Oleh Ustadz Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Untuk mengenali Syiah, kita harus mencermatinya dengan kacamata sejarah. Karenanya, mari kita pahami hakekat Syiah berdasarkan kajian sejarahnya yang Arrahmah kutip dari Sigabah.com. Ulasan ini diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
C. RAGAM ALIRAN SYIAH
Syiah adalah sekte yang terus berkembang mengikuti alur zaman. Karenanya, Syiah tidak melulu berjalan di satu lintasan dan dengan satu arah yang lurus. Jadi, adalah hal yang wajar jika kemudian Syiah juga mengalami problem perbedaan pemikiran, yang pada gilirannya memunculkan aneka ragam versi: Syiah Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat, dan masih banyak lagi.
Merujuk pada data-data yang ada, akan cukup jelas, jika yang menjadi pemicu utama bagi lahirnya ragam aliran dalam Syiah ini adalah imamah, semua sekte Syiah sepakat bahwa Imam yang pertama adalah Sayyidina Ali ra. selanjutnya adalah Hasan bin Ali, lalu Husain bin Ali ra. Namun, setelah itu muncul perselisihan mengenai siapa pengganti Imam Husain. Dalam hal ini, muncul dua kelompok dalam Syiah. Kelompok pertama meyakini imamah beralih kepada Ali bin Husain Zainal Abidin, putra Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. dari istri beliau selain Fathimah radhiyallahu anha.
Nah, akibat perbedaan antara kedua kelompok ini, muncullah berbagai sekte dalam Syiah. Sebagian di antara sekte-sekte ini sebetulnya tidak dapat disebut sekte atau aliran, karena hanya merupakan pandangan seseorang atau sekelompok kecil yang kurang memiliki kekuatan suara untuk diperhitungkan. Tapi, andai kita memperhitungkan arus kecil itu, maka pernyataan bahwa sekte Syiah terpecah pada ratusan versi (ada yang mengatakan sampai 300) adalah benar adanya.[1] Namun demikian, para ahli pada umumnya membagi sekte Syiah dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan kaum Ghulat, sebab firqah-firqah Syiah yang mencapai jumlah ratusan itu sejatinya bermuara dari empat kelompok besar tersebut.[2]
Syiah Kaisaniyah
Kaisaniyah adalah sekte Syiah yang mempercayai kepemimpina Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Sayyidina Husain bin Ali ra. Nama Kaisaniyah diambil dari nama seorang bekas budak Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra., Kaisan, atau dari nama Mukhtar bin Abi Ubaid yang juga dipanggil dengan nama Kaisan.
Sekte Kaisaniyah terpecah menjadi dua kelompok. Pertama, yang mempercayai bahwa Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya tidak mati, tetapi hanya ghaib dan akan kembali lagi ke dunia nyata pada akhir zaman. Mereka menganggap, Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang dijanjikan itu. Yang termasuk golongan Kaisaniyah antara lain adalah sekte al-Karabiyah, pengikut Abi Karb ad-Dharir.
Kedua, kelompok yang mempercayai bahwa Muhammad bin Hanafiyah telah meninggal, akan tetapi jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad bin Hanafiyah. Yang termasuk kelompok ini adalah sekte Hasyimiyah, pengikut Abi Hasyim. Ibnu Khaldun menengarai, bahwa dia ntara sekte-sekte Hasyimiyah yang pecah menjadi beberapa kelompok tersebut adalah penguasa pertama Dinasti Abbasiyah, yaitu Abu Abbas as-Saffah dan Abu Ja’far al-Manshur. Ibnu Khladun selanjutnya menyatakan bahwa setelah meninggalnya Abi Hasyim, jabatan imamah berpindah kepada Muhammad bin Ali Abdullah bin Abbas kemudian secara berturut-turut kepada Ibrahim al-Imam, as-Saffah, dan al-Mansur.
Sekte Kaisaniyah ini telah lama musnah. Namun, kebesaran dan kehebatan nama Muhammad bin Hanafiyah ini masih dapat dijumpai dalam cerita-cerita rakyat, sperti yang terdapat dalam cerita-cerita rakyat Aceh dan hikayat Melayu yang terkenal, Hikayah Muhammad Hanafiyah. Hikayat ini telah dikenal di Mekah sejak abad ke-15 M.
Syiah Zaidiyah
Zaidiyah adalah sekte dalam Syiah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husain Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husain bin Ali ra.. mereka tidak mengakui kepemimpinan Ali bin Husain Zainal abidin seperti yang diakui sekte Imamiyah, karena menurut mereka, Ali bin Husain Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin.
