Oleh Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Selain mengandalkan hadits Ghadir Khum dalam istidlal (pengambilan dalil), guna mendukung keyakinannya tentang imamah, sekte Syiah juga berargumen dengan hadits-hadits lain. Namun tentu saja, lagi-lagi ini juga menunjukkan rapuhnya istidlal mereka.
Berikut ulasan mengenai kerapuhan konsep Imamah dalam Syiah yang Arrahmah kutip dari Sigabah.com. Ulasan ini diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
Keyakinan Syiah tentang Imamah
Hadits Pertama
Hadits pertama di atas, yang oleh Syiah juga dijadikan landasan untuk doktrin imamah, sebagaimana kami singgung sebelumnya, merupakan hadits yang paling shahih mengenai keutamaan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu. Hadits anta minni bi manzilati harun min musa (bagiku, posisimu sebagaimana posisi Nabi Harun bagi Nabi Musa, hanya saja tak ada nabi sesudahku)[1]. Merupakan diantara beberapa hadits yang menjelaskan keutamaan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu. Namun, hadits ini tidak berarti mengunggulkan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu Di atas sayyidina Abu Bakar, Umar, dan Utsman Radhiallahu ‘anhu. Karenanya, hadits ini jelas tidak menunjukkan terhadapnash bagi hak kepemimpinan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu. Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa argument berikut:
Pertama, hadits ini disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalaam ketika beliau mempergantikan posisi beliau kepada Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu di Madinah, disebabkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalaam hendak pergi menuju perang Tabuk, seperti halnya Nabi Musa ‘Alaihis salaam yang mempergantikan posisinya kepada Nabi Harun disebabkan beliau hendak bemunajat kepada Allah subhanahu wata’ala untuk sementara waktu.[2] Namun perlu dipahami, bahwa istikhlaf (mengangkat pengganti) yang dilakukan Nabi Musa ‘Alaihis salaam hanya untuk sementara waktu, bukan untuk selamanya, seperti halnya penggantian yang dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalaam saat keluar dari Madinah. Dengan demikian, berarti hadits ini tidak sedikit pun mengindikasikan atas kekhalifahan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu setelah Nabi Muhammad wafat, sebab selain hanya merupakan penggantian posisi untuk sementara waktu, kasus yang sama (istikhlaf) tidak hanya terjadi pada Sayyidina AliRadhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalaam juga pernah menggantikan posisi beliau (istikhlaf) di Madinah kepada Saba’ bin ‘Arfathah pada saat beliau di ada Khaibar.
. . . عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ : قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ وَالنَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِخَيْبَرِ قَدْ اسْتَخْلَفَ عَلَى المَدِيْنَةِ سَبَّاعَ بْنَ عَرْفَطَةَ.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: saya datang ke Madinah sedangkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalaam. Berada di Khaibar, dan beliau mengantikan posisinya di Madinah kepada Siba’ bin ‘Arfathah.[3]
Selain, Saba’ bin ‘Arfathah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalaam juga pernah menggantikan posisi beliau di Madinah kepada Abu Rahm Kultsum bin al-Hushain al-Ghifari, ketika beliau keluar untuk menaklukan kota Mekkah.
. . . حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدِ بْنِ الحَسَنِ، ثَنَا أبُوْ شُعَيْبٍ الحَرَّانِي ، ثَنَا أَبُوْ جَعْفَرٍ النُّفَيْلِي ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إسْحَاقَ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا خَرَجَ لِفَتْحِ مَكَّةَ ، اسْتَخْلَفَ عَلَى المَدِيْنَةِ أَبَا رُهْمٍ كُلْثُوْمَ بْنَ الحُصَيْنِ الغِفَارِي.
… dari ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalaam. Ketika keluar untuk menaklukan kota Mekkah, beliau mengantikan posisinya di Madinah kepada Abu Rahm Kultsum bin al-Hushain al-Ghifari.[4]
Dua riwayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa istikhlaf Nabi shalallahu ‘alaihi wasalaam. terhadap para sahabat beliau tidak dimaksudkan untuk menjadi pemimpin Ummat Islam setelah beliau. Jika Syiah mengartikan hadits istikhlaf tersebut dengan arti penunjukkan sebagai pemimpin, maka mau tidak mau mereka harus menganggap Saba’ bin ‘Arfathah dan Abu Rahm Kultsum bin al-Hushain al-Ghifari sebagai pemimpin (Imam) juga. Jika tidak demikian, berarti mereka telah menerapkan standar ganda dalam menafsirkan hadits, agar sejalan dengan kepentingan mereka.
