Oleh Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Argumen Syiah tentang Imamah sangat rancu dan kontradiktif. Apalagi jika kita melihat komentar salah satu tokoh agung mereka, al-Majlisi. Dalam karya besarnya, Bihar al-Anwar, ia menyebutkan bahwa Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu merupakan orang terakhir yang menerima wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
أَنَّ عَلِيًا هُوَ آخِرُ الأوْصِيَاءِ.
“Bahwa Sayyidina Ali adalah orang terakhir dari para penerima wasiat.”
Jika benar demikian, maka keimaman setelah Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu menjadi batal dan tidak sah, sebab mereka sudah tidak kebagian kursi wilayah, karena Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu adalah orang terakhir yang ‘menerima wasiat’ itu. Sehingga konsep 12 (dua belas) Imam jadi terbantahkan dengan sendirinya.
Berikut ulasan mengenai kerancuan konsep Imamah dalam Syiah yang Arrahmah kutip dari Sigabah.com. Ulasan ini diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
Keyakinan Syiah Tentang Imamah
Lebih dari itu, terlepas dari sudut pandang yang dipakai Syiah (yang telah terbantahkan), yakni riwayat sabab an-Nuzul dan adat hashr (huruf pembatas), andai kita memperkirakan bahwa ayat dalam Qur’an Syrat Al-Maidah: 55 memang diperuntukkan hanya kepada Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu, sebagaimana klaim Syiah, maka tidak sedikitpun ayat itu menunjukkan terhadap arti kekhilafahan. Hal ini dapat kita ketahui dari analisa berikut:
1. Kata waliyyukum
Pesan Allah subhanahu wata’ala. dalam ayat di atas salah satunya diungkapkan dengan kata waliyyukum. Di sini kita perlu melakukan identifikasi linguistik–etimologis sebelum masuk pada kajian terminologis–paradigmatik. Bahwa kata waliyyukum yang terdapat dalam ayat Al Qur’an di atas artinya adalah penolong atau pelindung, bukan penguasa atau pemerintah. Maka, arti dari ayat ke 55 surat al-Maidah tersebut, sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an dan terjemahannya, adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Dalam setiap kamus Arab, kata wilaayah selalu dibedakan dari kata walaayah. Sebab kedua kata tersebut memang memiliki arti yang berbeda: wilaayah berarti “kepemimpinan”, sementara walaayah berarti “kekasih” atau “pertolongan”. Isim (kata benda) dari wilaayah adalah waali (dengan menggunakan alif = والي) dan mutawalli(متولي). Sedangkan isim dari walaayah adalah waliy (tanpa memakai alif = ولي) dan mawla(مولى).[1] Nah, kata terakhir inilah (waliy = waliyyukum) yang digunakan dalam ayat Al Qur’an di atas.
Karenanya, para ahli tafsir bersepakat mengartikan kata waliyyukum pada ayat tersebut dengan walaayah, yang berarti kekasih atau penolong, kebalikan dari kata‘adaawah yang berarti permusuhan. Hanya kalangan Syiah saja yang mengartikan kata itu dengan wilaayah, yang berarti “kepemimpinan”, terdorong oleh ideologi yang diusungnya: imamah.
Perbedaan arti waliy (dengan menggunakan alif) dan waliy tanpa alif yang dijelaskan oleh para ahli bahasa Arab tadi dapat kita temukan dalam berbagai ungkapan yang terdapat dalam berbagai disiplin ilmu, antara lain sebagaimana contoh berikut:
إذَا اجْتَمَعَ فِيْ الجَنَازَةِ الوَالِي وَالوَلِيُّ فَقِيْلَ: يُقَدَّمُ الوَالِي وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِهِمْ, وَقِيْلَ: يُقَدَّمُ الوَلِيُّ.
Jika pemimpin dan orang tua berkumpul dalam mengurus jenazah, maka suatu pendapat mengatakan, pemimpin didahulukan dan itu menurut peendapat mayoritas ulama. Pendapat lain mengatakan, orang tua yang mesti didahulukan.
