Oleh Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Selain mengandalkan tafsir serampangan terhadap al-Qur’an Surat Al-Maidah: 55 dan 56 (yang telah terbantahkan pada edisi sebelumnya), ternyata sekte Syiah juga menghubungkan dengan hadits Ghadir Khum, guna mendukung keyakinannya tentang imamah. Bagaimanakah sekte Syiah beristidlal (melakukan pengambilan dalil) dari hadits Ghadir Khum tentang hak kepemimpinan Sayyidina Ali? Simak analisanya pada edisi ini.
Berikut ulasan mengenai kerancuan konsep Imamah dalam Syiah yang Arrahmah kutip dari Sigabah.com. Ulasan ini diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
Keyakinan Syiah Tentang Imamah
Istidlal Hadits Ghadir Khum
Terkait dengan pembahasan ayat ini (al-Ma’idah ayat 67), bahwa penegasan Syiah jika hadits Ghadir Khum merupakan rentetan dari surat al-Ma’idah ayat 67, sehingga mereka mengasumsikan jika hadits itu merupakan justifikasi lapis kedua dari penegasan ayat 67 surat al-Ma’idah terhadap hak kepemimpinan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya tak lebih dari sekedar asumsi yang tak berdasar. Sebab hadits tersebut, ditinjau dari aspek apapun dan dengan pendekatan apapun, tidak memberi indikasi sedikit pun terhadap hak kepemimpinan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu.[1] Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kejanggalan berikut.
Pertama, Syiah terlalu bermain-main dengan akidah yang mereka anggap paling asasi. Pasalnya, imamah, sebagai akidah inti Syiah, justru tidak memiliki landasan yang kuat dan tegas. Dalil imamah yang diangkat oleh Syiah, sebagaimana yang telah kita lihat, adalah sangat rapuh dan terlalu mudah untuk dibantah, sebagaimana dalil yang dipakai untuk ‘ishmat al-imam (kemaksuman imam) dan yang lainnya.
Selain itu, argumen Syiah bertentangan dengan banyak pengakuan Ahlul Bait. Buktinya, ketika al-Hasan al-Mutsanna (putra Sayyidina Hasan bin Ali Radhiallahu ‘anhu) ditanya mengenai hadits ini, apakah merupakan nash bagi kekhilafahan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu atau bukan? Beliau menjawab: Andai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam menghendaki menunjuk Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu sebagai Khalifah dengan hadits ini, tentu beliau akan bersabda: Wahai sekalian manusia, ini adalah penguasa urusanku, dan pemimpin bagi kalian setelahku. Maka tunduk dan patuhlah terhadap segala perintahnya.
Di lain kesempatan, ketika Imam Hasan ditanya sebagaimana pertanyaan yang dilontarkan sebelumnya, maka beliau menjawab: Demi Allah tidak! Jika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menghendaki khilafah, tentu beliau akan mengungkapkannya dengan tegas dan jelas, sebagaimana penjelasan beliau mengenai shalat dan zakat, seraya bersabda: Wahai sekalia manusia, sesungguhnya Ali adalah penguasa urusan kalian setelahku, dan pemimpin bagi sekalian manusia.[2]
Pengakuan al-Hasan ini sangat beralasan, sebab ajaran pokok (ushul) dalam agama Islam memang harus berlandaskan dalil yang jelas dan tegas (sharih), seperti nash al-Qur’an mengenai Shalat, Zakat, Puasa dan yang lain. Sedangkan imamah dalam perspektif Syiah merupakan di antara ajaran pokok dalam agama.[3] Maka, maksud dari hadits Ghadir yang tepat adalah sebagai berikut: “Mencintai Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu adalah suatu keharusan sebagaimana mencintai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, sedang memusuhi Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu adalah haram, seperti halnya memushi Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam.” Hadis Ghadir dengan arti ini, adalah sangat kontras dengan apa yang dimaksudkan Syiah, dan sangat cocok dengan apa yang dimaksudkan Ahlul Bait dan Ummat Islam secara umum.