Kedua, dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang mengganti posisi Nabi Musa ‘Alaihis salaam setelah beliau wafat adalah Yusya’ bin Nun, teman beliau dalam perjalanannya mencari Nabi Khadir ‘Alaihis salaam dan bukan Nabi Harun. Ini sama halnya dengan yang mengganti posisi Nabi shalallahu ‘alaihi wasalaam setelah beliau wafat adalah teman beliau dalam gua ketika beliau hendak pergi ke Madinah.[5]
Ketiga, menyamakan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu dengan Nabi Harun ‘Alaihis salaam dalam hadits di atas, akan sangat tampak jika tidak dimaksudkan sebagai pernyataan tentang keunggulan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu melebihi Abu Bakar, Umar, dan Utsman, jika kita membandingkan hadits tersebut dengan hadits lain yang senada. Dalam Musnad Ahmad, misalnya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalaam menyamakan sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu Dengan Nabi Ibrahim dan Nabi Isa ‘Alaihis salaam, sementara Sayyidina Umar disamakan dengan Nabi Nuh dan Nabi Musa ‘Alaihis salaam.
وَإِنَّ مَثَلَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ كَمَثَلِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ: ( مَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ ) (إبراهيم ]14[: 36) وَمَثَلَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ كَمَثَلِ عِيسَى قَالَ: ( إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ } (المائدة ]5[: 118) وَإِنَّ مَثَلَكَ يَا عُمَرُ كَمَثَلِ نُوحٍ قَالَ: ( رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنْ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا ) (نوه ]71[: 26) وَإِنَّ مَثَلَكَ يَا عُمَرُ كَمَثَلِ مُوسَى قَالَ رَبِّ: ( اشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوْا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ ) (يونس ]10[: 88).
Kamu, hai Abu Bakar, seperti halnya Nabi Ibrahim ‘Alaihis salaam.; beliau mengatakan: “maka barang siapa yang mengikutiku maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhkaiku, maka sesungguhnya Engkau maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. Ibrahim [14]: 36); kamu juga seperti halnya Nabi Isa ‘Alaihis salaam., beliau berkata: “jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah yang maha Perkasa lagi maha BIjaksana.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 118). Sedangkan kamu, wahai Umar, seperti halnya Nabi Nuh ‘Alaihis salaam.; beliau mengatakan: “ya Tuhanku janganlah Engkau biarkan seorang pun diantara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS. Nuh [71]: 26), juga seperti halnya Nabi Musa ‘Alaihis salaam. Yang mengatakan: “kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (QS. Yunus [10]: 88).[6]
Ditinjau dari hadits ini, tentu dapat dinilai dengan jelas, bahwa Sayyidina Abu Bakar dan Umar lebih utama daripada Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu, sebab perumpamaan yang diungkapkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalaam untuk Sayyidina Abu Bakar dan Umar masing-masing adalah dua nabi (Abu Bakar sama dengan Nabi Ibrahim dan Isa, Umar sama dengan Nabi Nuh dan Musa). Sedangkan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu hanya disamakan dengan Nabi Harun, di mana beliau (Nabi Harun ‘Alaihis salaam) tidak lebih utama daripada Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa, yang kesemuanya tergolong dalam deretan nabi-nabi Ulul ‘azmi.
Hadits Kedua
Mengenai hadits kedua, sebagaimana telah kami cantumkan di atas, sebetulnya tidak banyak digunakan sebagai dalil penguat imamah oleh para penulis Syiah, karena itu hadits ini tidak begitu popular sebagaimana hadits pertama dan hadits Ghadir. Muhammad Husain al-Faqih dalam bukunya Limaadzaa Ana Syi’i,[7] merupakan sedikit di antara penulis Syiah yang menggunakan hadits ini sebagai dalil atas hak kekhalifahan sayidina Ali Radhiallahu ‘anhu Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalaam.