Dalam Syiah zaidiyah seseorang dapat diangkat sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria, yakni, keturunan Fathimah binti Muhammad SAW., berpengetahuan luas tentang agama, hidup zuhud, berjihad di jalan Allah SWT. dengan mengangkat senjata, dan berani. Disebutkan bahwa sekte zaidiyah mengakui keabsahan khilafah atau imamah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. (khalifah pertama) dan Umar bin Khattab ra. (khalifah kedua).
Dalam teologi mereka disebutkan, bahwa mereka tidak menolak prinsip imamat al-Mafdhul ma’a wujud al-Afdhal, yaitu bahwa seseorang yang lebih rendah tingkat kemampuannya dibanding orang lain yang sezaman dengannya dapat menjadi pemimpin, sekalipun orang yang lebih tinggi dari dia itu masih ada. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib dinilai lebih tinggi daripada Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Oleh karena itu, sekte zaidiyah ini dianggap yang paling dekat dengan sunnah.
Dalam persoalan imamah, sekte Zaidiyah ini berbeda pendapat dengan sekte Itsna Asyariyah atau Syiah Dua Dua Belas yang menganggap bahwa jabatan imamah harus dengan nash. Menurut Zaidiyah, imamah tidak harus dengan nash, tapi boleh ikhtiar atau pemilihan. Dari segi teologi, penganut faham Syiah Zaidiyah ini beraliran teologi Mu’tazilah. Oleh karena itu tidak heran kalau sebagian tokoh-tokoh Mu’tazilah, terutama Mu’tazilah Baghdad, berasal dari kelompok Zaidiyah. Di antaranya adalah Qadhi Abdul Jabbar, tokoh Mu’tazilah terkenal yang menulis kitab Syarh al-Ushul al-Khamsah. Hal ini bisa terjadi karena adanya hubungan yang dekat antara pendiri Mu’tazilah, Washil bin Atha’, dan Imam Zaid bin Ali. Akibatnya muncul kesan bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah berasal dari Ahlul Bait atau bahkan sebaliknya, justru Zaid bin Ali yang terpengaruh oleh Washil bin Atha’, sehingga ia mempunyai pandangan yang dekat dengan Sunnah. Sekte-sekte yang berasal dari golongan Zaidiyah yang muncul kemudian adalah Jarudiyyah, Sulaimaniyah, dan Badriyah atau ash-Shalihiyah.
Sekte Jarudiyah adalah pengikut Abi Jarud Ziyad bin Abi Ziyad. Sekte ini menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW. telah menentukan Ali sebagai pengganti atau Imam setelahnya. Akan tetapi penentuannya tidak dalam bentuk yang tegas, melainkan dengan isyarat (menyinggung secara tidak langsung) atau dengan al-washf (menyebut-nyebut keunggulan Ali dibandingkan dengan yang lainnya).
Sekte Sulaimaniyah adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Sekte ini beranggapan bahwa masalah imamah adalah urusan kaum Muslimin, yaitu dengan sistem musyawarah sekalipun hanya dengan dua tokoh Muslim. Bagi mereka, seorang imam tidak harus merupakan yang terbaik di antara kaum Muslimin, oleh karena itu sekalipun yang layak jadi khalifah setelah Nabi Muhammad SAW. adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. akan tetapi kepemimpinan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab adalah sah. Hanya dalam hal ini, umat telah melakukan kesalahan karena tidak memilih Sayyidina Ali ra. namun, mereka tidak mengakui kepemimpinan Utman bin Afan karena menurut mereka Utsman telah mnyimpang dari ajaran isalam. Sekte sulaimaniysah ini juga disebut al-Jaririyah.
Sekte badriyah atau ash-Shalihiyah adalah pengikut kaisar an-Nu’man al-Akhtar atau pengikut Hasan bin Shalih al-Hayy. Pandangan mereka mengenai imamah sama dengan pandangan sekte sulaimaniyah. Hanya saja dalam masalah Utsman bin Affan, sekte badriyah tidak memberikan sikapnya. Mereka berdiam diri atau tawaqquf. Menurut al-Baghdadi sekte ini adalah sekte Syiah yang paling dekat Ahlussunnah. Oleh karena itu Imam Muslim meriwayatkan beberapa Hadits dalam kitabnya Shahih Muslim dari Hasan bin Shalih al-Hayy.
Syiah Ghulat
Syiah Ghulat (kelompok Syiah yang ekstrem) adalah golongan yang berlebih-lebihan dalam memuji Sayyidina Ali ra. atau Imam-imam lain dengan menganggap bahwa para imam tersebut bukan imam biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri. Menurut al-Baghdadi, kaum Ghukat telah ada sejak masa Ali bin Abi Thalib ra. mereka memanggil Ali dengan sebutan “Anta, Anta”, yang berarti “Engkau, Engkau” yang dimaksud disini adalah: Engkau adalah tuhan.
