Oleh Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Keimanan Syiah terhadap rukun iman sangat berbeda dengan kaum Muslimin. Syiah mengklaim bahwa akhirat sepenuhnya ada dalam genggaman Imamah mereka. Astaghfirullah.
Berikut ulasan mengenai akhirat versi Syiah yang Arrahmah kutip dari Sigabah.com. Ulasan ini diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
Syiah dan Rukun Iman: Hari Akhir (Akhirat)
Tentang hari Akhir, Syiah—seperti pada rukun Iman yang lain—juga punya pandangan yang jauh berbeda dengan umat Islam. Sudah menjadi suatu kelaziman, bahwa Syiah mesti menghubungkan segala urusan agama dengan doktrin sentral mereka, yakni imamah. Percaya pada keberadaan hari akhir tidak sah jika tidak percaya pada imamah. Menurut Syiah, bagaimana beriman kepada hari akhir dapat diterima tanpa keimanan kepada para Imam Ahlul Bait, padahal urusan akhirat sepenuhnya berada di genggaman mereka. Merekalah yang berhak memasukan seseorang ke dalam surga atau neraka. Hal ini telah dinyatakan oleh al-Kulaini dalam al-Kafi sebagai berikut:
الآخِرَةِ لِلْإِمَامِ يَضَعُهَا حَيْثُ يَشَاءُ وَ يَدْفَعُهَا اِلَى مَنْ يَشَاءُ جَائِزٌ لَهُ ذَلِكَ مِنَ اللهِ.
“Akhirat adalah milik Imam, dia boleh meletakannya di manapun dia suka, dan memberikan kepada siapa saja yang dia kehendaki. Hal itu sudah direstui oleh Allah.”[1]
Syiah mengigau sedemikan karena dalam keyakinan mereka, Allah subhanahu wata’ala. Menciptakan surga dan neraka hanya untuk menghormati a’immat Ahl al-Bait (para Imam Ahlul Bait). Dalam hal ini, salah satu pemuka ulama Syiah, Ibnu Babawaih, menyatakan sebagai berikut:
وَ يَجِبُ أَنْ يُعْتَقَدَ أَنَّهُ لَوْ لَا هُمْ لَمَا خَلَقَ اللهُ سُبْحَانَهُ السَّمَاءَ وَ الأَرْضَ وَ لَا اْلجَنَّةَ وَ لَا النَّارَ, وَ لَا آدَمَ وَ لَا حَوَّاءَ, وَ لَا الْمَلاَ ئِكَةَ, وَ لَا شِيْئاً مِمَّا خُلِقَ.
“Wajib diyakini bahwa andai bukan karena para Imam, Allah tidak akan menciptakan langit, bumi, surga, neraka, Adam, Hawa, malaikat dan segala apa yang Dia ciptakan.”[2]
Bagi Syiah, para Imam memegang peran yang demikian sentral, baik mengenai urusan dunia maupun urusan akhirat seseorang, juga mengenai kehidupan dan kematiannya. Syiah percaya, bahwa sesaat sebelum orang mukmin meninggal dunia, para Imam ikut andil dalam proses keluarnya ruh. Mereka meyakini bahwa para Imam hadir saat seseorang menghadapi ajal. Para Imam itulah yang dapat memberi syafa’at (pertolongan) kepada orang-orang yang mempercayai wilayah (kepemimpinan Ali dan keturunannya), sehingga keluarnya ruh tidak terlalu menyiksa. Syiah juga percaya bahwa para Imam bisa membuat orang yang akan meninggal semakin menderita disebabkan keengganannya mengakui wilayah.[3]
Kepercayaan semacam itu demikian menjiwai penganut Syiah, hingga tradisi dan amaliyah keseharian mereka sesak dengan khurafat, takhayyul dan mitos. Hal itu dapat kita lihat, semisal setelah orang Syiah meninggal, biasanya kerabatnya memasukkan debu kuburan Sayyidina Husain Radhiyallahu ‘anhu ke dalam kafannya. Mereka percaya bahwa abu tersebut akan menjadi perisai dari api neraka.