Rupanya, Muhammad Husain al-Faqih memahami benar bahwa hadits ghadir Khum “man kuntu mawlahu…” dan hadits “anta minni bi manzilati Harun min Musa” memang tidak tepat sasaran, banyak kelemahan dan banyak mendapat sanggahan dari Ummat Islam yang tidak bisa dijawab. Namun, ia tidak merasa jika dalil inipun juga meleset, bahkan lebih jauh dari dua dalil sebelumnya. Ada beberapa hal yang menyebabkan Muhammad Husain al-Faqih salah sasaran dalam menempatkan dalil ini:
Pertama, dugaan bahwa sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasalaam di atas (inna ‘Aliyan minni wa ana minhu) merupakan perkataan tunggal yang tidak pernah disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalaam kepada selain Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu, merupakan dugaan yang salah total. Hadits ini juga pernah beliau sabdakan kepada sahabat-sahabat yang lain, di antaranya adalah sahabat beliau yang bernama Julaibib, ketika ia gugur dalam medan perang setelah ia membunuh tujuh orang kafir, lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wasalaam bersabda:
قَتَلَ سَبْعَةً ثُمَّ قَتَلُوْهُ هَذَا مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ (رواه مسلم)
“Ia (julaibib) telah membunuh tujuh orang, kemudian ia dibunuh (oleh para musuh), ia dariku dan aku darinya.”[8]
Hadits ini juga pernah beliau sabdakan kepada orang-orang ‘asy’ariyyin:
إِنَّ الْأَشْعَرِيِّينَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ (رواه مسلم)
“Sesungguhnya orang-orang ‘Asy’ariy ketika mereka kehabisan bekal dalam peperangan,atau ketika makanan keluarga mereka di Madinah sangat minim, maka mereka mengumpulkan makanan yang mereka miliki dalam satu pakaian (wadah), kemudian mereka membaginya diantara mereka dalam satu wadah dengan rata, mereka dariku dan aku dari mereka.“ (HR. Muslim).[9]
Selain kepada Julaibib dan orang-orang Asy’ariyyin, Nabi shalallahu ‘alaihi wasalaam. juga pernah bersabda dengan kata-kata yang sama kepada Bani Nahiyah, beliau bersabda:
أَنَا مِنِهُمْ وَهُمْ مِنِيْ (رواه أحمد)
“Aku dari mereka dan mereka dariku.” (HR. Ahmad).[10]
Dari ketiga hadits ini, adakah yang menunjukkan arti kekhilafahan? Tentu jawabannya adalah tidak.[11] Andai saja hadits yang digunakan Musammad Husain al-Faqih di atas memang menunjukkan pada arti kekhalifahan, maka seharusnya Julaibib, Asy’ariyyin dan Bani Nahiyah Juga berhak menjadi khalifah, seperti halnya Sayyidina AliRadhiyallahu ‘anhu, sesuai dengan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasalaam.
Kedua, sedangkan kelanjutan dari hadits di atas, yaitu kalimat “wa huwa waliyyu kulli mu’minin min ba’di” juga tidak bisa dijadikan sebagai dalil atas doktrin imamah, sebab lafadz ini tidak tercantum dalam kitab-kitab shahih. Kata-kata tersebut hanya diriwayatkan oleh Ja’far bin Sulaiman. Sedangkan status Ja’far bin Sulaiman, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Tahdzib at-Tahdzib, adalah orang-orang yang sangat kental ke-Syiah-annnya. Karena itulah Abu ‘Isa mengatakan bahwa tambahan hadits ini, yang berupa kalimat “wa huwa waliyyu kulli mu’minin min ba’di“, merupakan hadits Gharib, sebab hanya diriwayatkan melalui jalur Ja’far bin Sulaiman.[12]
Selanjutnya, jika dikatakan bahwa hadits ini memiliki penguat, sebab juga diriwayatkann melalui jalur Ajlah al-Kindi, sebagaimana dicantumkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya. Maka perlu diketahui bahwa Ajlah juga penganut Syiah tulen, sebagaimana dijelaskan dalam kitab at-Taqrib, al-Mizan dan yang lain. Yang menjadi bukti bahwa tambahan hadits ini hanya melalui jalur dua orang Syiah itu adalah, ketika Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dari beberapa jalur selain Ja’far bin Sulaiman dan Ajlah al-Kindi, beliau tidak mencantumkan tambahan “wa huwa waliyyu kulli mu’minin min ba’di.“[13]
Hadits Ketiga
Ada beberapa poin yang perlu dicermati dari dalil hadits ketiga yang menjadi andalan Syiah ini, di mana hadits tersebut juga dijadikan sebagai dasar atas kepemimpinan 12 Imam Syiah secara berurutan.