Menurut al-Baghdadi, sebagian dari mereka sampai dibakar hidup-hidup oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. tetapi pemimpin mereka, Abdullah bin Saba’, hanya dibuang ke Mada’in. Di antara mereka ada yang menyalahkan, bahkan mengutuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib karena tidak menuntut haknya dari penguasa yang telah merampas haknya sebagai khalifah sesudah Nabi SAW.[3] Dalam sebuah riwayat Syiah disebutkan bahwa ketika suatu hari Bisyar asy-Syairi, seorang Ghulat, datang ke rumah Ja’far ash-Shadiq, Imam Ja’far mengusirnya seraya berkata, “sesungguhnya Allah SWT. telah melaknatmu. Demi Allah aku tidak suka seatap denganmu.” Ketika asy-syairi keluar, Ja’far ash-Shadiq berkata kepada pengikutnya, “celakalah dia. Ia adalah setan, anak dari setan. Dia lakukan ini untuk menyesatkan sahabat dan Syiahku; maka hendaklah berhati-hati terhadapnya orang-orang yang telah tahu akan hal ini hendaknya menyampaikan kepada orang lain bahwa aku adalah hamba Allah dan anak seorang perempuan, hamba-Nya. Aku dilahirkan dari perut seorang wanita. Sesungguhnya aku akan mati dan dibangkitkan kembali pada hari kiamat, dan aku akan ditanya tentang perbuatan-perbuatanku.”
Kaum Ghulat dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan, yaitu golongan as-Saba’iyah dan golongan al-Ghurabiyah. Golongan as-Saba’iyah berasal dari nama Abdullah bin Saba’, adalah golongan yang menganggap Ali bin Abi Thalib ra. adalah jelmaan dari Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri. Menurut mereka, sesungguhnya Sayyidina Ali ra. masih hidup. Sedangkan yang terbunuh di tangan Abdurrahman bin Muljam di Kuffah itu sesungguhnya bukanlah Sayyidina Ali ra., melainkan seseorang yang diserupakan tuhan dengan beliau menurut mereka, Sayyidina Ali ra. telah naik ke langit dan di sanalah tempatnya. Petir adalah suara beliau dan kilat adalah senyum beliau.
Adapun golongan al-Ghurabiyah adalah golongan yang tidak se-ekstrem as-Saba’iyyah dalam memuja Sayyidina Ali ra. menurut mereka Sayyidina Ali ra. adalah manusia biasa, tetapi dialah seharusnya yang menjadi utusan Allah, bukan Nabi Muhammad SAW.. Namun, karena Malaikat Jibril salah alamat sehingga wahyu yang seharusnya ia sampaikan kepada Sayyidina Ali ra. malah ia sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW., maka akhirnya Allah SWT. Mengakui Muhammad SAW. sebagai utusan-Nya.[4]
Syiah Imamiyah
Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi SAW. telah menunjuk Sayyidina Ali ra. sebagai Imam penggantinya dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengetahui keabsahan kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar, Umar, maupun Utsman ra.. Bagi mereka, persoalan imamah adalah salah satu persoalan pokok dalam agama atau Ushul ad-Din.
Syiah imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah golongan Itsna Asyariyah atau Syiah Dua Belas. Sementara golongan kedua yang terbesar adalah golongan Isamiliyah. Dalam sejarah Islam, kedua golonga sekte Imamiyah ini pernah memegang puncak kepemimpinan politik Islam. Golongan Ismailiyah berkuasa di Mesir dan Baghdad. Di Mesir golongan Ismailiyah berkuasa melalui Dinasti Fathimiyah. Pada waktu yang sama golongan Itsna Asyariyah dengan Dinasti Buwaihi menguasai kekuasaan kekhalifahan Abbasiyah selama kurang lebih satu abad.
Semua golongan yang bernaung dengan nama Imamiyah ini sepakat bahwa Imam pertama adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kemudian secara berturut-turut Sayyidina Hasan, Husain, Ali bin Husain, Muhammad al-Baqir, dan Ja’far ash-Shadiq ra.. Kemudian sesudah itu, mereka berbeda pendapat mengenai siapa Imam pengganti Ja’far ash-Shadiq. Di antara mereka ada yang meyakini bahwa jabatan imamah tersebut pindah kepada anaknya, Musa al-Kazhim. Keyakinan ini kemudian melahirkan sekte Itsna Asyariyah atau Syiah Dua Belas. Sementara yang lain meyakini bahwa imamah pindah kepada putra Ja’far ash-Shadiq, Ismail bin Ja’far ash-Shadiq, sekalipun ia telah meninggal dunia sebelum ash-Shadiq sendiri. Pecahan ini disebut Ismailiyah sebagian yang lain menanggap bahwa jabatan imamah berakhir dengan meninggalnya Ja’far ash-Shadiq mereka disebut golongan al-Waqifiyah atau golongan yang berhenti pada Imam Ja’far ash-Shadiq.