Lagi pula, jika kata waliy (tanpa menggunakan alif) diartikan dengan “kepemimpinan” maka bagaimanakah artinya, jika kita korelasikan dengan ayat-ayat lain yang memakai suku kata serupa seperti berikut:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Ingatlah, sesungguhnya para kekasih Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yunus [10]: 62).
Pada ayat tersebut, kata awliya’ merupakan jamak (kata untuk arti banyak) dari mufradwaliy (tanpa alif). Sedangkan waliy (dengan menggunakan alif) kata jamaknya adalahwulat yang berarti pemimpin, seperti yang sering kita jumpai dalam rangkaian katawulat al-mar.
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (البقرة)2:107
Tidaklah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong. (QS. Al-Baqarah [2]: 107).
قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا (الكهف ]18[: 26).
Katakanlah: “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan”. (QS. Al-Kahfi [18]: 26)
Ayat-ayat lain yang menunjukkan terhadap makna serupa juga dapat kita temukan antara lain dalam surat al-Kahfi ayat 50, al-Isra’ ayat 111 dan sebagainya. Mungkinkah ayat pertama (QS. Yunus [10]: 62) akan diartikan; “ingatlah sesungguhnya para pemimpin Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”? Adakah para Imam itu merupakan pemimpin Allah? Begitu juga analogi untuk ayat selanjutnya.
Sementara dalam hadits, kejelasan arti kata mawla tersebut dapat kita pahami antara lain dari hadits berikut:
قُرَيْشٌ وَالْأَنْصَارُ وَجُهَيْنَةُ وَمُزَيْنَةُ وَأَسْلَمُ وَأَشْجَعُ وَغِفَارُ مَوَالِيَّ لَيْسَ لَهُمْ مَوْلًى دُونَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ. (رواه البخاري و مسلم و أحمد والدارمي)
“Quraisy, Shahabat Anshar, suku Juhainah, suku Muzaynah, suku Aslam, suku Asyja’ dan suku Ghifar adalah penolongku, tidak ada pada mereka kekasih selain Allah dan Rasulul-Nya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan ad-Darimi).[2]
- Kata alladzina
Selain kata waliyyukum, kata alladziina dalam ayat tersebut juga dapat menjadi pukulan telak terhadap penafsiran Syiah. Penunjukan Syiah yang menentukan hak khilafah hanya untuk Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu dengan menggunakan ayat di atas, sejatinya merupakan langkah “bunuh diri”. Sebab sudah jelas bentuk kata yang digunakan Al Qur’an adalah plural (jamak), bukan tunggal (mufrad). Mari kita perhatikan kembali ayat tersebut berikut artinya :
إنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (المائدة ]5[: 55)
Sesungguhnya penolong kami hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang (alladzina) yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Di sini, tanpa memperhatikan fakta keberagaman sabab an-nuzul dan arti dariwaliyyukum dalam ayat ini (yang telah meruntuhkan asumsi Syiah), secara teks, ayat ini memang sulit untuk bisa dipaksakan bisa sinkron dengan maksud dan tujuan Syiah, yang mencoba menggiring ayat ini sebagai dalil bagi ketertentuan hak khilafah untuk Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu.
Jika ayat tersebut memang dimaksudkan untuk mempertegas hak kekhilafahan Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu dan mendiskualifikasi khalifah yang lain, maka seharusnya redaksinya tidak menggunakan kata jamak, akan tetapi memakai kata mufrad (tunggal). Namun kenyataannya tidak demikian, sehingga dapat kita simpulkan bahwa ayat tersebut justru merupakan dalil yang sangat kuat bagi umat Islam yang berkeyakinan bahwa hak khilafah bukan hanya untuk Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu.Sedangkan khalifah selain beliau yang diangkat melalui sistem baiat (pelantikan), juga merupakan Amirul Mukminin yang sah.
Maka dari itu, secara teks, ayat ini amat mendukung terhadap sabab an-nuzul yang menunjukkan bahwa orang-orang mukminlah yang menjadi sasaran khitab (mitra dialog)-nya, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di atas, kendati tidak menafikan kebenaran sabab an-nuzul yang lain.
