Oleh Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Imamah adalah sebuah konsep kepemimpinan Syiah yang merupakan teori mutlak dan harga mati. Doktrin bahwa imam disejajarkan dengan nabi inilah yang menjadi dasar paling asasi dari doktrin-doktrin sesat Syiah lainnya. Dengan demikian, Syiah mengkafirkan siapa pun di luar sektenya (takfiri) yang menolak doktrin imamahnya.
Berikut ulasan mengenai takfiri oleh Syiah yang Arrahmah kutip dari Sigabah.com. Ulasan ini diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
Keyakinan Syiah tentang Imamah
Sebagai konsekuensi dari ajaran Syiah yang menjadikan imamah sebagai pilar dasar agama, mereka mengkafirkan siapa saja yang mengingkarinya, sama persis dengan status orang yang mengingkari kewajiban shalat dan rukun-rukun Islam yang lain, atau bahkan lebih.[1] Penjelasan mengenai hal ini sangat melimpah dalam kitab-kitab Syiah, sebab klaim kafir tersebut sudah merupakan kesepakatan (ijma’) dari ulama Syiah, antara lain apa yang disampaikan oleh al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar sebagai berikut:
وَاعْتِقَادُنَا فِيْمَنْ جَحَدَ إِمَامَةَ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالأَئِمَّةِ مِنْ بَعْدِهِ أَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ مَنْ جَحَدَ نُبُوَّةَ الأَنْبِيَاءِ, وَاعْتِقَادُنَا فِيْمَنْ أَقَرَّ بِأَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَأَنْكَرَ وَاحِدًا مِنْ بَعْدِهِ مِنَ الأَئِمَّةِ أَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ مَنْ آمَنَ بِجَمِيْعِ الأَنْبِيَاءِ ثُمَّ أَنْكَرَ نُبُوَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Keyakinan kami (Syiah) terhadap orang yang mengingkari keimaman Amirul Mukminin (Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘anhu) dan para Imam setelah beliau, adalah sama halnya dengan orang yang mengingkari kenabian para Nabi. Sedangkan keyakinan kita terhadap orang yang mengakui keimaman Amirul Mukminin dan mengingkari keimaman satu orang saja dari Imam-imam setelah beliau, adalah sama halnya dengan orang yang beriman kepada semua nabi kemudian mengingkari kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.[2]
Senada dengan al-Majlisi, pemuka Syiah yang lain, ath-Thusi, juga berkomentar demikian:
وَدَفْعُ الإِمَامَةِ كُفْرٌ، كَما أَنَّ دَفْعَ النُّبُوَّةِ كُفْرٌ، لِأَنَّ الجَهْلَ بِهِمَا عَلَى حَدٍّ وَاحِدٍ.
Menyangkal keimaman adalah kafir, seperti halnya menyangkal kenabian. Sebab (hukum) tidak tahu pada keduanya berada pada taraf yang sama.[3]
Kemurkaan Syiah terhadap para pengingkar imamah tidak sebatas itu. Semakin kita mengkaji kitab-kitab Syiah secara lebih mendalam, maka dapat kita jumpai penjelasan bahwa kekufuran para pengingkar imamah lebih parah daripada kekufuran para pengingkar nubuwwah (kenabian). Mengenai hal ini, Al-Allamah[4] Jamaluddin al-Hasan Yusuf bin al-Muthahhir al-Hulli dalam al-Alfain fi Imamati ‘Ali bin Abi Thalib, menyatakan sebagai berikut:
الإمامَةُ لُطْفٌ عَامٌّ، وَالنُّبُوَّةُ لُطْفٌ خَاصٌّ لِإِمْكَانِ خُلُوِّ الزَّمَانِ مِنْ نَبِيٍّ حَيٍّ بِخِلَافِ الإمَامِ، وَإِنْكَارِ اللُّطْفِ العَامِّ شَرٌّ مِنْ إِنْكَارِ اللُّطْفِ الخَاصِّ.