Pertama, keragaman riwayat
Riwayat-riwayat hadits yang ditunjuk Syiah sebagai nash bagi kepemimpinan 12 orang dari suku Quraisy cukup beragam, dengan inti pembahasan sama dan tampilan redaksi yang berbeda, namun tetap mengacu pada satu perawi, yakni Jabir bin Samurah.
Dari keberagaman riwayat itu, ternyata riwayat yang ditampilkan Syiah sebagai dalil atas Imam 12 hanya riwayat yang sesuai dengan selera mereka, sehingga terkesan dapat memperkuat doktrin yang mereka usung, seperti yang ditulis oleh oleh Muhammad bin Husain al-Faqih dan Emilia Renita AZ di atas. Sedangkan riwayat yang kontras dengan doktrin mereka justru diabaikan, seperti riwayat dari Imam Abu Dawud, yang bersumber dar Isma’il bin Abi Khalid, dari ayahnya, dari Jabir bin Samurah dengan redaksi sebagai berikut:
لَا يَزَالُ هَذَا الدِّينُ قَائِمًا حَتَّى يَكُونَ عَلَيْكُمْ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً كُلُّهُمْ تَجْتَمِعُ عَلَيْهِ الْأُمَّةُ.
“Kepemimpinan Islam akan selalu tegak sehingga ada 12 pemimpin atas kalian, di mana seluruh Ummat kompak atas kepemimpinan mereka.“[14]
Riwayat lain yang diacuhkan Syiah adalah riwayat dari ath-Thabrani. Beliau meriwayatkan melalui jalur yang berbeda, yaitu dari al-Aswad bin Sa’id, dari Jabir bin Samurah dengan redaksi sebagai berikut:
لَا يَضُرُّهُمْ عَدَاوَةُ مَنْ عَادَهُمْ حَتَّى يَكُوْنَ عَلَيْكُمْ إثْنَا عَشَرَ خَلِيْفَةِ كُلهمْ يَجْتَمِعُ عَلَيْهِ الأُمَّةُ.
“Permusuhan orang yang memusuhi Ummat Islam tidak akan membahayakan sampai kalian dipimpin oleh 12 orang khalifah, dimana Ummat bersepakat atas kepemimpinan mereka.“[15]
Riwayat-riwayat semacam ini sama sekali absen dari kitab-kitab Syiah, dan sama sekali tidak digubris sebagai dalil atas kepemimpinan 12 Imam mereka. Alasannya adalah jelas, sebab kalimat “wa huwa waliyyu kulli mu’minin min ba’di” sangat tidak sesuai dengan doktrin imamah, dan bahkan berpotensi untuk memberangusnya.
Dalam sejarah tercatat dengan jelas, bahwa Imam Syiah yang disepakati oleh semua ummat Islam akan kekhalifahannya hanya Sayyidina ali Radhiallahu ‘anhu dan Sayyidina Hasan Radhiallahu ‘anhu, sedangkan Imam-imam Syiah yang lain tidak. Bahkan di buku Syiah sendiri terjadi ketidak-sepakatan dan silang pendapat dalam menentukan Imam mereka sendiri, yakni setelah wafatnya Sayyidina Husain Radhiyallahu ‘anhu; ada yang mengatakan bahwa kepemimpinan dilanjutkan oleh Muhammad bin al-hanafiyah Radhiallahu ‘anhu, ada pula yang berpendapat bahwa kepemimpinan itu dilanjutkan oleh keturunan Sayyidina Husain Radhiallahu ‘anhu. Dari sinilah sekte Syiah terpecah pada beberapa versi; Imamiyah-Ja’fariyah, Isma’iliyah, Zaidiyah dan seterusnya.[16]
Bahkan sebetulnya konsep dua belas Imam dalam Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah baru muncul belakangan, setelah Syiah terkotak-kotak pada beberapa versi yang berbeda-beda, dan konsep 12 Imam itu tidak ditemukan dalam sejarah awal munculnya sekte ini. Syiah yang muncul pertama kali berkeyakinan bahwa hak kepemimpinan Ummat hanya ada di tangan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu, bukan yang lain. Pendapat ini menjadi keyakinan kaum Saba’iyah. Selanjutnya muncul versi baru yang meyakini ke-imamah-an Sayyidina Ali, Hasan bin Ali, Husain bin Ali dan Muhammad bin Ali Radhiallahu ‘anhu. Mereka adalah golongan Syaih Kaisyaniyah, yang hanya mempercayai Imam sampai pada Muhammad bin Ali Radhiallahu ‘anhusaja. Selebinya bukan Imam.
