Oleh Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Imamah adalah sebuah konsep kepemimpinan Syiah yang merupakan teori mutlak dan harga mati. Doktrin inilah yang sebetulnya menjadi dasar paling asasi dari doktrin-doktrin Syiah yang lain. Doktrin ini pula yang paling mencolok dari Syiah yang membedakan sekte ini dari sekte-sekte yang lain. Setiap ajaran, akidah dan fatwa-fatwa Syiah, sejatinya dibuat guna menopang dan mengukuhkan doktrin ini.
Berikut ulasan mengenai imamah dalam keyakinan Syiah yang Arrahmah kutip dari Sigabah.com. Ulasan ini diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
Keyakinan Syiah tentang Imamah
Dalam Syiah, imamah tidak hanya merupakan kepemimpinan duniawi saja, akan tetapi juga mencakup urusan ukhrawi. Imamah tidak bisa dilahirkan dari musyawarah seperti halnya khilafah dalam Islam. Sebab bagi Syiah, imamah merupakan penerus kenabian yang dasar-dasarnya berada pada dalil-dalil syara’ (Nash Ilahiy), sehingga dalam keyakinan mereka, dalil-dalil ilahi itulah yang menentukan keterangkatan para Imam.
Syiah meyakini, bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam telah menunjuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu Secara langsung sebagai Imam pengganti beliau dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar maupun Usman radhiyallahu ‘anhu, dan menuding ketiga khalifah tersebut telah merampas hak Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu.
Mempertegas definisi imamah ini, ulama Syiah kontemporer, Muhammad Husain Ali Kasyif al-Ghita’, dalam Ashl asy-Syi’ah wa Ushuliha menulis:
مُرَادُهُمْ بِالإمامَةِ : كَوْنُهَا مَنْصِبًا إلَهِيًّا يَخْتَارُهُ اللهُ بِسَابِقِ عِلْمِهِ بِعِبادِهِ ، كَمَا يَخْتَارُ النَّبِيَّ ، ويَأْمُرُ النَبِيَّ بِانْ يَدُلَّ الأُمَّةَ عَلَيْهِ ، وَيَأْمُرُهُمْ بِاتِّبَاعِهِ وَيَعْتَقِدُوْنَ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ بِأَنْ يَنُصَّ عَلَى عَلِيٍّ وَيَنْصِبَهُ عَلَمًا لِلنَّاسِ مِنْ بَعْدِهِ.
Yang dimaksud mereka (Syiah Imamiyah) dengan imamah adalah suatu jabatan Ilahi. Allah memilih berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali menyangkut hamba-hamba-Nya, sebagaimana Dia memilih Nabi. Dia memerintahkan kepada Nabi untuk menunjuknya kepada umat dan memerintahkan mereka mengikutinya. Mereka (Syiah Imamiyah) percaya bahwa Allah subhanahu wata’ala. Memerintahkan Nabi-Nya (Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam) untuk menunjuk Ali AS. dengan tegas dan menjadikannya tonggak pemandu bagi manusia sesudah beliau.[1]
Ulama Syiah yang lain, Muhammad Ridha al-Muzhaffar, dalam ‘Aqa’id al-Imamiyah juga mengemukakan:
نَعْتَقِدُ أَنَّ الإِمَامَةَ كَالنُّبُوَةِ, لَا تَكُوْنُ إلَّا بِنَصٍّ مِنَ اللهِ تَعالَى عَلَى لِسَانِ رَسُوْلِهِ أَوْ عَلَى لِسَانِ الإمامِ الْمَنْصُوْبِ بِالنَّصِّ إِذَا أرَادَ أَنْ يَنُصَّ عَلَى الإمامِ مِنْ بَعْدِهِ ، وَحُكْمُهَا فِي ذَلِكَ حُكْمُ النُّبُوَّةِ بِلَا فَرْقٍ ، فَلَيْسَ لِلنَّاسِ أَنْ يَتَحَكَّمُوْا فِيْمَنْ يُعَيِّنُهُ اللهُ هادِياً وَمُرْشِداً لِعآمَّةِ النَّاسِ كَمَا لَيْسَ لَهُمْ حَقٌّ فِيْ تَعْيِيْنِهِ أَوْ تَرْشِيْحِهِ أَوْ انْتِخَابِهِ.