Sekte Itsna Asyariyah atau Syiah Dua Belas merupakan sekte terbesar Syiah dewasa ini. Sekte ini meyakini bahwa Nabi SAW. telah menetapkan dua belas orang Imam sebagai penerus Risalahnya, yaitu: [5]
Syiah Itsna Asyariyah percaya bahwa keduabelas Imam tersebut adalah ma’shum (manusia-manusia suci yang terjaga dari dosa, salah, dan lupa). Apa yang dikatakan dan dilakukan mereka tidak akan bertentangan dengan kebenaran, karena mereka selalu dijaga Allah SWT. dari perbuatan-perbuatan salah dan bahkan dari kelupaan.
Menurut Syiah Dua Belas, jabatan imamah berakhir pada Imam Mahdi al-Muntazhar Muhammad bin Hasan al-Askari. Sesudah itu, tidak ada Imam-imam lagi sampai hari kiamat. Imam Mahdi al-Muntazhar Muhammad bin Hasan al-Askari ini, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Mahdi, diyakini belum mati sampat saat ini. Menurut mereka, Imam Mahdi masih hidup, tetapi tidak dapat dijangkau oleh umum dan nanti pada akhir zaman Imam Mahdi akan muncul kembali. Dengan kata lain, Imam Mahdi al-Muntazhar kini diyakini sedang gaib.
Menurut Syiah Dua Belas, selama masa kegaiban Imam Mahdi, jabatan kepemimpinan umat, baik dalam urusan keagamaan maupun urusan kemasyarakatan, dilimpahkan kepada fuqaha (ahli hukum Islam ) atau mujtahid (ahli agama Islam yang telah mencapai tingkat mujtahid mutlak). Fuqaha atau mujathid ini harus memenuhi tiga kriteria. Pertama, faqahah, yaitu ahli dalam bidang agama Islam. Kedua, ‘adalah, (adil), takwa, dan istiqamah (konsisten) dalam menjalankan aturan-aturan agama. Ketiga, Kafa’ah, yaitu, yaitu memiliki kemampuan memimpin dengan baik. Mujtahid atau faqih yang menggantikan jabatan Imam Mahdi itu disebut na’ib al-Imam atau wakil Imam. Ayatullah Ruhullah Khomaini, misalnya, adalah seorang na’ib al-Imam tersebut.
Sebagai sekte Syiah terbesar, kelompok Syiah Dua Belas sebenarnya bukan golongan Imamiyah atau golongan yang hanya memusatkan perhatian pada persoalan imamah semata, tetapi juga merupakan golongan yang terlibat aktif dalam pemikiran-pemikran keislaman lainnya, seperti teologi, fikih, dan filsafat. Dalam teologi, sekte Itsna Asyariyah ini dekat dengan golongan Mu’tazilah, akan tetapi dalam persoalan pokok-pokok agama mereka berbeda.
Pokok-pokok agama menurut Syiah Dua Belas ini adalah at-Tauhid (tauhid), al-‘Ad (keadilan), an-nubuwwah (kenabian), al-imamah (kepemimpinan), dan al-ma’ad (tempat kembali setelah mereka meninggal). Sementara dalam bidang fikih, mereka tidak terikat pada satu madzhab fikih mana pun. Menurut sekte ini, selama masa kegaiban Imam Mahdi, urusan penetapan hukum Islam harus melalui ijtihad dengan berlandaskan pada al-Qur’an, hadits atau sunnah Nabi Muhammad SAW., hadits atau sunnah Imam Dua Belas, ijma’ ulama Syiah dan akal.[6] Akan tetapi perlu dicatat, bahwa Syiah memiliki al-Qur’an dan Hadits sendiri, interpretasi sendiri serta cara sendiri dalam mengoperasikan dalil-dalil tersebut, yang tidak sama dengan Ahlussunnah sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.