Setelah dua golongan di atas, muncul lagi pendapat lain yang mengakui ke-imamah-an hingga Imam Ja’far ash-Shadiq, sedangkan Imam yang datang setelah Ja’far tidak diakui sebagai Imam. Sedangkan versi yang lain mengakui Imam-imam hingga Imam Mahdi al-Muntadzar. Merekalah yang kemudian dikenal dengan sebutan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah.[17] Di samping itu masih banyak aliran-aliran Syiah yang lain disebabkan perbedaan pemahaman mereka tentang imamah dan sosok Imam yang mereka yakini.
Dari sini tampak sekali bahwa konsep dua belas Imam muncul paling belakang setelah firqah-firqah Syiah yang lain. Namun demikian, agaknya kelompok ini menemukan celah dari hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasalaam. sebagai justifikasi terhadap kebenaran konsep Syiah yang mereka bangun (Imamiyah Itsna Asyariyah), dengan cara menyembunyikan sebagian riwayat yang bertentangan dengan konsep tersebut.
Dari sini, barangkali orang seperti Muhammad Husain al-Faqih memang harus berpikir ulang untuk menampilkan hadits tersebut sebagai dalil bagi kepemimpinan 12 Imam mereka. Dan agaknya, ia kehilangan cara untuk mengkondisikan hadits tersebut sesuai dengan logika Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah, sehingga ia lebih memilih untuk menyembunyikan hadits tersebut secara diam-diam. Kita berpikir, andai Syiah mampu untuk memformat ulang pemahaman hadits ini hingga sesuai dengan kepentingan mereka, seperti yang mereka lakukan pada dua hadits sebelumnya, tentu mereka akan melakukannya. Akan tetapi rupanya hadits ini sangat mungkin untuk menjadi “senjata makan tuan” bagi Syiah, dan menyapu bersih akidah mereka yang paling asasi, yakni imamah. [Poin berikutnya terkait hadits ketiga insyaa Allah dibahas pada pembahasan selanjutnya.]
Referensi
[1]Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahih Bukhari dengan sedikit perbedaan redaksi (hadits No. 3430 dan 4064); Shahih Muslim (hadits No. 4418); Sunan at-Tirmudzi (hadits No. 3663 dan 3664); Sunan Ibnu Majah (hadits No. 118); dan Musnad Ahmad (hadits No. 1465, 10842, 25834, dan 26195).
[2]Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarhi Sunan at-Tirmidzi, juz 9, hlm. 137, al-fashl, juz 4 hlm. 159-160.
[3]Lihat, Shahih Ibnu Khuzaimah, juz 3, hlm. 423.
[4]Abu Na’im al-Ashfahani, Ma’rifat as-Shahabah, juz 16, hlm. 493, No. hadits 5284.
[5]Lihat catatan kaki Ushul Madzhab asy-Syiah, juz 2, hlm. 831.
[6]Musnad Ahmad, hadits no. 3452.
[7]Muhammad Husain al-Faqih, Limaadzaa Ana Syi’I, hlm. 33.
[8]Shahih Muslim, hadits No. 4519
[9]Shahih Muslim, hadits No. 4556.
[10]Musnad Ahmad, hadits No. 1370.
[11]Lihat, Tuhfah al-ahwaddzi bi Syarhi Sunan at-Tirmudzi, juz 9, hlm. 125.
[12]Tahdzib at-Tahdzib, juz 2 hlm. 83 (entri: Ja’far bin Sulaiman adh-Dhab’i), juz 1 hlm. 72 (entri Ajlah Abdullah al-Kindi), dan Taqrib at-Tahdzib, juz 1 hlm. 165 (entri Ajlah bin Abdullah)
[13]Tuhfah al-Ahwaddzi bi Syarhi Sunan at-Turmudzi juz 9, hlm. 125.
[14]Sunan Abu Dawud, hadits No. 3731.
[15]Al-Mu’jam al-Kabir, hadits No. 1819.
[16]Rujuk kembali penjelasan tentang Ragam Aliran Syiah di edisi awal sigabah.com.
[17]Lihat: Utsman bin Muhammad Ali Khamis an-Nashiri, Kasyf al-jani Muhammad al-Tijani, hlm. 68.
(adibahasan/arrahmah.com)