Imamah adalah anugerah yang umum, sedangkan kenabian adalah anugrah yang khusus, sebab zaman masih dimungkinkan untuk absen dari nabi, berbeda dengan Imam. Sementara mengingkari anugerah yang umum lebih tercela daripada mengingkari anugrah yang khusus.[5]
Maka dari itu, umat Syiah bersepakat (ijma’) bahwa orang yang mengingkari imamah adalah kafir. Konsensus Syiah ini antara lain disampaikan oleh al-Mufid dalam Awa’il al-Maqalat-nya sebagai berikut:
اتَّفَقَتِ الإِمَامِيَّةُ عَلَى أَنَّ مَنْ أَنْكَرَ إِمَامَةَ أَحَدٍ مِنَ الأَئِمَّةِ وَجَحَدَ مَا أَوْجَبَهُ اللهُ تَعَالَى لَهُ مِنْ فَرْضِ الطَّاعَةِ فَهُوَ كَافِرٌ ضَالٌّ مُسْتَحِقٌّ لِلْخُلُوْدِ فِي النَّارِ.
Syiah Imamiyah bersepakat bahwa orang yang mengingkari keimaman satu saja dari para Imam Syiah, dan mengingkari terhadap apa yang diwajibkan oleh Allah berupa kewajiban untuk taat (pada Imam), maka ia telah kafir, sesat dan berhak kekal di neraka.[6]
Dalil-dalil Syiah tentang Imamah
Dari Al Qur’an
Ada beberapa ayat Al Qur’an yang dijadikan sebagai landasan dalam menguatkan doktrin imamah. Sebagaimana lazimnya dalil Al Qur’an yang dijadikan sebagai penguat ajaran pokok (ushul) mereka, ayat-ayat Al Qur’an tersebut tidaklah memberikan justifikasi secara tegas (sharih) dan pasti (qath’i), akan tetapi hanya tampak memberikan isyarat saja. Karena itu, Syiah perlu menggunakan penalaran, penafsiran dan penakwilan, guna mendekatkan teks-teks wahyu dengan doktrin mereka, agar terlihat sinkron. Langkah tersebut tentu akan mengandung banyak pengkaburan, distorsi dan penyelewengan arti, sebagaimana akan kita lihat nanti.
Ayat-ayat Al Qur’an yang biasa dijadikan sebagai landasan imamah antara lain adalah sebagai berikut:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (al-Ma’idah [5]: 55).
Syiah menamakan ayat ini dengan ayat al-Wilayah.[7] Mereka beranggapan bahwa ayat ini merupakan dalil paling kuat yang menunjukkan atas kepemimpinan Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu setelah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Menurut mereka, klaim ini berdasarkan atas beberapa peninjauan sebagai beikut:
Pertama: melihat sebab turunnya ayat (sabab an-nuzul), dimana ayat ini konon turun berkenaan dengan Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu yang bersedakah kepada orang yang meminta-minta, sedang Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu berada dalam keadaan rukuk. Dalam buku tanggapan untuk Majalah Sabili, Mengapa Kita Memilih Syiah (terbitan LSM OASE [Organization of Ahlulbayt for social support and education]), ditulis sebagai berikut:
Para ulama, mufassir , fuqaha, dan ahli hadits telah sepakat (kecuali syadz) berkaitan dengan Imam Ali radhiyallahu ‘anhu kepada orang miskin yang meminta-minta di Masjid Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika itu tak seorang pun dar sahabat-sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang memberinya sesuatu, lalu Imam Ali radhiyallahu ‘anhu mengulurkan tangannya dan mengisyaratkan agar si pengemis itu mengambilnya ketikabeliau sedang dalam keadaan rukuk.[8]
Kedua: setelah melihat sabab an-nuzul dari ayat di atas, yang ternyata diturunkan hanya untuk satu orang (Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu), Syiah kemudian mengorelasikan sebab turunnya ayat ini dengan kata innama yang dalam tata bahasa Arab digunakan untuk memberi batasan (adat hashr). Dari sini selanjutnya Syiah berkesmipulan,bahwa ayat di atas memang memberikan petunjuk dengan jelas jika yang berhak menduduki jabatan khalifah stelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hanyalah Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu.