Nama-nama Syiah Itsna Asyariyah
Sebagai kelompok Syiah terbesar, Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah memiliki nama-nama atau julukan-julukan populer yang beragam. Bahkan, karena statusnya sebagai satu-satunya sekte Syiah yang masih bertahan hingga kini dan bahkan menguasai institusi Negara, ketika kata Syiah disebut, maka aksiomanya akan langsung menunjuk pada Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah ini. Nama-nama Itsna Asyariyah yang populer antara lain adalah:
a. Syiah
Mula-mula kata Syiah diucapkan untuk semua Firqah Syiah yang ada, namun saat ini, bila diucapkan kata Syiah maka yang dimaksud adalah Itsna Asyariyah. [7] Golongan ini disebut Syiah (pendukung) karena secara umum mereka mendukung Sayyidina Ali ra. untuk menjadi khalifah setelah Rasulullah SAW..
b. Imamiyah
Penamaan ini antara lain dapat diidentifikasi dari pernyataan salah seorang tokoh Syiah terkemuka di zamannya Syekh al-Mufid. Ia menyatakan sebagai berikut, “Aliran Imamiyah adalah aliran yang meyakini bahwa imamah, ‘ishmah dan nash imamah itu hukumnya wajib. Mereka memilih “imamiyah” sebagai nama karena ketiga unsur pokok akidah Syiah ini ada dalam kalimat tersebut. Siapapun yang mengamalkan tiga unsur pokok di atas, maka dia disebut Imamiy (orang yang bermadzhab Imamiyah), walaupun dia mencampur-baurkan hal-hal yang haq dengan yang bathil dalam pandangan madzhab.” Demikian kata al-Mufid.
Kemudian faktanya, orang-orang yang memenuhi kriteria yang disebutkan oleh al-Mufid di atas telah terpecah belah. Para tokoh berikut pengikut yang bermuara pada tiga unsur pokok dia atas juga telah terpecah. Sedangkan kelompok pertama yang mengeluarkan diri dari Madzhab Imamiyah adalah kelompok Kaisaniyah.[8]
c. Itsna ‘Asyariyah
Istilah ini tidak dijumpai dalam literatu-literatur klasik yang mengupas tentang sekte-sekte. Al-Qummi misalnya, tidak mencantumkan istilah ini sedikitpun dalm kitabnya al-Maqalat wa al-Firaq. Demikian juga dengan an-Nubakhti dalam karyanya Firaq asy-Syiah, juga al-Asy’ari dalam maqalat al-Islamiyyin. Barang kali orang pertama dari golongan Syiah yang menggunakan istilah ini dalam kitabnya adalah al-Mas’udi,[9] sedangkan dari kalangan Ahlussunnah adalah Syekh Abdul Qahir al-Baghdadi, sebab beliau mengungkapkan bahwa Syiah versi ini disebut Itsna ‘Asyariyah karena mereka berkeyakinan jika Imam Mahdi al-Muntadzhar merupakan Imam yang ke duabelas sejak Imam Ali ra.[10]sementara Muhammad bin Jawwad Mughniyah (tokoh Syiah kontemporer) juga mengukuhkan penamaan ini. Ia mengatakan bahwa Itsna ‘Asyariyah adalah nama yang diungkapkan untuk Syiah Imamiyah yang meyakini kepemimpinan dua belas imam.[11]
d. Al-Qath’iyah
Kata ini juga termasuk salah satu julukan Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah. Menurut para pemerhati sekte-sekte, seperti direkam oleh al-Asy’ari dalam Maqalat al-Islamiyyin,[12] asy-Syahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal,[13] al-Isfiraini dalam at-Tabshir fi ad-Din,[14] dan peneliti-peneliti lainnya. Syiah Itsna ‘Asyariyah disebut al-Qath’iyah karena mereka memastikan akan kematian Musa bin Ja’far ash-Shadiq.[15]
e. Ashhab al-Intizhar
Imam Fakhruddin ar-Razi menjuluki Syiah Itsna ‘Asyariyah dengan Ashhab al-Intizhar, yang berarti “mereka yang menuggu”. Hal ini disebabkan mereka meyakini jika yang berhak memegang jabatan Imam setelah Imam Hasan al-Askari adalah putranya, yakni Muhammad bin Hasan al-askari yang kini masih menghilang (gaib) yang selalu ditunggu-tunggu kehadirannya di akhir zaman sebagai Imam Mahdi. Keyakinan inilah yang dianut oleh Syiah Imamiyah hingga saat ini.[16]
f. ar-Rafidhah
Selain sebutan-sebutan di atas, sekelompok ulama, seperti Imam al-Asy’ari dalam Maqalat al-Islamiyyin[17] dan Ibnu Hazm dalam al-Fashl fi al-Milal wa an-Nihal [18] juga menyebut Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah dengan sebutan Rafidhah. Salah satu guru besar (syaikh) Syiah, yakni al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar juga menyebut Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah dengan kata Rafidhah ini.
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan awal mula penyematan nama ini. Konon, suatu saat orang-orang Syiah mendatangi Imam Zaid bin Ali bin al-Husain. Kemudian mereka berkata, “Andai tuan melepaskan diri dari (mencintai) Abu Bakar dan Umar, maka kami tetap setia bersam anda.” Lalu Zaid berkata, “Beliau berdua merupakan sahabat kakekku, saya tetap selalu mencintai beliau berdua.” Lalu orang-orang Syiah itu berkata, “Jika demikian, maka kami tidak akan pernah mengiraukan anda.” Sejak itulah kemudian mereka populer dengan sebutan Rafidhah, sedangkan orang yang tetap setia dengan Imam Zaid disebut Zaidiyah (penganut setia Imam Zaid bin Ali bin al-Husain).