Lebih dari semua itu, Syiah juga percaya bahwa saat seseorang masuk ke liang lahad, pertanyaan pertama yang diajukan malaikat adalah berkenaan dengan Ahlul Bait. Al-Majlisi memberikan ilustrasi yang amat lugas tentang hali itu:
أَوَّلُ مَا يُسْأَلُ عَنْهُ العَبْدُ حُبُّنَا أَهْلَ البَيْتِ.
“Pertanyaan pertama yang diajukan pada seorang hamba adalah kecintaan kita kepada Ahlul Bait.”[4]
Lebih lanjut, al-Majlisi dalam karyanya yang lain, al-I’tiqadat, juga mengatakan sebagai berikut:
فَيَسْأَلُهُ مَلَكَانِ عَنْ مَنْ يَعْتَقِدَهُ مِنْ الْأَئِمَّةِ وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ, فَإِنْ لَمْ يُجِبْ عَنْ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَضْرِبَانِهِ بِعَمُودٍ مِنْ نَارٍ يَمْتَلِئُ قَبْرَهُ نَارًا اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
“Maka dua malaikat itu menanyainya tentang Imam yang dia (orang yang berada didalam kubur) percayai satu persatu. Jika ia tidak bisa menjawab satu saja, dua malaikat itu akan memukulnya dengan tongkat dari api yang akan membuat kuburannya terbakar hingga hari kiamat.”[5]
Ulama Syiah yang lain, Muhammad al-Husaini al-Jalali, juga mengatakan:
وَ أَمَّا إِذَا كَانَ فِي حَيَاتِهِ مُعْتَقِدًا بِهِمْ (يعني الإثني عشر) فَإِنَّهُ يَسْتَطِيْعُ الرَدَّ عَلَى أَسْئِلَتِهِمْ (أسئلة الملائكة) وَ يَكُوْنُ فِي رَغَدٍ إِلَى يَوْمِ الحَشْرِ.
“Jika sewaktu hidup ia mempercayai para Imam (Dua Belas), maka ia akan dapat menjawab semua pertanyaan malaikat, dan akan mendapatkan kenikmatan hingga hari pengumpulan.”[6]
Lebih jauh, mengenai hari kebangkitan, Syiah juga mempunyai kepercayaan tersendiri. Mereka meyakini bahwa tidak semua orang akan dikumpulkan di Padang Mahsyar, namun akan ada sekelompok orang yang akan masuk surga tanpa dikumpulkan di Padang Mahsyar terlebih dahulu. Mereka adalah penduduk Qum, kota suci Syiah di Iran. Dalam hal ini, ulama Syiah rupanya cukup bersemangat membikin riwayat aspal (asli tapi palsu) guna mengesankan keutamaan kota ini, antara lain apa yang diungkapkan oleh Syekh Abbas al-Qummi, salah seorang ulama Syiah kontemporer yang membidangi hadits dan sejarah. Ia mengatakan sebagai berikut:
أَنَّ أَهْلَ مَدِيْنَةِ قُمْ يُحَاسَبُوْنَ فِيْ حُفَرِهِمْ وَ يُحْشَرُوْنَ مِنْ حُفَرِهِمْ إِلَى الخَنَّةِ.
“Sesungguhnya penduduk kota Qum akan dihisab di kuburnya, dan digiring ke surga dari kuburnya.”[7]
عَنْ أَبِي الحَسَنِ الرِّضَا قَالَ: إِنَّ لِلْجَنَّةِ ثَمَانِيَةَ أَبْوَابٍ, وَ لِأَهْلِ قُمْ وَاحِدٌ مِنْهَا فَطُوْبِى لَهُمْ ثُمَّ طُوْبَى.