Lebih lanjut, jika argumentasi Syiah didasarkan pada pemahaman terhadap teks secara objektif, seharusnya mereka tidak menutup mata terhadap hadits yang lebih sharih menunjukkan atas ke khalifahan Sayidina Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘anhu setelah wafatnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, daripada hadits yang mereka jadikan sebagai dalil atas kekhalifahan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu setelah Nabi, semisal hadits:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّارُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ رِبْعِيٍّ وَهُوَ ابْنُ حِرَاشٍ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ.
“Al-Hasan bin ash-Shabah al-Bazzar telah menceritakan kepada kami. Sufyan bin Uyainah telah menceritakan kepada kami, dari Zaidah, dari Abdul Malik bin ‘Umair, dari Rib’I yaitu bin Hitasy, dari Hudzaifah, ia berkata, ‘Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bersabda, ‘Ikutlah kalian semua dengan dua orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar’.”[4]
Kedua, secara kebahasaan, kata mawla yang terdapat dalam hadits Ghadir Khum sangat tidak tepat jika diartikan sebagai “pemimpin”. Selain tidak pernah dikehendaki dalam percakapan masyarakat Arab, dan karenanya tidak akan ditemukan dalam setiap kamus bahasa Arab, ketidaktepatan dalam mengartikan mawla dengan pemimpin juga dapat dilihat dari lawan kata dari kata mawla yang terdapat dalam kelanjutan hadits tersebut. Untuk lebih jelasnya, mari kita perhatikan kembali redaksi lengkap hadits Ghadir berikut kesesuaian artinya:
مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ اللَّهُمَّ وَاَلِ مَنْ وَالَاهُ وَعَادَ مَنْ عَادَاهُ.
Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya (penolongnya), maka Ali juga sebagai mawlanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.
Maka tampak jelas, bahwa arti yang dikehendaki Syiah dari kata mawla (pemimpin) tidak tepat sasaran, sebab kelanjutan hadits tersebut justru menyatakan: musuhilah orang yang memusuhinya. Jika demikian, maka arti yang tepat untuk kata mawla dalam hadits tersebut, baik secara teks maupun konteks, adalah “penolong”, sebab kebalikan dari penolong adalah musuh.[5]
Ketiga, dari segi sanad (mata rantai pentransmisian hadits), hadits ini bukan hadits mutawatir dan bahkan masih diperdebatkan ke-shahih-annya. Abu Dawud as-Sijistani dan Abu Hatim ar-Razi menilai hadits ini batal. Sementara Abu Musa, sebagaimana dikutip Ibnu Atsir dalam Usdu al-Ghabah, menyatakan bahwa hadits ini sangat gharib. Beliau berkata: Saya tidak mengetahui hadits ini kecuali dari riwayat Ibnu Sa’id.[6] Sedangkan Ibnu Hazm mengatakan bahwa hadits tersebut tidak memiliki jalur yang shahih sama sekali.[7]
Dari pemaparan data sejauh ini, kelemahan-kelamahan argumentasi Syiah terhadap dalil-dalil yang mereka anggap sebagai dasar bagi konsep imamah, akan selalu terungkap dari sudut pandang apa pun, baik dari segi kebahasaan, konteks pembicaraan nash dan periwayatan. Hal demikian dapat dimaklumi, sebab dalam Islam, konsep imamah sebagaimana yang dimaksudkan oleh Syiah memang tidak pernah ada, baik dari nash al-Qur’an maupun hadits. Yang ada adalah konsep syura (musyawarah).
Karenannya, Ummat Islam selalu mengembalikan urusan kekhilafahan pada konsep syura ini, sebab kekhilafahan merupakan salah satu permasalahan penting dalam Ummat Islam. Dan setiap permasalahan Ummat, memang semestinya diselesaikan dengan cara bermusyawarah, sesuai dengan anjuran yang sangat lugas dan tegas dalam al-Qur’an berikut:
[أَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ (الشورى) [42:38
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (QS. Asy-Syura [42]:38).