Riwayat lain menyebutkan bahwa penyebab pemberian nama ini disebabkan mereka telah mencampakkan (tidak menganggap) kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar radiyallahu anhuma, sebagaiman ditegaskan oleh Imam al-Asy’ari dalam Maqalat al-Islamiyyin.[19]
Dalam kitab-kitab Syiah ditegaskan bahwa kata Rafidhah merupakan salah satu julukan Syiah Imamiyah yang paling dibanggakan dan mempunyai keutamaan tersendiri. Al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar menjelaskan beberapa fadhilah (keutamaan) atas pemberian nama ini untuk Syiah Imamiyah. Malah, ia menulis sub judul “bab Fadhli ar-Rafidhah wa at-Tasmiyati bihi ” (bab menjelaskan tentang keutamaan Rafidhah dan penamaan [Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah] dengannya). Kemudian al-Majlisi menampilkan empat dalil Hadits buatannya yang berisi memuji-muji penamaan Rafidhah ini.
Rupanya Syiah sangat senang dan bangga dengan penggunaan nama ini, sebab berarti mereka, menampakkan jati dirinya dan dengan mencampakkan ke-khalifahan-an Sayyidina Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra.. Maka tidak heran jika kemudian mereka memproduk hadits-hadits palsu yang menjelsakan akan keutamaan nama ini.[20]
g. Al-Ja’fariyah
Penamaan al-Ja’fariyah untuk Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah merupakan afiliasi kepada kepada Imam ke-6 Syiah, yaitu Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq ra. Dalam istilah ilmu retorika Arab, penyebutan seperti ini disebut menyematkan nama khusus untuk sesuatu yang umum. Dalam riwayat al-Kasyi dijelaskan bahwa pendukung Imam Ja’far yang bemukim di Kufah adalah kelompok yang mula-mula disebut Ja’fariyah. Saat beliau mendengar hal ini, beliau marah hebat dan berkata, “Di antara kalian yang mendukung Ja’far sangat sedikit, pendukung Ja’far hanyalah orang yang benar-benar wara’ dan beibadah untuk penciptanya.”[21]
h. Al-Khashshah
Nama ini digunakan oleh tokoh Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah untuk menyebut pengikutnya, sementara Ahlussunnah dipanggil dengan sebutan al-‘Ammah (kalangan awam). Dijelaskan dalam Da’irat al-Ma’arif: “Al-Khashshah, bila diucapkan oleh sebagian Ahli Dirayah Syiah, maka maksudnya adalah Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, sedangkan bila disebut kata Al-‘Ammah, maka yang dimaksud adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.”[22] Nama ini sering mereka gunakan ketika meriwayatkan hadits. Mereka kerap kali mengatakan “riwayat ini adalah menurut orang-orang awam (al-‘Ammah), sedang yang ini menurut orang-orang khash (al-Khashshah).[23] Diantara riwayat Syiah yang memakai kosa kata ini adalah sebagai berikut :
مَا خَالَفَ العَامَّةَ فَفِيهِ الرَّشَادُ
“Apapun yang berseberangan dengan orang awam (al-‘Ammah) adalah merupakan petunjuk.”[24]
Sementara sekte Isma’iliyah, sekte terbesar kedua dalam golongan Imamiyah, adalah golongan yang mengakui bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq ra. telah menunjuk Isma’il, putra beliau, sebagai Imam penggantinya sesudah beliau wafat. Akan tetapi, karena Isma’il bin Ja’far ash-Shadiq telah meninggal terlebih dahulu, maka orang-orang Syiah berpandangan bahwa sebenarnya penunjukan itu dimaksudkan kepada putra Isma’il, yaitu Muhammad bin Isma’il. Muhammad bin Isma’il lebih dikenal dengan sebutan Muhammad al-Maktum (yang berarti menyembunyikan diri).
Golongan Isma’iliyah berpendapat, selama seorang Imam belum mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendirikan kekuasaan, maka Imam tersebut perlu menyembunyikan diri; baru setelah merasa cukup kuat, ia akan keluar dari persembunyiannya. Selama masa persembunyiannya itu, sang Imam memerintah utusan-utusannya untuk menggalang kekuatan. Oleh karena itu, beberapa Imam sesudah Muhammad al-Maktum selalu menyembunyikan diri sampai masa Abdullah al-Mahdi yang kemudian berhasil mendirikan dan menjadi khalifah pertama Dinasti Fatimiah di Mesir.
