Oleh Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Rukun iman adalah perkara yang amat penting dalam Islam. Jika seseorang tidak memenuhinya, maka predikat Mu’min tidak dapat dilekatkan. Begitulah yang terjadi pada kaum Syiah, predikat Mu’min tidak dapat dilekatkan kepada mereka, apalagi disebut Muslim.
Mengapa demikian? Berikut ulasan perkara iman dalam Syiah yang Arrahmah kutip dari Sigabah.com. Ulasan ini diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
Syi’ah dan Rukun Iman
Dengan mengamati data-data yang tercantum dalam buku-buku rujukan Syiah, sekilas sekte ini memiliki keyakinan yang sama dengan umat Islam terkait dengan kepercayaan terhadap rukun-rukun iman yang enam. Namun jika kita selami lebih dalam lagi ternyata terdapat celah yang menganga antara doktrin Syiah dan ajaran Islam dalam beberapa persoalan berikut ini:
Uluhiyyah
Mengenai Uluhiyyah (ketuhanan), seperti halnya umat Islam, Syiah juga percaya akan ke-Esaan Allah Swt. Mereka meyakini bahwa Allah Swt. adalah Esa, tidak beranak tidak pula diperanakkan. Mereka juga meyakini bahwa Allah Swt. tidak serupa dengan sesuatu apapun, dan mereka menghukumi kafir terhadap orang-orang yang menyekutukan Allah Swt. Imam al-Kulainiy meriwayatkan:
عَنْ حَمَّادِ بْنِ عَمْرٍو النَّصِيبِيِّ… فَأَمَّا مَا فَرَضَ عَلَى الْقَلْبِ مِنَ الإيمَانِ فَالإقْرَارُ وَالْمَعْرِفَةُ وَالتَّصْدِيقُ وَالتَّسْلِيمُ وَالْعَقْدُ وَالرِّضَا بِأَنْ لا إِلَهَ إِلا الله وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ أَحَداً صَمَداً لَمْ يَتَّخِذْ صَاحِبَةً وَلا وَلَداً وَأَنَّ مُحَمَّداً (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِه) عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
“Dari Hammad bin Amr al-Nashibi, …sedangkan iman yang diwajiban pada hati adalah mengakui, mengetahui, membenarkan, berserah diri, berikrar, dan rela bahwa tiada Tuhan melainkan Allah Yang maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, Esa, tempat bergantung, tidak beristri, dan tidak pula beranak. Dan Sesungguhnya Muhammad SAW. adalah hamba dan utusan-Nya.”[1]
Dalam al-Kafi, al-Kulaini menjelaskan bahwa seseorang bisa dikatakan Muslim dengan bersaksi bahwa “tiada Tuhan melainkan Allah Swt. dan Muhammad saw. adalah utusan-Nya” (membaca dua Syahadat). Siapa yang mengikrarkan demikian, maka akan terjaga darahnya dan semua hak-haknya sama dengan semua Muslim yang lain.
