Oleh Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Keimanan Syiah terhadap rukun iman sangat berbeda dengan kaum Muslimin. Selain meyakini bahwa al-Qur’an yang ada sekarang tidak orisinal, Syiah juga mengklaim telah memiliki kitab-kitab yang diturunkan langsung oleh Allah subhanahuwata’ala untuk kalangan mereka sendiri.
Namun mereka sendiri tidak pernah melihat wujud “kitabullah” yang menurutnya hanya diketahui Ali radhiallahu ‘anhu itu. Lantas kitab suci apa yang digunakan kaum Syiah sebagai landasan ibadahnya? Berikut ulasan kitab suci Syiah yang Arrahmah kutip dari Sigabah.com. Ulasan ini diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
Syiah dan Rukun Iman: Kitab Suci Syiah
Selain meyakini bahwa al-Qur’an yang ada sekarang tidak orisinal, Syiah juga mengklaim telah memiliki kitab-kitab yang diturunkan langsung oleh Allah subhanahu wata’ala untuk kalangan mereka sendiri—di samping Mushaf Fatimah yang telah diterangkan sebelumnya—adalah sebagai berikut:
B. Al-Jafr
Dalam anggapan Syiah, al-Jafr adalah kitab yang terbuat dari kulit yang konon berisi ilmu-ilmu para nabi, ilmu para Imam dan ilmu para ulama Bani Isra’il. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa al-Jafr adalah kitab yang terbuat dari kulit sapi jantan.[1] Kitab ini ada dua macam, ada yang berwarna putih dan ada yang berwarna merah. Masing-masing warna menunjukkan terhadap kandungan isinya; al-Jafr al-Abyadh (kitab al-Jafr putih) berisi kedamainan, sedangkan al-Jafr al-Ahmar (kitab al-Jafr merah) berisi pembantaian. Mengenai hal ini, al-Kulaini meriwayatkan suatu hadits dari Abu al-Ala’ sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ الْعَلَاءِ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ عليه السلام يَقُوْلُ: إِنَّ عِنْدِي الْجَفْرَ الْأَبْيَضَ، قَالَ: فَقُلْتُ: أَيُّ شَيْءٍ فِيْهِ؟ قَالَ: زَبُوْرُ دَاوُدَ، وَتَوْرَاةُ مُوْسَى، وَإِنْجِيْلُ عِيْسَى، وَصُحُفُ إِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِمُ السَّلَام، َواْلحَلَاُل وَاْلحَرَامُ .. وَعِنْدِي اْلجَفْرُ الْأَحْمَرُ، قَالَ: قُلْتُ: وَأَيُّ شَيْءٍ فِيْ اْلجَفْرِ الْأَحْمَرِ؟ قَالَ: السِّلَاحُ، وَذَلِكَ إِنَّمَا يَفْتَحُ لِلدَّمِ يَفْتَحُهُ صَاحِبُ السَّيْفِ لِلْقَتْلِ، فَقَالَ لَهُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي الْيَعْفُوْرِ: أَصْلَحَكَ اللهُ. أَيَعْرِفُ هَذَا بَنَو اْلحَسَنِ؟ فَقَالَ: أَيْ وَاللهِ كَمَا يَعْرِفُوْنَ اللَّيْلَ أَنَّهُ لَيْلٌ، وَالنَّهَارُ أَنَّهُ نَهَارٌ وَلَكِنَّهُمْ يَحْمِلُهُمْ الحَسَدُ وَطَلَبُ الدُّنْيَا عَلَى الُجحُوْدِ وَالْإِنْكَارِ، وَلَوْ طَلَبُوا الحَقَّ بِاْلَحقِّ لَكَانَ خَيْراً لَهُمْ.