Kami (Syiah Imamiyah) percaya bahwa Imamah, seperti kenabian, tidak dapat wujud kecuali dengan nash (pernyataan tegas) dari Allah subhanahu wata’ala. Melalui lisan Rasul-nya, atau lisan Imam yang diangkat dengan nash, apabila dia akan menyampaikan dengan nash Imam yang bertugas sesudahnya. Hukum (sifatnya) ketika itu sama dengan kenabian tanpa perbedaan. Karena itu, masyarakat manusia tidak memiliki wewenang menyangkut siapa yang ditetapkan Allah subhanahu wata’ala. sebagai pemberi petunjuk dan pembimbing bagi seluruh manusia,sebagaimana mereka (manusia) tidak mempunyai hak untuk menetapkan, mencalonkan atau memilihnya.[2]
Dilihat dari definisi dan keyakinan Syiah diatas, tampak sekali urgensitas doktrin imamah bagi Syiah, hingga disejajarkan dengan derajat kenabian dalam segala aspeknya. Hal itu tidaklah aneh, sebab imamah merupakan salah satu rukun iman sekaligus rukun Islam yang paling utama dalam Syiah. Dalam kitab hadits Syiah yang paling utama dan monumental, yakni al-Kafi, al-Kulaini menulis riwayat yang diafiliasikan kepada Abu Ja’far (Muhammad al-Baqir)—diklaim Syiah sebagai Imam ke-5—bahwa imamah adalah rukun Islam paling agung:
بُنِيَ الإسْلامُ عَلَى خَمْسٍ عَلَى الصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَ الجِهَادِ وَالْوِلايَةِ وَمَا نُوْدِيَ بِشَيْءٍ كَمَا نُودِيَ بِالْوِلايَةِ.
Islam didasari atas lima perkara; Shalat, Zakat, Haji, Jihad, dan Wilayah. Tidak ada satu pun yang diserukan sebagaimana diserukannya wilayah.[3]
Lebih lanjut, al-Kulaini juga menulis riwayat sebagai berikut:
إِنَّ أَعْظَمَ مَا بَعَثَ اللهُ تَعَالَى نَبِيَّهُ مِنَ الدِّيْنِ إنَّمَا هُوَ أَمْرُ الإِمَامَةِ.
Sesungguhnya paling agungnya ajaran agama yang ditugaskan Allah subhanahu wata’ala. kepada Nabi-Nya adalah urusan imamah.[4]
Jadi, selain menjadikan imamah sebagai bagian dari pilar-pilar agama, bahkan yang paling utama, Syiah juga menganggap imamah sebagai misi paling utama yang dibawa oleh para nabi –yang kemudian dilanjutkan oleh para Imam secara turun-temurun. Oleh karena itu, bagi Syiah, imamah merupakan harga mati yang harus diusung dan ditegakkan dengan berbagai cara, baik melalui doktrin dan ajaran maupun politik kekuasaan.
Menjelaskan tentang keberadaan wasiat Nabi kepada para Imam, Ibnu Babawaih al-Qummi dalam al-Khisal menuturkan sebuah riwayat yang diafiliasikan kepada Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq)—diklaim Syiah sebagai Imam ke-6—sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ: عُرِجَ بِالنَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَآله إلَى السَّماعِ مِئَةً وَعِشْرِيْنَ مَرَّةٍ, ما مِنْ مَرَّةٍ –أَيْ يَعْرُجُ فِيْهَا- إلَّا وَقَدْ أَوْصَى اللهُ بِالنَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَآله بِوِلَايَةِ عَلِيٍّ وَالاَئِمَّةِ مِنْ بَعْدِهِ أَكْثَرَ مِمَّا أَوْصَاهُ بِالفَرَائِضِ.
Dari Abu Abdullah As., ia berkata, “Allah memi’rajkan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa ‘aalihi ke langit 120 kali, di mana setiap kali beliau mi’raj, Allah mewasiatkan kepada Nabi tentang kepemimpinan Sayyidina Ali dan Imam-imam setelahnya, lebih dari apa yang Allah wasiatkan padanya mengenai kewajiban shalat.[5]
Dalam ‘Aqa’id ash-Shaduq, Ibnu babawaih, salah seorang tokoh yang menjadi rujukan umat Syiah, menyatakan sebagai berikut:
يَعْتَقِدُوْنَ بِأَنَّ لِكُلَّ نَبِيٍّ وصِيًّا أَوْصَى إِلَيْهِ بِأْمْرِ اللهِ تَعَالَى.