Sejarah membuktikan, bahwa konsep syura ini, yang sejak awal diterapkan oleh para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, sebab merekalah yang paling mengerti terhadap isi pesan dan kandungan al-Qur’an, dan bagaimana ajaran-ajaran itu diimplementasikan. Bahkan, Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu, sebagai salah satu sahabat utama Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, juga sepakat dengan konsep ini. Beliau tidak pernah menegaskan bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam menunjuk dirinya sebagai pemimpin setelahnya. Dalam hal ini, Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu berkata kepada Sayyidina Muawiyah Radhiallahu ‘anhu:
إنَّمَا الشُّوْرَى لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَالْأَنْصَارِ، فَإذَا اجْتَمَعُوْا عَلَى رَجُلٍ سَمَّوْهُ (إمَامًا) كَانَ ذِلكَ للهِ رِضًا.
“Sesungguhnya syura bagi sahabat Muhajirin dan Anshar, jika merka bersepakat terhadap salah seorang yang mereka sebut sebagai “Imam”, maka hal itulah yang diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala.”[8]
Maksud dari perkataan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu Ini adalah, bahwa Allah Subhanahu wata’ala. meridhai terhadap apa yang diridhai (disepakati) oleh sahabat Muhajirin dan Anshar. Artinya, Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu juga mengakui kepemimpinan tiga khalifah sebelum beliau, sebab tiga khalifah itu sudah dibaiat oleh sahabat Muhajirin dan Anshar dengan suara bulat. Kesepakatan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu terhadap 3 khalifah sebelumnya juga dibuktikan dengan pembaiatan beliau terhadap ketiganya.[9]
Kesepakatan Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu terhadap tiga khalifah sebelum beliau, tidak hanya dapat dilihat dari pembaiatan beliau terhadap ketiganya, akan tetapi juga dari pernyataan-pernyataan dari beliau sendiri. Ketika membaiat Abu Bakar, misalnya, Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu mengatakan sebagai berikut:
وَإنَّ لَنَرَى أَبَا بَكْرٍ أحَقَّ النَّاسِ بِهَا.
“Kami melihat Abu Bakar memang orang yang paling berhak menjadi khalifah.”[10]
Bahkan, ketika Sayyidna Ali Radhiallahu ‘anhu diminta perkenannya untuk menjadi khalifah, beliau berkomentar sebagai berikut:
دَعُوْنِيْ وَالْتَمِسُوْا غَيْرِيْ فَأَنْ أكُوْنَ لَكُمْ وَزِيْرًا خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ أَكُوْنَ عَلَيْكُمْ أَمِيْرًا.
“Tinggalkan aku, dan cari orang lain. Bagiku, menjadi Wazir (menteri) lebih baik dari pada menjadi Amir (khailfah) bagi kalian.”[11]
Selanjutnya, ketika Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu didesak agar menjadi khalifah pasca terbunuhnya Sayyidina Utsman Radhiallahu ‘anhu, beliau menolak dan ketika desakan itu tidak mampu beliau bendung, beliau menerimanya dan menyatakan demikian:
وَاللهِ مَا كَانَتْ لِي فِي الخِلَافَةِ رُغْبَةٌ وَلَا فِي الوِلَايَةِ إِرْبَةٌ, وَلَكِنَّكُمْ دَعَوْتُمُوْنِي إِلَيْهَا، وَحَمَلْتُمُوْنِيْ عَلَيْهَا.