Dari Abi al-Ala’, dia berkata: “Aku mendengar Abu Abdillah AS. Berkata: “Sesungguhnya Aku mempunyai al-Jafr putih”. Aku bertanya: “Apa isinya?”. Beliau menjawab: “(Isinya adalah) Zabur Daud, Taurat Musa, Injil Isa dan Shuhuf Ibrahim – semoga keselamatan atas mereka semua – serta halal dan haram. . . Aku juga mempunyai al-Jafr merah. Aku bertanya: “Apa isinya?” beliau menjawab: “(Isinya adalah) pedang. Kitab ini dibuka hanya untk menumpahkan darah, yang akan dipakai oleh sang pemilik pedang untuk membunuh. Maka berkatalah Abdullah bin Abi Ya’fur kepada Abu Abdillah, “Mudah-mudahan Allah menjagamu, apakah putra-putra al-Hasan tahu akan hal ini?” Beliau menjawab: “Ia, demi Allah, sebagaimana mereka tahu bahwa malam itu malam, dan siang itu siang, tetapi (sayang) mereka telah diliputi dengki dan mencintai dunia hingga mereka mengingkarinya. Andaikan mereka mencari kebenaran dengan kebenaran, tentu akan lebih baik bagi mereka.[2]
Terkait dengan kitab ini, Sayyid Husain al-Musawi dalam bukunya Lillahi tsumma li at-Tarikh berkisah, bahwa beliau pernah bertanya kepada Imam al-Khu’i, salah satu tokoh Syiah kontemporer, tentang al-Jafr merah: “Siapa yang akan membukanya dan darah siapa yang akan ditumpahkan?” Al-Khu’i menjawab:
فَقَالَ: يَفْتَحُهُ صَاحِبُ الزَّمَانِ – عَجَّلَ اللهُ فَرَجَهَ، وَيُرِيْقُ بِهِ دِمَاءَ اْلعَامَّةِ النَّوَاصِبِ -أهل السنة- فَيُمَزِّقُهُمْ شَذَرَ مَذَرَ، وَيَجْعَلُ دِمَاءَهُمْ تَجْرِيْ كَدَجْلَةٍ وَاْلفُرَاتِ، وَلَيَنْتَقِمَنَّ مِنْ صَنَمَيْ قُرَيْشٍ -يَقْصُدُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ- وَابْنَتَيْهِمَا -يَقْصُدُ عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ- وَمِنْ نَعْثَلْ -يَقْصُدُ عُثْمَانَ- وَمِنْ بَنِي أُمَيَّةِ وَاْلعَبَّاسِ فَيَنْبُشُ قُبُوْرُهُمْ نَبَشاً.
Maka dia (al-Khu’i) menjawab “Al-Jafr merah akan dibuka oleh Shahib al-zaman (Imam Mahdi) – mudah-mudahan Allah mempercepat keluarnya. Dia akan menumpahkan darah Ahlussunnah, mencincang habis tubuh mereka, membuat darah mereka mengalir seperti aliran sungai Tigris dan Eufrat. Dia akan membalas dendam kepada dua berhala Quraisy (maksudnya Abu Bakar dan Umar) juga kedua putr mereka (Aisyah dan Hafshah), kepada si Srigala (Utsman), juga kepada Bani Umayyah dan Bani Abbas, lalu menggali kubur-kubur mereka.[3]
Apa yang disampaikan al-Khu’i tersebut tampaknya terlalu berlebihan dan bersumber dusta. Pernyataan itu sekaligus memberi gambaran yang sangat jelas, betapa benci Syiah kepada para sahabat dan istri-istri Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Sayyid Husain al-Musawi sendiri rupanya amat heran terhadap kepercayaan tersebut: bagaimana mungkin seorang Ahul Bait akan melakukan perbuatan keji seperti yang dilukiskan al-Khu’i itu? Bukankah mereka adalah manusia-manusia pilihan yang menjunjung tinggi rasa kasih sayang? Tanpa melihat dari sudut pandang bahwa pernyataan Syiah itu hanya sebatas mitos, adalah hal yang sangat keterlaluan jika al-Mahdi al-Muntadzar sampai menggali kuburan para sahabat, lalu melampiaskan dendam kesumatnya pada orang yang sudah mati. Tak jauh beda dari apa yang disampaikan al-Khu’i, Al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar juga mengeluarkan riwayat berikut:
عَنْ جَعْفَرٍ أَنَّهُ قَالَ : إِنَّ اْلقَائِمَ يَسِيْرُ فِي اْلعَرَبِ فِي الجْفرِ الأَحْمَرِ ، قَالَ ( أي الراوي ، وَهُوَ رَفِيْدُ مَوْلَى ابْنِ هُبَيْرَةَ ) قُلْتُ : جُعِلْتُ فِدَاكَ ، وَمَا فِي الَجْفرِ الأَحْمَرِ ؟ قَالَ : فَأَمَرَّ أُصْبُعَهُ عَلَى حَلْقِهِ ، قَالَ : هَكَذَا ، يَعْنِي الذِّبْحَ.