عَنْ سَمَاعَةَ قَالَ قُلْتُ لأبِي عَبْدِ الله (عَلَيهِ السَّلام) أَخْبِرْنِي عَنِ الإسْلامِ وَالإيمَانِ أَ هُمَا مُخْتَلِفَانِ فَقَالَ إِنَّ الإيمَانَ يُشَارِكُ الإسْلامَ وَالإسْلامَ لا يُشَارِكُ الإيمَانَ فَقُلْتُ فَصِفْهُمَا لِي فَقَالَ الإسْلامُ شَهَادَةُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا الله وَالتَّصْدِيقُ بِرَسُولِ الله (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِه) بِهِ حُقِنَتِ الدِّمَاءُ وَعَلَيْهِ جَرَتِ الْمَنَاكِحُ وَالْمَوَارِيثُ وَعَلَى ظَاهِرِهِ جَمَاعَةُ النَّاسِ
Dari Sama’ah, dia berkata, ‘Saya bertanya kepada Abu Abdillah As., ‘Ajari aku tentang Islam dan Iman, apakah keduanya berbeda?’ Abu Abdillah menjawab, ‘sesungguhnya Iman masuk dalam kata-kata Islam, sedangkan Islam tidak masuk dalam kata-kata Iman.’ Aku berkata, ‘Terangkanlah kepadaku lebih lanjut.’ Beliau menjawab, ‘Islam adalah bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah Swt. dan membenarkan Rasulullah saw., dengan Islam inilah darah dilindungi dan di atas kalimat ini pulalah pernikahan dan pewarisan bisa dianggap sah, dan pada zahir dari pengakuan itulah (ketetapan hukum) semua manusia’.”[2]
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa seseorang bertanya kepada Abu Abdillah As. Ja’far as-Shadiq (Imam Syiah ke-6) tentang perbedaan Islam dengan Iman, namun beliau tidak bersedia menjawab. Begitu pula dalam pertemuan kedua, beliau juga tidak bersedia menjawab, hingga akhirnya mereka berdua berjumpa di jalan, sementara orang yang mengajukan pertanyaan sedang bersiap-siap akan melakukan perjalanan jauh. Abu Abdillah-pun menyuruh orang itu untuk menemuinya di rumah. Sesampai di kediaman Abu Abdillah, segera dia mengajukan pertanyaannya kembali, dan Abu Abdillah As. menjawab:
الإسْلامُ هُوَ الظَّاهِرُ الَّذِي عَلَيْهِ النَّاسُ شَهَادَةُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا الله وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامُ الصَّلاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَحِجُّ الْبَيْتِ وَصِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ فَهَذَا الإسْلامُ
“Islam adalah yang tampak dari luar, yang dipegang oleh orang, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt. Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bersaksi bahwa Muhammad saw.. adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji, dan berpuasa di bulan ramadhan. Inilah Islam.” [3]
Memperhatikan hadits-hadits Syiah di atas, tampak jelas terlihat bahwa pada satu sisi tentang uluhiyyah (ketuhanan) terdapat kesamaan antara keyakinan umat Islam dengan Syiah, namun di sisi lain terdapat perbedaan di antara keduanya, sebab doktrin Syiah tentang uluhiyyah (ketuhanan) tidak mandiri namun terikat dengan syarat beriman terhadap kepemimpinan Imam Ali As. setelah Nabi saw. dan para Imam dari turunannya. Menurut Syiah, siapapun yang beriman kepada Allah Swt., namun tidak beriman terhadap kepemimpinan Imam Ali As. setelah Nabi SAW. dan para Imam dari turunan beliau, maka hukumnya sama dengan orang musyrik (orang yang menyekutukan Allah, yakni kafir). Dalam hal ini, al-Majlisi menyatakan sebagai berikut:
إعلم أنّ إطلاق لفظ الشرك و الكفر – يعني في نصوصهم – على من لم يعتقد إمامة أمير المؤمنين و الأئمة من ولده عليهم السلام , و فضّل عليهم غير هم يدلّ أنّهم كفّار مخلّدون في النار.
“Ketahuilah bahwa memutlakan kalimat syirik dan kufur—dalam nash-nash Syiah—terhadap orang-orang yang tidak mempercayai ke-imamah-an Amirul Mukminin dan para Imam setelah beliau yang terdiri dari putra-putra beliau ‘alaihi as-Salam, dan megutamakan orang lain daripada mereka, bahwa menunjukkan orang-orang itu kafir dan kekal di neraka.” [4]
Bagi Syiah, kepemimpinan Ali As. dan para Imam setelahnya merupakan syarat mutlak agar seseorang bisa dikatakan beriman. Untuk itu, mereka juga menakwilkan beberapa ayat al-Qur’an tentang uluhiyyah yang telah memiliki ketegasan arti, agar sesuai dengan doktrin mereka. Penakwilan ayat-ayat ini rupanya menjadi salah satu cara terbaik untuk mendukung keyakinan mereka. Namun, siapapun yang membaca pentakwilan mereka pasti dapat melihat dengan jelas jika mereka sebetulnya tak memiliki landasan apapun, semisal ketika menakwilkan surat az-Zumar ayat 65 berikut:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepada mu dan kepada (Nabi-nabi) yang sebelummu. Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar[39]: 65).