- Siyaaq al-kalaam (konteks pembicaraan)
Bukti lain bahwa ayat ini tertuju pada makna walaayah (kekasih atau penolong) adalahsiyaaq al-kalaam (konteks pembicaraan) yang dapat ditangkap dari ayat tersebut, di mana sebelumnya menjelaskan tentang larangan untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai kekasih atau penolong:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (المائدة ]5[: 51)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai penolong-penolong(mu); sebagian mereka adalah penolong bagi sebahagianya yang lain. Barangsiapa diantara kamu menjadikan mereka sebagai penolong, maka sesunguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Arti dari ayat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari sebagai berikut:
قَالَ أَبُوْ جَعْفَرٍ : وَالصَّوَابُ مِنَ القَوْلِ فِيْ ذَلِكَ عِنْدَنَا أَنْ يُقَالَ: إنَّ اللهَ تَعَالَى ذَكَرَ نَهْىَ المُؤْمِنِيْنَ جَمِيْعًا أَنْ يَتَّخِذُوا اليَهُوْدَ وَالنَّصَارَى أَنْصَارًا وَحُلَفَاءَ عَلَى أَهْلِ الإِيْمَانِ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَغَيْرَهِمْ, وَأَخْبَرَ أَنَّهُ مَنِ اتَّخَذَهُمْ نَصِيْرًا وَحَلِيْفًا وَوَلِيًّا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَالمُؤْمِنِيْنَ فَإنَّهُ مِنْهُمْ فِي التَّحَزُّبِ عَلَى اللهِ وَعَلَى رَسُوْلِهِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَأَنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ مِنْهُ بَرِيْئَانِ.
Abu Ja’far berkata, “Menurut kami, pendapat yang tepat mengenai hal itu adalah bahwa Allah menjelaskan larangan terhadap semua orang mukmin untuk menjadikan Yahudi, Nashrani dan orang-orang kafir yang lain sebagai penolong dan sekutu bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya. Allah subhanahu wata’ala juga menjelaskan, bahwa barangsiapa menjadikan mereka sebagai penolong, sekutu dan kekasih dengan mengabaikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, maka berarti orang tersebut termasuk bagian darigolongan mereka (orang-orang kafir) dalam memusuhi Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, sedangkan Allah dan Rasul-Nya terbebas darinya.“[3]
Konteks ayat ini cukup jelas menunjukkan pesan Allah subhanahu wata’ala yang menegaskan larangan untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai kekasih dan penolong, dan sama sekali tidak bersinggungan dengan arti kepemimpinan.
Pada ayat selanjutnya, Allah subhanahu wata’ala menjelaskan, siapa saja yang pantas untuk dijadikan kekasih dan penolong, maka ayat ke 55 itulah yang memberikan penegasan bahwa Allah subhanahu wata’ala, Rasul-Nya dan orang-orang mukminlah yang berhak dan lebih pantas dijadikan sebagai kekasih dan penolong. Andaikan Allah subhanahu wata’ala menghendaki ayat ini sebagai ungkapan kepemimpinan, maka pasti redaksinya tidak sedemikian, melainkan memakai ” innamaa yatawallaa ‘alaikum”, yang berarti “sesungguhnya telah diangkat pemimpin bagi kalian.”
Ayat Kedua
Selanjutnya, untuk surat al-Maidah ayat 67 (yaa ayyuhaa ar-rasuulu baligh . . .), yang oleh Syiah kemudian dikaitkan dengan hadits Ghadir Khum, dan dinyatakan bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan peristiwa tersebut diriwayatkan secaramutawatir, juga merupakan istidlal (pengambilan dalil) yang rapuh. Kerapuhan dalil Syiah yang amat mendasar ini dapat kita tinjau dari beberapa sudut pandang, antara lain sebagai berikut:
Pertama: Tinjauan sabab an-Nuzul
Menilik dari apa yang dikemukakan para ulama, bahwa terdapat beberapa sebab yang menjadi pemicu turunnya ayat ini. Ar-Razi, Mufassir kenamaan Ahlussunnah, dalam tafsir-nya mengemukakan sekitar 10 riwayat yang berbeda berkenaan dengan sebab turunnya ayat ini.[4]
- Berkenaan dengan kisah ayat rajam dan Qishash.