Sebagian dari sekte ini percaya bahwa sebenarnya Isma’il bin Ja’far tidak meninggal dunia, melainkan hanya gaib dan akan kembali lagi ke dunia nyata pada akhir zaman. Mereka disebut as-Sab’iyah atau golongan yang mempercayai tujuh Imam. Untuk sekte ini, Imam terakhir adalah Isma’il bin Ja’far.
Golongan Isma’iliyah sampai saat ini ada, namun jumlah mereka sedikit sekali. Pengikut sekte ini yang banyak terdapat di India. Salah seorang Imam Isma’iliyah di wilayah tersebut dikenal dengan nama Aga Khan.
Dari uraian tentang aneka ragam sekte Syiah di muka, maka kita dapati satu titik temu, bahwa fakta berbicara jika untuk saat ini, satu-satunya aliran Syiah yang masih eksis dan memiliki peran yang signifikan di beberapa lini kehidupan umat Islam (keagamaan, sosial-kemasyarakatan dan politik kenegaraan) adalah hanya Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah. Sementara Syiah versi yang lain, seperti Saba’iyah, Mukhtariah, Kaisaniyah, Ghulat, dan lain-lain, telah punah termakan oleh seleksi waktu dan terkikis oleh gesekan-gesekan masa.
Namun, hal yang perlu disadari adalah, bahwa beragam versi Syiah tersebut, hingga versi yang paling ekstrem sekalipun, sejatinya tidaklah punah. Memang, secara riil mereka bisa dikatakan punah sebab sama sekali tidak ditemukan pengikut dan penerusnya, namun, secara substansial, ideologi dan ajaran-ajaran mereka tetap ada, terus hidup dan berkembang. Dan fakta yang sungguh mencengangkan, bahwa ajaran-ajaran dan ideologi-ideologi dari beragam aliran Syiah yang telah punah tersebut ternyata terangkum dalam aliran Syiah yang kini tengah memiliki pengikut dan pengaruh yang signifikan, yakni Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah.
Inilah fakta yang tidak dapat kita elakkan dan penting untuk segera disadari bersama. Sebab opini yang berkembang, dan tampaknya memang sengaja dikembangkan, bahwa Syiah Ghulat yang mempunyai pemikiran-pemikran ekstrem dalam berakidah sebenarnya telah punah, baik kelompoknya maupun ajaran-ajaranya. Jadi merupakan kesalahan besar apabila Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah yang masih eksis sampai sekarang dituduh Syiah yang ekstrem.
Nah, disanalah fakta dan data yang ada justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Riset yang dilakukan oleh para pakar menunjukkan bahwa sebetulnya aliran-aliran Syiah yang ekstrem itu secara ideologis masih berkembang dan terus dikembangkan, sebab ideologi-ideologi mereka sudah terangkum dalam akidah Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah yang memiliki peranan besar dan terus berkembang hingga kini.
Berikut sebagian bukti dari akidah-akidah aliran-aliran Syiah yang telah punah, yang terangkum dalam sekte Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah:
a. Bada’. Mulanya, bada’ merupakan salah satu akidah Syiah Mukhtariah, salah satu versi Syiah Ghulat, sedangkan kini menjadi kepercayaan resmi Syiah Itsna ‘Asyariyah. Riwayat-riwayat tentang bada’ bisa ditemukan dengan mudah dalam beberapa literatur utama Syiah Itsna ‘Asyariyah, seperti al-Kafi. Dalam kitab tersebut sedikitnya terdapat 16 (enam belas) riwayat tentang bada’ yang diafiliasikan kepada Ahlul Bait. Demikian pula dalam Bihar al-Anwar karya al-Majlisi. Dalam kitab tersebut setidaknya terdapat 70 (tujuh puluh) hadits yang menjelaskan tentang bada’ dengan sangat gamblang. Dari sini kita bisa melihat bahwa kelompok Syiah ekstrem—dengan berbagai ragam namanya—pada hakikatnya masih ada dan menyatu dalam doktrin Syiah Itsna ‘Asyariyah.
b. Raj’ah. Termasuk akidah Syiah Ghulat yang sekarang menjadi aliran wajib Syiah Itsna ‘Asyariyah adalah raj’ah. Syiah Itsna ‘Asyariyah, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti dalam babnya yang spesifik, sepakat menyatakan bahwa raj’ah merupakan salah satu pokok ajaran Abdullah bin Saba’, kelompok Syiah yang sangat ekstrem iu.