Dalam al-Kafi dan tafsir al-Qummi dijelaskan, bahwa yang dimaksud “mempersekutukan” dalam ayat ini adalah menyekutukan kepemimpinan Imam Ali Radhiyallahu ‘anhu dengan kepemimpinan orang lain.[5]
Tentu saja, Syiah membaca ayat tersebut sepotong-sepotong, kemudian ditafsirkan sesuai dengan selera mereka. Karenanya, penafsiran ala Syiah ini juga tidak akan memiliki penguat, baik dari al-Quran (tafsir al-Quran bi al-Quran) ataupun dari hadits (tafsir al-Quran bi al-Hadits), yang merupakan metoda penafsiran terbaik. Tafsir semacam Syiah itulah yang disebut dengan at-Tafsir bi ar-Ra’yi, tafsir tanpa metodologi tafsir, atau tafsir sesuai selera sendiri.[6]
Karenanya, jika kita membaca ayat tersebut diatas secara lengkap, dengan mengikut sertakan ayat sebelum dan sesudahnya, pastilah kedok penafsiran Syiah ini akan terungkap dengan jelas. Kelengkapan ayat tersebut adalah sebagai berikut:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ # وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ # بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Katakanlah: “Maka apakah kamu menyuruh Aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan ?” dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu.” Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslaah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang bersyukur.” (QS. Az-Zumar [39]: 64-66).
Dari ayat di atas, kita dapat membaca dengan jelas, bahwa sebetulnya ayat tersebut tidak membutuhkan tafsir apapun, guna mengetahui “sesuatu apakah yang dapat menjadikan seseorang merugi jika dipersekutukan?”. Sebab ayat tersebut sudah berbicara dengan sendirinya, bahwa yang tak boleh disekutukan adalah Allah SWT.
Penyelewengan tafsir yang sama juga dilakukan Syiah ketika menafsiri ayat 36 dari surat al-Baqarah:
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ النُّعْمَانِ عَنْ سَلامٍ عَنْ ابي جعفر (عَلَيْهِ السَّلام) فِي قَوْلِهِ تَعَالَى قُولُوا آمَنَّا بِالله وَما أُنْزِلَ إِلَيْنا قَالَ إِنَّمَا عَنَى بِذَلِكَ عَلِيّاً (عَلَيْهِ السَّلام) وَفَاطِمَةَ وَالْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَجَرَتْ بَعْدَهُمْ فِي الائِمَّةِ (عَلَيْهِ السَّلام) ثُمَّ يَرْجِعُ الْقَوْلُ مِنَ الله فِي النَّاسِ فَقَالَ فَإِنْ آمَنُوا يَعْنِي النَّاسَ بِمِثْلِ ما آمَنْتُمْ بِهِ يَعْنِي عَلِيّاً وَفَاطِمَةَ وَالْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَالائِمَّةَ (عليهم السلم) فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّما هُمْ فِي شِقاقٍ.
Muhammad bin Yahya, dari Ahmad bin Ahmad bin Muhammad, dari al-Hasan bin Mahbub, dari Muhammad bin an-Nu’man, dari Salam, dari Abi Ja’far, mengenai firman Allah yang artinya “Katakanlah (hai orang-orang mukmin) “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”, beliau berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud oleh ayat itu adalah Sayyidina Ali AS., Sayyidah Fathimah, Sayyidina Hasan, Husein dan para Imam setelah mereka.” Lalu Abu Ja’far kembali menafsiri ayat al-Quran selanjutnya dan berkata: “Apabila mereka (maksudnya adalah manusia) beriman sebagaiman kalian (maksudnya adalah Sayyidina Ali, Fathimah, Hasan, Husein dan para Imam setelah mereka) beriman padanya, maka berarti mereka telah mendapatkan petunjuk. Dan jika mereka berpaling, maka mereka benar-benar dalam kesulitan.”[7]
Demikian pula ketika mereka menafsiri ayat 180 dari surat al-A’raf berikut:
الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ الاشْعَرِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى جَمِيعاً عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ سَعْدَانَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَمَّارٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ الله (عَلَيْهِ السَّلام) فِي قَوْلِ الله عَزَّ وَجَلَّ وَلله الاسْماءُ الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها قَالَ نَحْنُ وَالله الاسْمَاءُ الْحُسْنَى الَّتِي لا يَقْبَلُ الله مِنَ الْعِبَادِ عَمَلاً إِلا بِمَعْرِفَتِنَا.