Syiah berpandangan bahwa ayat ini merupakan dalil paling kuat yang dijadikan sebagai dasar dari imamah. Karena itu mereka selalu menjadikan ayat ini sebagai pembuka dalam setiap pembahsan mengenai imamah dalam buku-buku mereka. Dalam hal ini, salah satu tokoh Syiah yang paling populer, ath-Thabrasi, mengatakan sebagai berikut:
وَهَذِهِ الآيَةِ مِنْ أَوْضَحِ الدَّلَائِلِ عَلَى صِحَّةِ إِمَامَةِ عَلَي بَعْدِ النَّبِيِّ بِلَا فَصْلٍ.
Ayat ini merupakan dalil yang paling jelas atas keimanan Sayyidna Ali radhiyallahu ‘anhu setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dengan pasti.[9]
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu,dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang dipernitahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari( gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]: 67)
Ayat ini menurut Syiah juga turun mengenai Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu di Ghadir Khum. Dalam Buletin Mengapa Kita Memilih Syiah (terbitan LSM OASE [Organization of Ahlulbayt for Social Support and Education]) ditulis :
Ayat ini turun pada tanggal 18 Dzulhijjah di Ghadir Khum ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan:
مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ, اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ وَالَاهُ، وَعَادَ مَنْ عَادَاهُ.
Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya), maka Ali juga sebagai maulanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.
Selanjutnya Syiah berkomentar, bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan peristiwa ini disebut hadits Ghadir, yang diriwayatkan secara mutawatir.[10]
Dari Hadits
Sedangkan dalil-dalil imamah yang terdiri dari hadits-hadits Syiah sebetulnya amat banyak. Akan tetapi kebanyakan merupakan hadits palsu dan dibuat-buat, sebagaimana diakui oleh Ibnu Abi al-Hadid dalam Syarah Nahj al-Balaghah. Dia mengatakan:
Sesungguhnya sumber kebohongan hadits-hadits tentang fadha’il muncul dari orang-orang Syiah. Mula-mula mereka menciptakan hadits-hadits palsu dan dibuat-buat mengenai keutamaan imam-imam mereka, karena dipicu oleh rasa permusuhan terhadap lawan-lawan mereka.[11]
Karena itu, kami di sini menganggap cukup mencantumkan tiga hadits paling shahih yang dijadikan sebagai dasar oleh Syiah atas kekhilafahan Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu dan para Imam setelah beliau. Sebab ke-maudhu’-an hadits-hadits imamah sudah menjadi tanggapan dengan sendirinya, sehingga tidak memerlukan tanggapan lebih jauh. Hadits paling shahih yang menjadi dasar imamah dimaksud adalah sebagai berikut:
أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُوْنَ مِنْ مُوْسَى إِلَّا أَنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِيْ.
(Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu) bagiku, posisimu sebagaimana posisi Nabi Harun bagi Nabi Musa, hanya saja tak ada nabi sesudahku.[12]
Sedangkan Muhammad Husain al-Faqih dalam Limadza Ana Syi’iy, menjadikan dalil atas doktrin ini dengan hadits:
إِنَّ عَلِيًّا مِنِّيْ وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِيْ.
Sesungguhnya Ali adalah dariku dan aku darinya. Dan ia adalah kekasih semua orang mukmin setelahku.[13]
Selain dua hadits di atas, Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah menggunakan hadits lain yang dijadikan sebagai justifikasi bagi kepemimpinan 12 orang yang mereka anggap sebagai Imam-imam yang ditunjuk secara nash dan wasiat. Dalam bukunya Limadza Ana Syi’iy, Muhammad Husain al-Faqih menyatakan bahwa kepemimpinan para Imam 12 secara berurut memiliki dalil yang secara tegas di sabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan telah diriwayatkan oleh ulama-ulama Ahlussunnah, seperti Imam Bukhari, Muslim, Ahmad, dan lain-lain. Sama persis dengan Muhammad Husain, adalah pendapat yang dikemukakan oleh Emilia Renita AZ, ketua LSM OASE, dalam “Mengapa Kita Memilih Syiah” ia menulis sebagai berikut:
Syiah yang kami yakini: yakin bahwa Imam yang 12 terdapat dalam hadits-hadits shahih. Syiah tidak menganggap kafir kepada orang yang menolak hadits-hadits itu. Kami hanya menganggap mereka tidak menerima nash saja. (Taqiyyah Emilia).