“Demi Allah!, aku sama sekali tidak menghendaki khilafah dan tidak ada hasrat hati untuk menduduki wilayah, hanya saja kalian mengajakku dan membawaku padanya (kekhilafahan).”[12]
Selain dari pernyataan pribadi Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu Ini, doktrin imamah juga dapat diruntuhkan dari salah satu tiang penyangganya, yakni wasiat. Seperti yang telah kami uraikan sebelumnya bahwa, selain didukung oleh nash (al-Qur’an dan Hadis), Syiah juga meyakini jika doktrin imamah ini didukung oleh wasiat langsung dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Namun demikian, seperti halnya dalil al-Qur’an dan Hadis, Syiah juga tidak mampu mempertahankan keberadaan wasiat ini secara argumentatif. Sebab, selain keberadaan wasiat itu hanya merupakan kesimpulan dari penafsiran mereka terhadap nash, ternyata wasiat Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu Kepada kedua putranya, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain Radhiallahu ‘anhu, tidak seperti apa yang dikehendaki oleh Syiah.
Dalam hal ini, al-Mas’udi sejarawan Syiah terkemuka, memaparkan dengan jelas, apa sebetulnya yang diwasiatkan oleh Sayidina Ali terhadap kedua putranya itu:
وَدَخَلَ عَلَيْهِ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَهُ، فَقَالُوْا: يَا أَمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، رَأَيْتَ إِنْ فَقَدْنَاكَ، وَلَا نَفْقُدُكَ، أَنُبَايِعُ الحَسَنَ؟ قَالَ: لَاَ آمُرُكُمْ وَلَا أَنْهَاكُمْ، وَأَنْتُمْ أبْصَرُ. ثُمَّ دَعَا الحَسَنَ وَالحُسَيْنَ، فَقَالَ لَهُمَا: أُوْصِيْكُمَا بِتَقْوَى اللّهِ وَحْدَهُ وَلَا تَبْغِيَا الدُّنْيَا وَإنْ بَغَتْكُمَا، وَلَا تَأْسَفَا عَلَى شَيْءٍ مِنْهَا، قُوْلَا الحَقَّ وَارْحَمَا اليَتِيْمَ، وَأَعِيْنَا الضَّعِيْفَ، وَكَوْنَا لِلظَّالِمِ خَصْمًا وَلِلْمَظْلُوْمِ عَوْناً، وَلَا تَأْخُذْ كُمَا فِي اللّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ؛ ثُمَّ نَظَرَ إِلَى ابْنِ الحَنَفِيَّةِ فَقَالَ: هَلْ سَمِعْتُ مَا أَوْصَيْتُ بِهِ أَخَوَيْكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أُوْصِيْكَ بِمِثْلِهِ، وَأُوْصِيْكَ بِتَوْقِيْرِ أَخَوَيْكَ، وَتَزْيِيْنَ أَمْرِهِمَا، وَلَا تَقْطَعَنْ أَمْرًا دُوْنَهُمَا، ثُمَّ قَالَ لَهُمَا: أُوْصِيْكُمَا بِهِ، فَإِنَّهُ سَيْفُكُمَا وَابْنُ أَبِيْكُمَا، فأكْرِمَاهُ وَاعْرِفَا حَقَّهُ. فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ: ألَا تَعْهَدُ يَا أَمِيْرُ المُؤْمِنِيْنَ؟ قَالَ: لَا وَلَكِنِّي أَتْرَكُهُمْ كَمَا تَرَكَهُمْ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Orang-orang mengunjungi Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu dan bertanya kepada beliau: “Wahai Amirul Mukinin, bagaimana pendapatmu, jika kami kehilanganmu, adakah kami akan memba’iat Sayyidina Hasan?” Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu menjawab: “Aku tidak menyuruh kalian (untuk memba’iatnya) juga tidak melarang kalian. Kalian lebih tahu (mengenai hal itu).” Kemudian Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu memanggil Sayyidina Hasan dan Husain, lalu berkata kepada keduanya: “Aku berwasiat kepada kalian berdua agar bertakwa kepada Allah yang Esa. Janganlah kalian memburu dunia meski ia (dunia) memburu kalian. Dan janganlah kalian bersedih hati sebab kehilangan bagian dari dunia. Berkatalah dengan perkataan yang benar, kasihani anak yatim dan bantulah mereka yang lemah. Jadilah kalian sebagai musuh bagi orang yang dzalim dan penolong bagi orang-orang yang