Dari Ja’far, dia berkata: “Sesungguhnya al-Mahdi akan menyisiri Bangsa Arab (sesuai hukum yang tertera) dalam alJafr merah, (Rawi berkata) Aku bertanya: “Apa isi al-Jafr merah itu?” Lalu beliau meletakkan jari pada lehernya, sambil berkata “Begini – khrk” (maksudnya menyembelih).[4]
C. Al-Jami’ah
Kitab lain yang diyakini oleh Syiah sebagai kitab ‘samawi’ adalah al-Jami’ah. Konon, kitab ini didektekan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Imam Ali As. Panjangnya mencapai 70 hasta. Di dalamnya berisi segala apa yang dibutuhkan oleh umat manusia. Mengenai kitab ini, al-Kulaini dalam al-Kafi kembali meriwayatkan hadits dari Imam Ja’far ah-Shadiq sebagai berikut:
ثُمَّ قَالَ: يَا أَبَا مُحَمَّدٍ وَإِنَّ عِنْدَنَا اْلجَامِعَةَ وَمَا يُدْرِيْهِمْ مَا الْجَامِعَةُ؟ قَالَ: قُلْتُ: جُعِلْتُ فِدَاكَ وَمَا الْجَامِعَةُ؟ قَالَ: صَحِيْفَةٌ طُوْلُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا بِذِرَاعٍ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وآله وَإِمْلَائُهُ مِنْ فَلْقِ فِيْهِ وَخَطِّ عَلَيٍّ بِيَمِيْنِهِ، فِيْهَا كُلُّ حَلَالٍ وَحَرَامٍ وَكُلُّ شَيْئٍ يَحْتَاجُ النَّاسُ إِلَيْهِ حَتَّى اْلاَرْشُ فِيْ اْلخَدَشِ.
. . .Lalu Imam Ja’far As. Berkata: “Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya kami mempunyai al-Jami’ah. Tahukah mereka apa itu al-Jami’ah? Aku berkata: “Aku menjadi tebusanmu. (katakan) apakah al-Jami’ah itu?” beliau berkata: “Al-Jami’ah adalah lembaran yang panjangnya mencapai 70 hasta seukuran hasta Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan pendikteannya dilakukan langsung melalui bibir beliau (yang mulia), dan ditulis oleh Imam Ali As. Dengan tangan kanannya. Shahifah ini berisi penjelasan tentang halal dan haram serta segala apa yang dibutuhkan oleh umat manusia hingga penjelasan mengenai diyatnya luka.”[5]
Riwayat mengenai al-Jami’ah ini juga disinggung oleh al-Majlisi dalam Bihar-nya, juga dalam Basha’ir al-Darajat dan Wasail asy-Syiah. Sayyid Husain al-Musawi—seorang tokoh Syiah yang telah bertaubat dari ke-Syiah-annya—mengomentari al-Jami’ah sebagai berikut:
لَسْتُ أَدْرِيْ إِذَا كَانَتْ الْجَامِعَةُ حَقِيْقَةً أَمْ لَا؟ وَ فِيْهَا كُلُّ مَا يَحْتَاجُهُ النَّاسُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ؟ فَلِمَاذَا أُخْفِيَتْ إِذَنْ؟ وَ حُرِمْنَا مِنْهَا وَ مِّمَا فِيْهَا مِمَّا يَحْتَاجُهُ النَّاسُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مِنْ حَلَالٍ وَ حَرَامٍ وَ أَحْكَامٍ؟ أَ لَيْسَ هَذَا كِتْمَانًا لِلْعِلْمِ.