“Mereka (orang-orang Syiah) meyakini bahwa setiap nabi pasti memiliki seorang yang diwasiati (washi), di mana Nabi-nabi itu menyampaikan wasiat kepadanya atas perintah Allah.”[6]
Menunjukkan kebulatan tekad dalam menjunjung tinggi doktrin imamah, Syiah tidak hanya memperkuat doktrin tersebut dengan wasiat. Namun lebih jauh, mereka juga berkeyakinan bahwa setelah para nabi meninggal dunia, Ruh al-Quds berpindah kepada para Imam mereka. Dalam al-Kafi disebutkan:
فَإِذَا قُبِضَ النَّبِيُّ انْتَقَلَ رُوْحُ الْقُدُسِ فَصَارَ إِلَى الاِمَامِ وَرُوْحُ القُدُسِ لَا يَنَامُ وَلَا يَغْفُلُ وَلَا يَلْهُوْ وَلَا يَزْهُوْ وَ الإمَامُ يَرَى بِهِ.
Apabila nabi meninggal dunia, maka Ruh al-Quds berpindah kepada para Imam. Ruh al-Quds tidak pernah tidur, lupa, lalai dan berbuat kesombongan. Dan sang Imam melihat melalui Ruh al-Quds.[7]
Selanjutnya, barangkali penghormatan dan kecintaan umat Syiah kepada para Imam akan semakin sulit dimengerti, sebab rupanya ‘kecintaan’ itu telah bergeser pada ‘pengkudusan’. Sulit rasanya mengatakan bahwa sikap itu muncul dari ghirah diniyyah (sikap yang melekat kuat dalam diri untuk memperjuangkan tegaknya agama), namun agaknya lebih dekat pada ghirah siyasiyah (ambisi politik) plus fanatisme negatif. Untuk menopang imamah, mereka merasa perlu menjunjung tinggi para Imam setinggi langit, hingga melebihi para nabi dan bahkan yang berpredikat Ulul ‘Azmi.
Pujian-pujian berlebihan terhadap para Imam Syiah, dilakukan oleh para pemuka Syiah dan tertuang dalam kitab-kitab mereka, antara lain oleh Sayyid Amir Muhammad al-Kazhimi al-Quzwaini, dalam Asy-Syiah fi ‘Aqa’idihim wa Ahkamihim secara tegas ia mengatakan :
الأَئِمَّةُ مِنْ أَهْلِ البَيْتِ عَلَيْهِمْ السَّلَامُ أَفْضَلُ مِنَ الأنْبِيَاءِ.
Para Imam dari Ahlul Bait lebih utama daripada para nabi.[8]
Ayatullah Sayyid Abdul Husain, salah satu asisten Khomaini (penulis al-Muraja’at), dalam salah satu bukunya, al-Yaqin, mengatakan:
وَأَئِمَّتُنَا الِاثْنَا عَشَرَ عَلَيْهِمْ السَّلَامُ أَفْضَلُ مِنْ جَمِيْعِ الْأنْبِياءِ بِاستِثْنَاءِ خاتِمِ الْأنْبِياءِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وآلِهِ وَلَعَلَّ أحَدَ أسْبابِ ذَلِكَ هُوَ أَنَّ اليَقِيْنَ لَدَيْهِمْ أَكْثَرُ.
Para Imam yang dua belas lebih utama daripada semua nabi selain Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya, barang kali penyebab hal itu adalah, bahwa keyakinan mereka (para imam) lebih banyak (daripada para nabi).[9]
Selain Abdul Husain, Ni’matullah al-Jaza’iri, salah satu tokoh Syiah, dalam al-Anwar an-Nu’maniyah, mencantumkan perbedaan pendapat di kalangan ulama Syiah tentang keutamaan para Imam dan Ulul ‘Azmi, namun pendapat yang paling benar menurut mereka adalah pendapat yang mengatakan bahwa para Imam masih lebih utama daripada Ulul ‘Azmi.
فَذَهَبَ جَماعَةٌ إِلَى أَنَّهُمْ أَفْضَلُ مِنْ باقِيْ الأنْبِياءِ ما خَلَا أُوْلِيْ العَزْمِ فَإِنَّهُمْ أَفْضَلُ مِنَ الأَئِمَّةِ عَلَيْهِم السَّلَامُ، وَبَعْضُهُمْ إِلَى الْمُسَاوَاةِ، وَأَكْثَرُ الْمُتَأَخِّرِيْنَ اِلَى أَفْضَلِيَّةِ الْأئِمَّةِ عَلَيْهِمْ السَّلَامُ عَلَى أُوْلِي الْعَزْمِ وَغَيْرِهِمْ وَهُوَ الصَّوَابُ.