teraniaya, dan janganlah kalian terpengaruh di jalan Allah oleh cacian orang yang mencaci.” Kemudian Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu mengarahkan pandangan kepada ibnu al-Hanafiyah, lalu berkata: “Adakah kau mendengar apa yang ku wasiatkan kepada kedua saudaramu?” Ibnu al-Hanafiyah menjawab: “ya.” Lalu Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu kembali berkata: “Aku juga berwasiat kepadamu dengan wasiat yang sama. Ku wasiatkan juga kepadamu agar kau menghormati kedua saudaramu, mengindahkan kedua urusannya dan jangan memutuskan suatu perkara tanpa keduanya.” Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu kembali berkata kepada Sayyidina Hasan dan Husain: “Aku berwasiat kepada kalian dengan Ibnu al-Hanafiyah. Sesungguhnya ia adalah pedang kalian dan putra ayah kalian. Maka muliakanlah ia dan ketahuilah akan hak-haknya.” Kemudian salah seorang dari kaum berkata: “wahai Amirul Mukminin, apakah engkau tidak mengangkat putra mahkota?” Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu menjawab: “tidak, aku meninggalkan mereka (tanpa menentukan pengganti) sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan mereka.”[13]
Pernyataan-pernyataan dari Sayyidina Ali Radhiallahu ‘anhu di atas, juga pesan-pesan sesungguhnya yang beliau wasiatkan kepada Sayyidina Hasan, Husain, dan Ibnu al-Hanafiyah Radhiallahu ‘anhum, merupakan pukulan telak bagi Syiah, yang telah bersusah payah mengusung konsep imamah tanpa kenal lelah. Mengupayakan tegaknya suatu tatanan yag tidak dilandasi dengan konsep (imamah) yang tidak berakar pada al-Qur’an dan Hadits, betapapun getolnya, tetap tidak akan mendapat respon yang positif dari mayoritas Ummat Islam, sebab ajaran sedemikian berarti telah menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan Hadis yang menjadi pedoman hidup Ummat Islam.
Referensi
[1]Ibnu Taimiyah membuat catatan dengan melakukan peninjauan antara waktu turunnya ayat 67 dari surat al-Ma’idah dan hari Ghadir Khum: Bahwa turunnya ayat 67 dari surat al-Ma’idah adalah jauh sebelum Haji Wada’, sementara hari Ghadir terjadi pada tanggal 18 Dzul hijjah, setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. kembali dari Haji Wada’. Maka, pernyataan Syiah bahwa ayat tersebut turun pada hari Ghadir hanya statemen tak berdasar. (lihat, Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, juz 4, hlm. 84).
[2]Syah Abdul Aziz Ghulam Hakim ad-Dahlawi, Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna ‘Asyariyah, hlm. 213.
[3]Ibid.
[4]Lihat, Sunan at-Turmudzi, hadits no. 3565. Hadis senada juga bisa dijumpai dalam beberapa kitab Ummat Islam, seperti Musnad Ahmad, hadits No. 22161; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, Juz 7 hlm. 473; Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, juz 5 hlm. 212; Mustadrak al-Hakim, hadits No. 4426; al-Mu’jam al-Kabir li ath-Thabrani, hadits No. 8344 dan yang lain.
[5]Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syiah, juz 2 hlm. 840.
[6]Ibnu al-Atsir, Usdu al-Ghabah, juz 2 hlm. 65.
[7]Lihat, Ushul Madzhab asy-Syiah, juz 2 hlm. 839.
[8]Syarh Nahj al-balaghah, juz 3 hlm. 7.
[9]Nukhawalah al-Madinah: Bahts Tafshili, juz 1 hlm. 88-90.
[10]Syarh Nahj al-balaghah, juz 1 hlm. 132.
[11] Nahj al-balaghah, hlm. 181-182.
[12]Ibid, ihlm. 322.
[13]Al-Mas’udi, Muruj adz-Dzahab, juz 2 hlm. 425-426.
(adibahasan/arrahmah.com)