Hadits dimaksud adalah:
رَوَى مُسْلِمٍ عَنْ جَابِرٍ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ يَقُوْلُ: لاَ يَزَالُ الدِّينُ قَائِمًا حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ أَوْ يَكُونَ عَلَيْكُمُ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ (رواه مسلم)
Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Agama Islam akan terus tegak sampai hari kiamat datang, atau akan memimpin kepada kalian semua 12 orang khalifah, semuanya dari suku Quraisy”.[14]
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ سَمُرَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَكُونُ اثْنَا عَشَرَ أَمِيرًا فَقَالَ كَلِمَةً لَمْ أَسْمَعْهَا فَقَالَ أَبِي إِنَّهُ قَالَ كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ.
Bercerita kepadaku Muhammd bin al-Mutsanna, bercerita kepadaku Syu’bah, dari Abdul Malik, aku mendengar Jabir bin Samurah berkata: Aku mendengar Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. bersabda: Akan ada 12 pemimpin. Kemudian Nabi bersabda dengan kalimat yang tidak saya dengar, kemudian ayah saya bekata: semuanya dari suku Quraisy.[15]
Tanggapan
Ayat pertama
Yang perlu dikritisi dari istidlal (pengambilan dalil) Syiah terhadap ayat ke-55 surat al-Maidah di atas (innama waliyyukumullah…) adalah, bahwa Syiah hanya meneropong ayat tersebut dari sudut pandang riwayat mengenai sabab an-nuzul dan ‘adat hashr saja,tidak dari yang lain. Ini dapat dimengerti, karena Syiah memang tidak memiliki nash pasti (qath’i) yang menjadi dalil bagi ajaran bagi ajran pokok mereka, yakni imamah.[16] Padahal, istidlal dengan menggunakan periwayatan dan mengabaikan dimensi/ nash (al-Qur’an) tak jauh dari tamtsil mengambil kulit membuang isi. Hujjah sedemikian tentunya dapat dengan mudah dipatahkan dengan poin-poin berikut:
Pertama, mengenai sabab an-nuzul dari ayat ke-55 surat al-Ma’idah, pernyataan bahwa sabab an-nuzul dari ayat tersebut hanya berkenaan dengan Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu, menurut kesepakatan para ulama, mufassir, fukaha, dan ahli hadits (kecuali yang syadz), sebagaimana dinyatakan dengan tegas dalam buku tanggapan untuk Majalah Sabili, Mengapa Kita Memilih Syiah (terbitan LSM OASE [Organization of Ahlulbayt for social support and education]), sebetulnya tak lebih dari upaya generalisasi yang spekulatif.
Sebab realita yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Bahwa berdasarkan riwayat-riwayat yang dapat dipercaya, ulama bersepakat jika ayat tersebut tidak turun kepada Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu saja, dan bahwa beliau tidak pernah bersedekah cincin pada waktu shalat.[17]
Jadi, ketidaksepakatan ulama, ahli tafsir dan ahli hadits mengenai sabab an-nuzul dari ayat tersebut adalah fakta yang tak bisa dimungkiri, disamping keberagaman sabab an-nuzul untuk satu ayat memang sudah biasa terjadi.[18] Artinya, menurut para ulama, ayat ini tidak hanya turun mengenai Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu, akan tetapi juga turun untuk sahabat lain dan juga kepada orang-orang mukmin. Ada banyak riwayat yang mendukung terhadap kesimpulan para ahli tersebut, antara lain sebagai berikut:
Riwayat yang mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai Ubadah bin Shanit ketika dia memisahkan diri dari golongan orang-orang yahudi:
لَمَّا حَارَبَتْ بَنُو قَيْنَقَاعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ, مَشَى عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ أَحَدَ بَنِي عَوْفٍ بنِ الخَزْرَجِ, فَخَلَعَهُمْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَتَبَرَّأَ إلَى اللهِ وإلَى رَسُوْلِهِ مِنْ حِلَفِهِمْ، وَقَال: أَتَوَلَّى اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَالمُؤْمِنِيْنَ، وَأَبْرَأُ مِنْ حِلَفِ الكُفَّارِ وَوَلاَيَتِهِمْ! فَفِيْهِ نَزَلَتْ: “إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ” لِقَوْلِ عُبَادَةَ: ” أَتَوَلَّى اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَالَّذِيْنَ أَمَنُوا وَتَبَرُّئِهِ مِنْ بَنِي قَيْنُقَاعَ وَوَلْاَيَتِهِمْ – إلَى قَوْلِهِ: “فَإنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الغَالِبُونَ”.