Sekelompok ulama berpendapat bahwa para Imam lebih utama dari pada para nabi selain Ulu al-‘Azmi, mereka lebih utama daripada para Imam. Sebagian kelompok lain berpendapat bahwa antara para Imam dan Ulul ‘Azmi sederajat. Akan tetapi mayoritas ulama kontemporer menilai para Imam lebih utama daripada Ulu al-‘Azmi. Dan pendapat yang terakhir inilah yang dianggap benar.[10]
Lebih ekstrem lagi, Khomaini dalam Hukumah al-Islamiyah mengatakan bahwa para imam memiliki maqam (derajat) yang tidak bisa dicapai oleh para malaikat dan para nabi yang diutus.
وَإِنَّ مِنْ ضَرُوْرِيَّاتِ مَذْهَبِنَا أَنَّ لأَئِمَّتِنَا مَقَاماً لَا يَبْلُغُهُ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ.
Merupakan pengetahuan aksiomatis madzhab kita, adalah bahwa para Imam kita memiliki maqam yang tidak dapat dijangkau oleh para malaikat muqarrabin dan para nabi yang diutus.[11]
Jika pembaca ingin lebih mengetahui penyanjungan mereka yang melampaui batas, maka berikut kami cantumkan bait-bait puisi sesat menyesatkan yang ditulis oleh salah seorang tokoh Syiah kontemporer, Ibrahim al-Amili, dalam menyanjung Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu[12]
أَبا حَسَنٍ أَنْتَ عَيْنُ الإلَهِ وَعَنْوَانُ قُدْرَتِهِ السَّامِيَةِ
وَاَنْتَ المُحِيْطُ بِعِلْمِ الغُيُوْبِ فَهَلْ تَعْزُبُ عَنْكَ مِنْ خَافِيَةٍ
وَأَنْتَ مُدِيْرُ رَحَى الكَائِنَاتِ وَلَكَ أَبْحَارُهَا السَّامِيَةِ
لَكَ الأَمْرُ إِنْ شِئْتَ تَحْيَي غَدَا وَإِنْ شِئْتَ تَشْفَعُ بِالنَّاصِيَةِ
Wahai ayah Hasan (Sayyidina Ali), kau adalah esensi Tuhan/ lambang kekuasaan-Nya yang luhur. Engkau yang meliputi (segala sesuatu) dengan ilmu ghaib/ tak ada perkara samar menjauh dari (pengetahuan) Mu. Engkau adalah pengatur perputaran semesta/ dan bagi-Mu lautan semesta yang luas. Bagi-Mu segala urusan: jika kau mau, kau akan hidup / dan jika kau mau, kau dapat memberi syafaat (terhadap orang lain).
Syekh Syiah yang lain, Ali bin Sulaiman al-Mazidi, juga menggubah puisi serupa:
أَبَا حَسَنٍ أَنْتَ زَوْجُ البَتُوْلِ وَجَنْبُ الإلَهِ وَنَفْسُ الرَّسُوْلِ
وَبَدْرُ الكَمالِ وَ شَمْسُ العُقُوْلِ وَمَمْلُوْكِ رَبِّ وَأَنْتَ المَلِكُ
دَعَاكَ النَّبِيُّ بِيَوْمِ الكَدِيْرِ وَنَصَّ عّلّيْكَ بِأَمْرِ الغَدِيْرِ
لِأَنَّكَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ الأمِيْرُ وَعَقْدُ وَلِاَيَتِهِ قَلَّدُكَ
إلَيْكَ تَصِيْرُ جَمِيْعُ الأُمُوْرِ وَأَنْتَ العَلِيْمُ بِذَاتِ الصُّدُوْرِ
وَأَنْتَ المُبَعْثِرُ مَا فِي القُبُوْرِ وَحُكْمُ القِيامَةِ بِالنَّصِّ لَكَ
وَأَنْتَ السَّمِيْعُ وَأَنْتَ البَصِيْرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
وَلَوْلَاكَ مَا كَانَ نَجْمٌ يَسِيْرُ وَ لَا دَارَ لَوْلَاكَ الفَلَكُ
Wahai ayah Hasan, kaulah suami seorang gadis (Fathimah)/ dan esensi Tuhan; engkaulah sang utusan. Engkaulah rembulan kesempurnaan dan penerang akal/ engkaulah yang dimiliki dan yang memiliki. Nabi mengajakmu di hari kesusahan / dan mempertegas (keimamanmu) dengan hadits Ghadir. Karena engkaulah Amir al-Mu’minin / sedang ikatan wilayahnya mengikutimu. Segala urusan kembali padamu/ dan engkau yang mengetahu segala isi hati. Engkaulah yang membangkitkan orang-orang yang berada di dalam kubur/ hukum kiamat berada di tanganmu. Engkaulah yang maha mendengar lagi maha melihat/ engkaulah yang maha menguasai segala sesuatu. Tanpa-Mu, niscaya bintang takkan beredar/ dan planet takkan berputar.[13]
Memperhatikan bait-bait pujian-pujian yang intinya mempertuhankan manusia seperti tersebut di atas, maka tidak heran jika kemudian Syiah membuat statemen-statemen ganjil terhadap para Imam mereka, berupa pertanyaan-pertanyaan yang sulit dicerna oleh akal pikiran yang wajar. Al-Kulaini dalam al-Kafi, misalnya, menyampaikan sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa pengetahuan para Imam tidak terbatas. Mereka bahkan mengetahui kapan waktu meninggalnya:
(باب أَنَّ الأَئِمَّةَ إِذَا شَاءُوْا أَنْ يَعْلَمُوْا عَلِمُوْا) عَنْ جَعْفَرْ أبِيْ عَبْدِ اللهِ قَالَ :إنَّ الإِمَامَ إِذَا شَاءَ أَنْ يَعْلَمَ عَلِمَ.