“Dari Abu Hasan ar-Ridha, ia berkata: “Sesungguhnya surga memiliki delapan pintu, satu pintu untuk penduduk kota Qum. Alangkah bahagianya mereka, sungguh alangkah bahagianya mereka.”[8]
Masih berkenaan dengan kota Qum, al-Majlisi menambahkan komentarnya sebagai berikut:
وَ هُمْ خِيَارٌ شِيْعَاتِنَا مِنْ بَيْنِ سَائِرِ البِلَادِ خَمَّرَ اللهُ تَعَالَى وِلاَيَتَنَا فِي طِيْنَتِهِمْ.
“Dari sekian negara, penduduk Qum-lah pengikut kita yang paling baik. Allah subhanahu wata’ala. Selalu menutupi wilayah kita dengan tanah air Qum.”[9]
Tegasnya, segala urusan akhirat, mulai dari hisab, timbangan amal, melewati jembatan, surga dan neraka, semuanya ditangani oleh para Imam, sebagaimana perkataan yang mereka afiliasikan kepada Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq) As, yang diklaim Syiah sebagai imam ke-6, sebagai berikut:
إِلَيْنَا الصِّرَاطُ وَ إِلَيْنَا المِيْزَانُ وَ إِلَيْنَا حِسَابُ شِيْعَتِنَا.
“Kamilah yang akan mengurusi shirath, timbangan amal dan perhitungan amal pendukung kita.”[10]
Senada dengan pernyataan di atas, seorang ulama besar Syiah, al-Hur al-Amili, menetapkan bahwa di antara pokok hukum Syiah Imamiyah adalah beriman bahwa perhitungan semua amal makhluk akan ditangani oleh para Imam.[11]
Jadi, sebagaimana telah kami nyatakan sebelumnya, bahwa yang diinginkan Syiah dengan mengusung doktrin imamah tidak hanya hendak mendominasi kekuasaan duniawi secara politis, baik dengan bertopeng dibalik doktrin mahdiyyah, Ghaibah, Wilayat al-Faqih dan sebagainya. Dengan imamah, Syiah juga hendak mendominasi wilayah kiamat dan akhirat, yang seharusnya merupakan hak prerogatif Allah subhanahu wata’ala. Inilah puncak ke-ekstrimitas sebuah ideologi. Padahal di dalam al-Qur’an telah dijelaskan antara lain sebagai berikut:
فَلِلَّهِ ٱلأخِرَةُ وَٱلأُولَىٰ
“Maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS. An-Najm [53]: 25)
لَهُ ٱلحَمدُ فِي ٱلأُولَىٰ وَٱلأخِرَةِ وَلَهُ ٱلحُكمُ وَإِلَيهِ تُرجَعُونَ
“Bagi-Nya-lah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya-lah segala dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Qashash [28]: 70)
إِنَّ إِلَينَا إِيَابَهُم ثُمَّ إِنَّ عَلَينَا حِسَابَهُم
“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah [88]: 25-26).
Referensi
[1] al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 409.
[2]Ibnu Babawaih, al-I’tiqadat, hlm. 106-107.
[3]Ibid, hlm. 93-94.
[4]Mulla Muhammad Baqir Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 27 hlm. 79 dan Ibnu Babawaih, Uyunu Akhbar ar-Ridha, hlm. 222.
[5]Mulla Muhammad Baqir Al-Majlisi, al-I’tiqadat, hlm. 95.
[6]Muhammad al-Husaini al-Jalali, al-Islam Aqidah wa Dustur, hlm. 77.
[7]Syekh Abbas al-Qummi, al-Kuna wa al-Alqab, juz 3 hlm. 71. Bandingkan dengan Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 60 hlm. 218.
[8]Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 60 hlm. 215, dan Syekh Abbas al-Qummi, Safinat al-Bihar, juz 1 hlm. 446.
[9]Bihar al-Anwar, juz 60 hlm. 216.
[10]Muhammad bin Abdul Aziz al-Kasyi, Rijal al-Kasyi, hlm. 337.
[11]Dr. Nashir bin Abdullah Ali al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 769.
(adibahasan/arrahmah.com)