Ketika Bani Qainuqa’ membangkang pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, Ubadah bin Shamit – salah satu ketrunan ‘Auf bin al-Khazraj – mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu dia melepaskan (menyerahkan) persekutuan mereka kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan membebaskan diri dari persekutuan di antara mereka (Bani Qainuqa’) menuju Allah dan Rasul-Nya, dan dia berkata: “Aku mencintai Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman … dan bebas dari persekutuan orang-orang kafir dan pertolongan mereka!” maka dari ucapan dan pelepasan diri Ubadah ini (dari berteman dengan Bani Qainuqa’) turunlah ayat tersebut.[19]
Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ayat ini turun mengenai Ubadah bin Shamit dan Abdullah bin Ubai bin Salul ketika Ubadah melepaskan diri dari kelompok yahudi dan mengatakan: “Aku mencintai Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman” maka turunlah ayat 51-55 dari surat al-Mai’idah berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ – إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُون (المائدة[5]: 51-55)
Riwayat yang mengemukakan bahwa ayat diatas ditujukan untuk semua orang Mu’min. Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (Imam Syiah ke-5), ketika ditanyakan makna dari ayat :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا….
Apa yang dimaksud dengan ayat itu adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib? Kemudian Abu Ja’far berkata “Ali adalah diantara orang-orang beriman (yang terdapat di dalam ayat tersebut)”[20]
Ulama juga ada yang menyatakan bahwa ayat di atas turun mengenai sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq. Hal ini diantara lain dinyatakan oleh Ikrimah.[21] Menurut ulama yang lain, bisa jadi juga turun berkenaan dengan Abi Lubabah lantaran apa yang ia perbuat di Quraidhah.[22]
Dari beberapa riwayat diatas, kiranya telah cukup menjadi pukulan telak bagi Syiah, yang mengemukakan dengan sangat meyakinkan bahwa ayat diatas hanya spesifik menjelaskan kepemimpinan Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu, dan karenanya hanya beliaulah yang berhak menjadi khalifah, bukan yang lain. Keberagaman riwayat tersebut sangat melimpah dan mudah dijumpai dalam kitab-kitab tafsir. Namun sayang, guna melakukan pembenaran ideologis, Syiah menutup mata terhadap kenyataan ini.
Kedua, argumen lain dari Syiah dalam rangka istidlal dengan ayat ini adalah hashr (perangkat kata untuk membatasi) berupa “innama”. Menurut Syiah, adat hashr “innama” ini menunjukkan bahwa hanya satu orang yang berhak menjadi khalifah, yaitu Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu, bukan yang lain.
jika kita amati lebih lanjut, peninjauan Syiah melalui ayat ini bukan menjadi penganut bagi doktrin mereka (imamah), akan tetapi sebaliknya, justru ditinjau dari sudut pandang inilah doktrin Syiah bisa runtuh. Sebab, Imam-imam yang diyakini oleh Syiah Imamiyah jumlahnya ada 12 (dua belas) orang, sementara ayat ini – jika memang hendak dijadikan sebagai dasar imamah – hanya menunjuk terhadap satu orang, yakni Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu saja. Dengan demikian, berarti Imam-imam Syiah selain Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki landasan apapun atas keimamannya.
Kemudian, jika mereka (Syiah) menyangkal gugatan ini dengan menyatakan bahwa maksud dari adat hashr “innama” itu hanya untuk membatasi wilayah (kepemimpinan) untuk sementara waktu, yakni waktu Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, tidak untuk membatasi semua wilayah Imam-imam yang setelah beliau, maka berati Syiah sepakat dengan Ahlussunnah, bahwa wilayah Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu hanya ketika beliau menjabat sebagai Khalifah, bukan sebelumnya (periode khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman).[23]
Selain itu, argumen Syiah akan tampak lebih rancu dan kontradiktif, mana kala kita melihat komentar salah satu tokoh agung mereka, al-Majlisi. Dalam karya besarnya, Bihar al-Anwar, ia menyebutkan bahwa Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu merupakan orang terakhir yang menerima wasiat:
أَنَّ عَلِيًا هُوَ آخِرُ الأوْصِيَاءِ.