Aku tidak tahu apakah al-Jami’ah itu ada atau tidak, dan apakah di dalamnya memuat segala apa yang dibutuhkan umat manusia hingga hari kiamat?. (kalau memang ada) mengapa kitab itu disembunyikan? Kenapa kita tak diperbolehkan melihat dan mengetahui isinya, padahal sangat dibutuhkan oleh manusia, baik itu hal-hal yang menjelaskan tentang perkara halal, haram, atau hukum-hukum (yang lain)? Bukankah ini adalah penyembunyian terhadap ilmu?[6]
D. Shahifah an-Namus
Selain tiga kitab di atas, Syiah masih memiliki kitab ‘samawi’ lain yang mereka yakini, yaitu kitab an-Namus. Konon, an-Namus adalah dua kitab besar; yang pertama memuat nama-nama seluruh pengikut Ahlul Bait. Barangsiapa yang namanya tidak tercantum dalam kitab ini, berarti ia bukan orang Syiah. Sedangkan yang kedua memuat nama orang-orang yang memusuhi Syiah, mulai dari generasi pertama hingga datangnya hari kiamat. Mengenai hal-ihwal kitab ini, Sayyid Husain al-Musawi dalam Lillahi tsumma li at-Tarikh, mengutip al-Majlisi yang meriwayatkan suatu hadits Syiah dari ar-Ridha As. Sebagai berikut:
عَنِ الرِّضَا عليه السلام فِيْ حَدِيْثِ عَلاَمَاتِ الْإِمَامِ قَالَ : وَ تَكُوْنُ صَحِيْفَةٌ عِنْدَهُ فِيْهَا أَسْمَاءُ شِيْعَتِهِمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَ صَحِيْفَةٌ فِيْهَا أَسْمَاءُ أَعْدَائِهِمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
Hadits dari ar-Ridha As. Berkenaan tanda-tanda datangnya Imam, beliau berkata: “Dia memegang Shahifah yang berisikan nama-nama pengikutnya hingga hari kiamat, dan shahifah yang berisikan nama-nama musuhnya hingga hari kiamat.[7]
Namun, Sayyid Husain al-Musawi kemudian menyangsikan kebenaran dari riwayat tersebut. Beliau menyatakan sangat tidak masuk akal jika semua nama-nama orang Syiah, berikut nama orang-orang yang memusuhi mereka, dari periode pertama hingga terakhir, tercantum dalam kitab itu dengan lengkap.