c. Pengkultusan terhadap para Imam. Akidah ini juga merupakan doktrin sekte Syiah Saba’iyah dan sekte Syiah Ghulat, dan kini sudah resmi menjadi ajaran Syiah Itsna ‘Asyariyah. Dalam karya ulama-ulama Syiah bisa dijumpai banyak riwayat yang mengupas tuntas doktrin ini, antara lain dalam al-Kafi, Bihar al-Anwar, kitab-kitab tafsir bi al-Ma’tsur Syiah seperti Tafsir al-Qummi dan Tafsir al-‘Ayasyi, serta dalam kitab-kitab Rijal al-Hadits Syiah seperti Rijal al-Kasyi dan lain-lain.
d. Mengutamakan Imam daripada Nabi. Ini juga merupakan salah satu ajaran Syiah ekstrem, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Qadhi ‘Iyadh, Imam Ibnu Taimiyah, dan yang lain. Doktrin ini sekarang juga menjadi kepercayaan resmi sekte Syiah Itsna ‘Asyariyah.[25]
Pembahasan tentang tema ini tampaknya memerlukan pengkajian yang spesifik, serius, dan terfokus. Mempelajari pemikiran sekte-sekte Syiah klasik dan membandingkan dengan literatur-literatur Syiah Itsna ‘Asyariyah, dan bahwa pemikiran Syiah Ghulat telah terekam dengan begitu sempurna dalam literatur-literatur Syiah Itsna ‘Asyariyah dengan bentuk periwayatan yang diafiliasikan kepada Imam-imam Ahlul Bait.
Untuk itu, doktrin-doktrin Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah yang merupakan himpunan dari doktrin-doktrin sekian banyak versi-versi Syiah yang telah punah, sedapat mungkin juga akan ditampilkan di sini, pada bagiannya tersendiri. Insyaa Allah.
Referensi:
[1] http://swaramuslim.net.
[2] Lihat, Ensiklopedi Islam (entri Syiah); http://swaramuslim.net.
[3]Kendati pengutukan terhadap Sayyidina Ali ra. merupakan salah satu karakter Syiah Ghulat, akan tetapi Ayatullah Ruhullah Khomaini juga sempat memunculkan klaim negatif terhadap Sayyidina Ali ra., lantaran beliau menerima tawaran arbitrase dari pihak Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan ra. (lihat penjelasan bagian akhir dari sub bagian Syiah, Sahabat, dan Ahlussunnah.)
[4] Ensiklopedi Islam, entri Syiah.
[5] Dikutip dari catatan Dr. Al-Qifari dalam Ushul Madzhab Syiah al-Imamiyah Itsna Asyariyah: ‘Ardh wa Naqd, juz 1 hlm. 129, cet. 2, Dar ar-Ridha (1418 H/1998 M).
[6] Ensiklopedi Islam, entri Syiah.
[7] Lihat antara lain dalam Da’irat al-Ma’arif, juz 14, hlm. 68, ath-Thabrasi, Mustadrak al-Wasa’il, juz 3 hlm. 311; Amir Ali, Ruh al-Islam, juz 2 hlm. 92.
[8] Lihat, al-‘Uyun wa al-Mahasin, juz 2, hlm. 19. Lihat pula, Ashlu asy-Syiah wa Ushuliha, hlm. 92.
[9] Periksa, at-Tanbih wa al-Isyraf, hlm. 198
[10] Al-Farqu baina al-Firaq, hlm. 64
[11] Al-Itsna Asyariyah wa Ahlu al-Bait, hlm. 15.
[12] Al-Asya’ari, Maqalat al-Islamiyyin, juz 1 hlm. 90-91.
[13] Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, juz 1 hlm. 169.
[14] Al-Isfiraini, at-Tabshir fi ad-Din, hlm. 33.
[15] Lihat, al-Qummi, al-Maqalat wa al-Firaq, hlm. 89.
[16] Lihat, al-I’tiqadati Firaq al-Muslimin wa al-Musyrikin, hlm.84-85.
[17] al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin juz 1 hlm. 88.
[18] Ibnu Hazm azh-Zhahiri, al-Fashl fi al-Milal wa an-Nihal juz 4 hlm. 157-158.
[19] al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin juz 1 hlm. 89.
[20] Lihat, Tafsir al-Furat, hlm. 139, al-Mahasin al-Barqi, hlm. 157.
[21] Lihat, Rijal al-Kasyi, hlm. 255.
[22] Lihat, Da’irat al-Ma’arif, juz 17, hlm. 122.
[23] Lihat anatara lain karakter penulisan dalam Bulugh al-Maram karya Hasyim al-Bahrani.
[24] Lihat, Ushul al-Kafi, juz 1, hlm. 68, Wasail asy-Syi’ah, juz 18, hlm. 76.
[25] Lihat, Ushul Madzhab Asy-Syi’ah, juz 3, hlm. 1186-1187.
(adibahasan/arrahmah.com)