Imam. [6]
Selanjutnya, al-Majlisi juga mengutip sebuah pernyataan yang diafiliasikan kepada Abu Abdillah As. Sebagai berikut:
إنّ الملائكة لتنزل علينا في رحالنا و تقلّب في فروشنا, و تحضر موائدنا, و تأتينا من كلّ نبات في زمانه رطب ويلسب, و تقلّب علينا أجنحتيا, و تقلّب أجنحتيا صبياننا, و تمنع الدّواب أن تصل إلينا, و تأتينا في وقت كلّ صلاة لتصليها معنا, و ما من يوم يأتي علينا و لا ليل إلّا و أخبار أهل الأرض عندنا, و ما يحدث فيها , و ما من ملك يموت في الأرض و يقوم غيره غلّا و تأتينا بخبره و كيف كانت سيرته في الدنيا.
“Sesungguhnya malaikat mengunjungi kita saat kita berada dalam tempat tinggal kita. Mereka juga ada di kasur-kasur kita, menghadiri jamuan kita, memberi kita buah-buahan pada musimnya baik yang basah atau kering, mengeluskan sayap-sayapnya pada kita dan anak kecil kita, mencegah binatang buas mengganggu kita, megunjungi kita pada waktu shalat agar bisa berjamaah dengan kita. Tiap hari dan malam kami mengetahui kabar-kabar dan peristiwa yang terjadi di muka bumi. Tidak ada satu raja pun yang matii dan diganti oleh yang lain kecuali kami mengetahui kabarnya. Kami juga mengetahui perihal mengenainya di dunia.” [7]
Dalam perspektif Syiah, malaikat al-Muqarrabin di-taklif (diberi beban kewajiban) untuk mengakui wilayah (kepemimpinan) Imam Ali Radhiyallahu ‘anhu. Sementara selain malaikat al-Muqarrabin tidak dituntut demikian. Namun meski demikian, malaikat non-muqarrabin itu juga disiksa bila tidak mau menerima imamah, hingga ada malaikat yang dirusak sayapnya sebab tidak sudi mengakui wilayah Imam Ali Radhiyallahu ‘anhu. Malaikat pembangkang itu dibebaskan dari siksa setelah menangis dan meratap di kuburan Sayyidina Husain Radhiyallahu ‘anhu.
Tampak sekali, bahwa kepercayaan terhadap para malaikat versi Syiah ini bercampur dengan kepercayaan terhadap mitos dan khurafat. Syiah menganggap hidup para malaikat bergantung sepenuhnya kepada para Imam. Menurut mereka makanan sehari-hari malaikat adalah bacaan shalawat terhadap Imam Ali As. dan para pengikutnya, serta memintakan ampun (istighfar) untuk mereka. [8]
Begitulah bentuk kepercayaan Syiah kepada malaikat-malaikat Allah SWT. Bagi mereka, percaya pada para malaikat tidak akan ada gunanya jika doktrin imamah ditolak. Ulama Syiah bersepakat bahwa imamah merupakan fondasi agama yang paling utama, dan karenanya mereka bersepakat pula akan kakafiran orang yang mengingkarinya, seperti apa yang tampak dar ketegasan pernyataan al-Majlisi berkut:
اتّفقت الأئمّة على أنّ من أنكر إمامة أحد من الأئمّة و جحد ما أوجبه الله تعالى له من فرض الطاعة فهو كافر ضالّ مستحق للخلود في النار.
“Syiah Imamiyah bersepakat (ijma’) bahwa siapa pun yang mengingkari ke-imam-an salah satu dari Imam (Dua Belas), serta menolak untuk taat pada mereka yang telah diwajibkan oleh Allah SWT., maka ia kafir, sesat dan kekal di neraka.” [9]
Tokoh penggerak Revolusi Iran, Khomaini, juga memberikan penegasan yang sama:
و من المعلوم, أنّ هذا الأمر يختصّ بشيعة أهل البيت و يحرم عنه الناس الآخرون لأنّ الإيمان لا يحصل إلّا بواسطة ولاية عليّ و أوصيائه من المعصومين الطاهرين عليهم السلام بل لا يقبل الإيمان بالله و رسوله من دون الولاية.
“Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa urusan ini hanya tertentu pada para pengikut Ahlul Bait, sementara selain mereka dihalang-halangi, karena iman tidak bisa diperoleh kecuali melalui (iman) pada wilayah Imam Ali As. Dan para Imam setelah beliau yang maksum dan suci – semoga keselamatan selalu atas mereka. Bahkan, iman kepada Allah dan Rasul-Nya tidak akan diterima tanpa (beriman) pada wilayah.” [10]
Referensi
[1] Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syiah, juz 2 hlm. 705.
[2] Lihat: al-Ma’alim az-Zulfa, hlm. 249.
[3] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 23, hlm. 320 dan Muhammad bin Ali bin Utsman al-Karajaki, Kanzu Jami’ al-Fawa’id, hlm. 334, cetakan Iran (1332 H).
[4] Muhammad bin al-Hasan al-Hur al-‘Amili, Wasail asy-Syiah, juz 10, hlm. 318 dan Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini, Furu’ al-Kafi, juz 1 hlm. 325.
[5] Ibnu Babawaih al-Qummi, ‘Ilal As-Syarayi’, hlm. 13.
[6] Al-Majlisi, bihar al-Anwar, juz 26 hlm. 344-345. Dikutip al-Qifari dalam Ushul Madzhab asy-Syiah, juz 2, hlm. 706.
[7] Al-Majlisi, bihar al-Anwar, juz 26 hlm. 356.
[8] Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syiah, juz 2 hlm. 708.
[9] Al-Majlisi, bihar al-Anwar, juz 23 hlm. 391.
[10] Abdullah al-Maushuli, Hatta la Nankhadi’, hlm. 31-33.
(adibahasan/arrahmah.com)