- Berkenaan dengan caci-maki orang-orang Yahudi dan celaan terhadap agama Islam, dan Nabi tidak menanggapi mereka.
- Setelah turun ayat at-Takhyir (mempersilahkan pilihan pada istri-istri Nabi pada surat al-Ahzab ayat 28). Nabi tidak menunjukkannya pada istri-istri beliau, karena khawatir mereka akan memilih dunia, maka turunlah ayat ini.
- Turun mengenai Zaid dan Zainab binti Jahsyi. Zaid menyangka ada ayat yang disimpan oleh Rasulullah, maka turunlah ayat ini.
- Ayat ini turun mengenai masalah jihad, karena orang-orang munafik tidak mau berperang, maka ayat ini mendorong mereka untuk berjihad.
- Ketika turun ayat:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ (الأنعام ]6[: 108)
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. (QS. Al-An’am [6]: 108).
- Ayat ini mengungkap pencelaan terhadap orang-orang Yahudi dan Nashrani, hanya saja Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam diam dan tidak mengungkapkannya. Maka turunlah ayat ini sebagai dukungan moral kepada Nabi. Sehingga, maksud dari kata perintah baligh dalam ayat ini seakan-akan Allah menyatakan demikian: “Sampaikanlah kecacatan mereka, jangan takut, Allah yang akan menjagamu.”
- Ayat ini turun dalam masalah hak-hak orang Islam untuk mengetahui wahyu Allah subhanahu wata’ala., terbukti Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ketika Haji Wada’ pernah bersabda: “Apakah aku sudah menyampaikan?” sahabat mengatakan: “Ya,” Nabi berkata: “Ya Allah saksikanlah.”
- Turun ketika Nabi diancam oleh seorang A’rabi (Arab pedalaman) dengan pedangnya. Si A’rabi mengatakan: “Hai Muhammad, siapa yang akan menghalangimu dariku?” “Allah,” jawab Nabi. Maka tangan si A’rabi gemetar dan pedang yang ditodongkannya pada Nabi jatuh. Kemudian ia membenturkan kepalanya ke pohon hingga otaknya keluar, kemudian turunlah ayat ini, yang membuktikan bahwa Nabi terjaga dari ancaman manusia.
- Karena Nabi merasa takut terhadap orang-orang Quraisy, Yahudi, dan Nashrani, kemudian turunlah ayat ini untuk menghilangkan perasaan tersebut.
- Mengenai keutamaan Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu, ketika ayat ini turun, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. memegang tangan Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu dan mengatakan: “barang siapa menjadikanku kekasih, maka Ali adalah kekasihnya. Ya Allah kasihanilah orang yang mengasihinya dan musuhilah orang yang memusuhinya.” Kemudian Sayyidina Umar radhiallahu ‘anhu menemui Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu dan mengatakan: “semoga ia menyenangkanmu, wahai putra Abu Thalib, kamu telah menjadi kekasihku dan kekasih setiap mukmin dan mukminat.”[5]
Di samping sepuluh riwayat di atas, ath-Thusi seorang mufassir dari kalangan Syiah, juga menyatakan bahwa sabab an-nuzul dari ayat ini tidak tunggal, yakni memiliki empat macam asbab an-nuzul[6], yakni:
- Mengenai perasaan takut Nabi terhadap orang-orang Quraisy.
- Menganai A’rabi yang mengacam Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
- Ath-Thusi mengambil dari riwayat Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud ayat ini adalah untuk menghilangkan keraguan bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. telah menyembunyikan sebagian wahyu karena “
- Ath-Thusi mengambil riwayat yang diafiliasikan kepada Abu Ja’far dan Abu Abdillah, bahwa beliau berkata seperti ini: “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala. ketika memberikan wahyu kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menjadikan Ali radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah setelahnya, beliau merasa takut jika hal itu terasa berat oleh sahabatnya. Maka Allah subhanahu wata’ala. menurunkan ayat ini sebagai dorongan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya.”