Al-Husen bin Muhammad al-Asy’ari dan Muhammad bin Yahya bersama-sama menerima dari Ahmad bin Ishaq, dari Sa’dan bin Muslim, dari Mu’awiyah bin ‘Ammar, dari Abi Abdillah, mengenai firman Allah yang artinya: “Hanya milik Allah asmaul husan, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asamul husna itu. ” Beliau berkata, “Demi Allah! Kami adalah nama-nama yang paling baik dimana Allah tidak akan menerima amal hamba kecuali dengan mengenal kami.”[8]
Dalam konteks ini, Ali Akbar al-Ghifari, salah seorang editor al-Kafi, memberi catatan kaki sebagai penjelasan untuk riwayat di atas. Ia memaparkan bahwa nama menunjukkan terhadap hakikat sesuatu yang diberi nama. Dengan demikian, pada penafsiran dari ayat di atas, Syiah mengklaim, bahwa Imam-imam mereka menjadi semacam tanda atau lambang yang berfungsi untuk menunjukkan semua manusia kepada Allah Swt. Para Imam adalah tanda-tanda bagi keindahan sifat-sifat Allah dan setiap perbuatan-Nya.[9]
Dari tiga penafsiran versi Syiah di atas, tampak bahwa mereka tidak menggunakan metodologi baku dalam menafsirkan suatu ayat, selain fanatisme dan kepentingan kelompok belaka. Hampir semua ayat-ayat yang menjelaskan tentang tauhid dan larangan menyekutukan Allah Swt. oleh Syiah telah ditakwil dengan imamah.[10] Inilah rupanya yang membedakan antara keyakinan umat Islam dan doktrin sekte Syiah dalam konteks tauhidillah (meng-Esa-kan Allah SWT).
Maka, adalah tidak tepat jika dikatakan bahwa dalam lingkup ini (tauhid) tidak dijumpai perbedaan prinsipil antara Ahlussunnah dan Syiah, sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Quraish Shihab berikut: Dalam butir-butir makna tauhid di atas, tidak dijumpai perbedaan prinsipil antara Ahlussunnah dan Syiah, walau harus digaris bawahi bahwa kelompok Syiah, dalam hal sifat Tuhan, lebih cenderung sependepat dengan Mu’tazilah.[11]
Tentu saja kesimpulan yang dimunculkan oleh Dr. Quraish Shihab ini merupakan kesimpulan prematur, dan agaknya, beliau terburu-buru dalam memunculkan kesimpulan tersebut, terdorong oleh keinginan untuk menyatukan Sunnah-Syiah dengan cara yang tidak sehat. Dalam kajiannya dalam konteks ini (Rukun Iman dan Islam), Dr. Quraish Shihab sama sekali tidak mengikut-sertakan rujukan-rujukan Syiah yang otoritatif, dan memang menghindar dari suara mayoritas Syiah.