Bab menjelaskan tentang para Imam jika mereka berkehendak untuk mengetahui sesuatu, maka mereka bisa mengetahuinya; dari Ja’far Abi Abdillah, ia berkata: bahwa para Imam, apabila mau mengetahui sesuatu, maka mereka pun mengetahuinya.[14]
Bahkan, mengenai pendapat bahwa para Imam tidak akan meninggal kecuali dengan kehendaknya sendiri, al-Kulaini menuliskannya dalam bab yang spesifik:
بَابُ (أَنَّ الأَئِمَّةَ يَعْلَمُوْنَ مَتَى يَمُوْتُوْنَ وَ أَنَّهُمْ لَا يَمُوْتُوْنَ إِلَّا بِاخْتِيَارٍ مِنْهُمْ)
Bab, menjelaskan tentang para Imam yang mengetahui kapan waktu meninggalnya, dan bahwa tidak akan meninggal kecuali atas kemauan mereka sendiri.
Referensi
[1]Ashl asy-Syi’ah wa Ushuliha, hlm. 134.
[2]’Aqa’id al-Imamiyah, hlm. 60.
[3]Al-Kafi, juz 2, hlm. 18.
[4]Ibid. lihat pula dalam Hadi at-Thahrawi, Dhiya’ an-Nubuwwah, hlm. 115, dan Muhammad Husain Ali Kasyif al-Ghitha’, Risalat ‘Ain al-Mizan, hlm. 4.
[5]Ibn Babawaih al-Qummi dalam al-Khishal, hlm. 200-201. Bandingkan dengan al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar, juz 23, hlm. 69.
[6]Lihat, Ibn Babawaih, ‘Aqa’id ash-Shaduq, hlm. 106. Dalam kitab ini juga disebutkan, bahwa jumlah washi’ (orang yang diwasiati) sebanyak 124 ribu.
[7]Lihat, Al-Kafi, juz 1, hlm. 171-172. Lihat pula dalam Bihar al-Anwar, juz 47 hlm. 25-99.
[8]Sayyid Amir Muhammad al-Kazhimi al-Quzwaini, Asy-Syiah fi ‘Aqa’idihim wa Ahkamihim, hlm. 73.
[9]Sayyid Abdul Husain, al-Yaqin, Dar al-Ma’arif, beirut Libanon [1989], hlm. 46.
[10]Ni’matullah al-Jaza’iri, al-Anwar an-Nu’maniyah , juz 1, hlm. 20-21.
[11]Ayatullah Ruhullah Khomaini, Hukumah al-Islamiyah, hlm. 52.
[12]Lihat, Abdullah bin Mhuammad as-Salafi, Min ‘Aqa’id asy-Syiah, juz 1, hlm. 8, atau DR. Nashir bin Abdillah al-Qifari, dalam Ushul Madzhab asy-Syiah, juz 3, hlm. 1290.
[13]Lihat antara lain dalam Abdullah bin Muhammad as-Salafi, Min ‘Aqa’id asy-Syiah, hlm. 8; al-Ha’iri, Muqtabas al-Atsar, juz 1, hlm 246; dan Abdurrahman bin Sa’d, I’tiqad asy-Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, hlm. 93 (mengutip dari Diwan al-Husain, hlm.48).
[14]Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 258.
(adibahasan/arrahmah.com)