Dari beragam versi mengenai sabab an-nuzul ayat ini, maka sebetulnya klaim Syiah yang menyatkan bahwa ayat tersebut secara spesifik memberikan penegasan terhadap kepemimpinan Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu, merupakan klaim sepihak, di samping riwayat yang digunakan adalah riwayat murni versi Syiah sendiri, dan tidak memiliki kekuatan argumen untuk dijadikan hujjah. (mengenai riwayat-riwayat Syiah lebih banyak kami uraikan dalam sub bagian Syiah dan Hadits).
Selanjutnya, dalam menafsirkan ayat ini, beberapa penafsir rupanya berjalan sesuai dengan sebab turunnya ayat ini. Ibnu Jarir ath-Thabari, misalnya, menafsiri ayat ini dengan mengaitkan sebab turunnya mengenai celaan terhadap orang-orang Yahudi dan Nashara Ath-Thabari mengatakan sebagai berikut: “Ini adalah perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada orang-orang Yahudi dan Nashara dari Ahli kitab sebagaimana korelasi dalam ayat ini. Di mana dalam surat ini Allah menyebutkan beberapa celaan mereka seperti berbagai keburukan agama mereka, keberanian mereka terhadap Tuhannya, menyerang para nabi dengan merubah dan mengganti kitab-Nya, dan kenistaan mereka. Berikut juga tentang sikap buruk orang-orang musyrik.’[7]
Sementara Ibnu Katsir menafsiri ayat ini secara universal, yaitu perintah Allah untuk menyampaikan semua perkara yang dipernitahkan-Nya kepada para Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau telah melakukan hal itu dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan itu, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits tentang ayat ini dari Sayyidah Aisyah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَقَدْ كَذَبَ وَاللَّهُ يَقُولُ يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْآيَةَ.
Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami. Sufyan telah menceritakan kepada kami, dari Ismail, dari Asy-Sya’bi, dari Masruq, dari Aisyah Ra, ia berkata, “Barang siapa bercerita padamu bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. menyembunyikan sesuatu yang diturunkan Allah kepadanya, maka orang itu pendusta. Sebab Allah berfirman: Wahai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu.“[8]
Meski demikian, dari penafsiran para ahli tafsir di atas, kiranya dapat kita simpulkan, bahwa ragam penafsiran tersebut sejatinya bermuara pada satu hal, yakni pembacaan terhadap Al Qur’an secara utuh dan menyeluruh: mengikut sertakan arti teks, konteks (siyaaq al-Kalaam) dan sabab an-nuzul-nya. Bahwa rentetan ayat ini memiliki korelasi utuh antara satu ayat dengan ayat yang lain. Dan semua rentetan tersebut mesti diikutkan dalam menafsirkan sebuah ayat. Inilah model pembacaan ideal dalam tafsir Al Qur’an, suatu model yang sama sekali tidak diperhatikan oleh penganut Syiah, khususnya di Indonesia.
Referensi:
[1]Lihat antara lain dalam ash-Shihah fi al-Lughah (entri: al-Waliy dan al-‘Aduw) Mukhtar ash-Shihah (entri: al-waliy) dan lain-lain.
[2]Secara arti, hadits ini sangat bertentangan dengan hadits Ghadir Khum, karenanya, hadits Ghadir Khum banyak mendapat kritik dari para ulama. Abu Dawud as-Sijistani dan Abu Hatim ar-Razi menilai hadits ini bathil. Sementara Abu Musa, sebagaimana dikutip Ibnu Atsir dalam Ushul al-Ghabah, menyatakan bahwa hadits ini sangat Gharib, sedangkan Ibnu Hazm mengatakan jika hadits tersebut tidak memiliki jalur yang shahihsama sekali. (Lihat: Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 839).
[3]Tafsir ath-Thabari, juz 10 hlm. 398
[4]Tafsir ar-Razi, juz 6 hlm. 113.
[5]Riwayat yang terakhir adalah menurut pendapat Ibn Abbas, al-Barra’ bin Azib dan Muhammad bin Ali.
[6]Lihat at-Tibyan, juz 2 hlm. 587-588.
[7]Lihat, Tafsir ath-Thabari, juz 10, hlm. 467. Bandingkan dengan Ensiklopedi Sunnah Syiah, hlm. 85.
[8]Shahih Bukhari, hadits no. 4247.
(adibahasan/arrahmah.com)