Bahwa keyakinan kelompok Syiah dalam rukun-rukun Iman, ditinjau dari sudut pandang bahwa Syiah juga meyakini keabsahan rukun-rukun tersebut, maka dapat dikatakan sama dengan umat Islam. Sementara jika ditinjau dari kenyataan bahwa Syiah, di samping keyakinan tadi, juga memberikan persyaratan ‘rukun iman’ yang lain untuk juga diyakini (imamah), di mana status dari “rukun iman ini” menjadi syarat mutlak bagi keabsahan rukun iman yang lain, maka Syiah jelas berbeda dengan umat Islam. Sebab dalam Syiah, orang yang tidak meyakini imamah adalah kafir, dan keimanan terhadap rukun-rukun iman yang enam menjadi batal. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa presepsi Syiah terhadap rukun-rukun iman berbeda dengan presepsi umat Islam. Karena itu, dalam level ini, Syiah tidak dapat dianggap sama dengan umat Islam, baik dalam hal Uluhiyyah/ketuhanan (yang telah kami jelaskan di atas) maupun tentang malaikat, nubuwwah/kenabian, kitab-kitab Allah Swt., hari akhir dan qadha-qadar-Nya, sebagaimana akan disampaikan pada bahasan selanjutnya.
Referensi
[1]Lihat, al-Ushul min al-Kafi, tashhih wa ta’liq Ali Akbar al-Ghifari, terbitan Muassasah Anshariyan, Qum : Iran, Cet. I, tahun 2005, Jilid 1, hal. 304, hadis No. 1521 (No. 7) dan tercantum dalam bab Fii Annal iimaan mabtsutsun lijawarih al-Badan kullihaa.
[2]Ibid., Jilid 1, hal. 297, hadis No. 1505 (No. 1) dan tercantum dalam bab Annal iimaan yasyrakul islaam wal islaamu laa yasyrakul iimaan.
[3]Ibid., Jilid 1, hal. 296-297, hadis No. 1502 (No. 4) dan tercantum dalam bab Annal islaama yuhqanu bihid damu wa tu’addaa bihil amaanatu wa anaats tsawaaba ‘alal iimaani.
[4]Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 23 hlm. 390.
[5]Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 427; Tafsir al-Qummi, juz 1 hlm. 251.
[6]Mengenai hal ini, dalam hadits dari al-Hasan dijelaskan, bahwa “Barang siapa yang menafsirkan al-Quran dengan pemikirannya, kemudian benar, maka ia tidak mendapat nilai pahala. Dan apabila benar, maka nur ayat itu dihapuskan dari hatinya.” Lihat antara lain dalam Ibnu Baththah al-‘Ukburi, al-Ibanat al-Kubra, juz 2 jlm. 328, hadits No. 813. Redaksi hadits ini tertuju pada orang yang menafsirkan al-Quran dengan hanya berlandasan pada pemikirannya. Sementara Syiah, selain hanya menafsirkan dengan pemikirannya, mereka juga menggiring ayat sesuai dengan kepentingan dan ideologinya.
Penjelasan senada juga ditegaskan oleh Sayyidina Ali. Beliau menyatakan: “Andai agama ini didasarkan pada pemikiran, tentunya bagiian bawah sepatu lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Sementara aku telah melihat Rasulullah SAW. mengusap bagian atas sepatu beliau.” Lihat, Sunan Abi Dawud, hadits No. 140; al-Mushannaf, juz 1 hlm. 208 dan as-Sunan al-Kubra, juz 1 hlm. 292. Pembahasan mengenai al-Quran versi Syiah akan kami kupas lebih terperinci dalam sub bagian Syiah dan al-Quran
[7]Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 415-416, hadits No. 19.
[8]Ibid., hlm. 143, hadits No. 4.
[9]Ibid, hlm. 144
[10]Semisal ketika menafsirkan ayat ke 48 dalam surat an-Nisa’ “Inna Allah la yaghfiru an yusyraka bihi”, al-‘Ayasyi dalam tafsirnya(juz 1 hlm. 245) memberikan penafsiran bahwa “Allah SWT. Tidak akan mengampuni orang yang mengingkari keimaman Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘anhu” Demikian pula ketika menafsiri kalimat as-Silmi dalam surat al-Baqarah ayat 208, al-‘Asyasyi dalam tafsirnya (juz 1 hlm. 102), menafsiri dengan kepemimpinan Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘anhu Dan para imam setelah beliau.
[11]Dr. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Berpegangan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 93.
(adibahasan/arrahmah.com)