Bahwa Sayyidina Ali adalah orang terakhir dari para penerima wasiat.[24]
Jika benar demikian, maka keimaman setelah Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu menjadi batal dan tidak sah, sebab mereka sudah tidak kebagian kursi wilayah, karena Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu adalah orang terakhir yang ‘menerima wasiat’ itu. Sehingga konsep 12 (dua belas) Imam jadi terbantahkan dengan sendirinya.
Referensi
[1]Pembahasan mengenai pengkafiran, baca lebih lanjut dalam sub bagian Pengkafiran Sahabat dan Ahlussunnah.
[2]Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 27 hlm. 62.
[3]Ath-Thusi, Talkhish asy-Syafi’, juz 4 hlm. 131. Lihat juga dalam Bihar al-Anwar, juz 8 hlm. 368. Pernyataan ini sudah disebutkan sebelumnya dalam pembahasan tentang Nubuwwah.
[4]Jika disebut julukan al-Allamah dalam Syiah, maka yang dimaksud adalah Jamaluddin al-Hasan Yusuf bin al-Muthahhir al-Hulli. Dia adalah orang pertama yang meletakkan sanad-sanad buatan dalam kitab-kitab hadits Syiah yang semula tak bersanad. Hal ini kami kemukakan dalam bagian akhir dari pembahasan Syiah dan Hadits.
[5]Jamaluddin al-Hasan Yusuf bin al-Muthahhir al-Hulli, al-Alfain fi Imamati ‘Ali bin Abi Thalib, juz 1 hlm. 3.
[6]Al-Mufid, Awa’il al-Maqalat, hlm. 44. Koreksi pula dalam Bihar al-Anwar, juz 8 hlm. 366.
[7]As-Salus, Ma’a Asy-Syiah al-Itsna ‘Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu’ juz 1 hlm. 43.
[8]Mengapa Kita Memilih Syiah, hlm. 15
[9]Majma’ al-Bayan, juz 2 hlm. 128.
[10]Ibid, hlm. 16.
[11]Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, juz 3 hlm. 17, Dar al-Fikr Beirut.
[12]Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari dengan sedikit perbedaan redaksi (hadits no. 3430 dan 4064); Shahih Muslim (hadits no. 4418); Sunan at-Turmudzi (hadits no. 3663 dan 3664); Sunan Ibn Majah (hadits no. 118) dan Musnad Ahmad (hadits no. 1465, 10842, 25834, dan 26195).
[13]Muhammad Husain al-Faqih, Limadza Ana Syi’iy, hlm. 33.
[14]Shahih Muslim, juz 4 hlm. 101.
[15]Shahih Bukhari, hadits no. 6682.
[16]Al-Qifari, Ushul Madzhab Syi’ah, juz 2 hlm. 823.
[17]Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, juz 4, hlm. 4.
[18]As-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 34, atau al-Maliki, Zubdat al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 22
[19]Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari (Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an), juz 10, hlm. 397 dan 424; Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim) juz 3, hlm. 134, dan Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsur fi at-Ta’wil bi al-Ma’tsur, juz 3, hlm. 398/
[20]Lihat, Tafsir ath-Thabari, juz 10 hlm. 425-426. Lihat juga dalam Tafsir al-Qurtubi, juz 6 hlm. 221, Bahr al-Muhith, juz 4 hlm. 461, dan Tafsir al-Baghawi, juz 3 hlm. 373.
[21]Zad al-Masir, juz 2 hlm. 227.
[22]Tafsir ath-Thabari, juz 10 hlm. 398
[23]Al-Qifari, Ushul Madzhab Syi’ah, juz 2 hlm. 824-825. Bandingkan dengan Ruh al-Ma’ani, juz 6 hlm. 168.
[24]Bihar al-Anwar, juz 39 hlm. 342.
(adibahasanarrahmah.com)