Pada riwayat yang ditulis al-Majlisi dalam al-Bihar-nya, an-Namus merupakan oleh-oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. saat melakukan Mi’raj ke langit. Beliau diberi dua Shahifah; satu berisi nama-nama Ashhab al-Yamin (orang-orang yang beruntung) dan yang lain berisi nama-nama Ashhab as-Syimal (orang-orang yang celaka). Kitab itu kemudian diberikan kepada Imam Ali AS., lalu kepada Hasan AS. Dan kepada seluruh Imam Ahlul Bait hingga sekarang ada ditangan al-Mahdi al-Muntadzar.[8]
Masih dalam konteks ini, al-Majlisi selanjutnya menyebutkan kisah seorang perempuan yang datang kepada Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq) AS. dan mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
إِنَّ لِيْ ابْنَ أَخٍ وَ هُوَ يَعْرِفُ فَضْلَكُمْ وَ إِنِّيْ أُحِبُّ أَنْ تُعَلِّمَنِيْ أَمِنْ شِيْعَتِكُمْ؟ قَالَ: وَ مَا اسْمُهُ؟ قَالَتْ: فُلَان بن فلان, قَالَتْ: فَقَالَ: يَا فُلَانَةُ, هَاتِي النَّامُوسَ, فَجَاءَتْ بِصَحِيْفَةٍ تَحْمِلُهَا كَبِيْرَةٍ فَنَشَرَهَا ثُمَّ نَظَرَ فِيْهَا فَقَالَ: نَعَمْ هُوَ ذَا اِسْمُهُ وَ اسْمُ أَبِيْهِ هَا هُنَا.
Saya mempunyai keponakan yang mengetahui keutamaan Anda. Saya ingin Anda memberitahu Saya, apakah dia termasuk golongan Anda? Abu Abdillah bertanya: “Siapa namanya?” Perempuan itu menjawab: “Fulan bin Fulan.” Abu Abdillah berkata: “Hai Fulanah, ambilkan an-Namus! Maka dia pun mengambil Shahifah besar, lalu Abu Abdillah menggelar dan menelitinya. Beliau kemudian berkata: “Ia, ini namanya dan nama ayahnya ada disini.”[9]
Kemudian, diakhir pembahasannya tentang Shahifah an-Namus, Sayyid Husain al-Musawi menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
إن عقول العامة من الناس لا يمكنها أن تقبل هذه الرواية و أمثلها فكيف يقبلها العقلاء؟! إن من المحال أن يقول الأئمة عليهم السلام مثل هذا الكلام الذي لا يقبله عقل و لا منطق, و لو اطّلع عليه – أي على هذه الرواية – أعداؤنا لتكلّموا بما يحلو لهم, و لطعنوا بدين الإسلام, و لتكلّموا و تندّروا بما يشفي غيظ قلوبهم, و لا حول و لا قوّة الّا بالله.
Orang-orang awam saja tidak mungkin akan menerima cerita semacam ini, apalagi orang-orang berakal? Adalah mustahil jika para Imam akan mengucapkan perkataan semacam itu, yang sama sekali tidak masuk akal. Bila musuh-musuh kita membaca riwayat ini, tentu mereka akan mengucapkan perkataan yang dapat membuka peluan kemenangan (bagi mereka) dan menyudutkan agama Islam, serta akan mengucapkan kata-kata yang bias memuaskan kebencian hati mereka. Laa haula walaa Quwwata illaa Billah.[10]
E. Al-Abithah
Dalam pandangan orang-orang Syiah, kitab ‘samawi’ yang satu ini berisi ancaman kepada orang-orang Arab. Sebagaimana dimaklumi, bahwa perselisihan antara Persia dan Arab sudah terjadi sejak ratusan tahun silam, dimana dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, orang-orang Syiah selalu dikucilkan, diusir dan dikejar-kejar. Sudah barang tentumereka benci pada orang-orang Arab, hingga dalam kitab al-‘Abithah ini, orang Arab menjadi prioritas utama sebagai tempat pelampiasan dendam kesumat mereka. Mengenai kitab ini, al-Majlisi kembali meriwayatkan hadits dari Imam Ali AS. sebagai berikut:
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عليه السلام قَالَ: …وَ أَيْمُ الله! إِنَّ عِنْدِيْ لَصُحُفًا كَثِيْرَةً قَطَائِعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه و آله, وَ أَهْلِ بَيْتِهِ وَ إِنَّ فِيْهَا لَصَحِيْفَةً يُقَالُ لَهَا العَبِيْطَةُ, وَ مَا وَرَدَ عَلَى الْعَرَبِ أَشَدَّ مِنْهَا, وَ إِنَّ فِيْهَا لَسِتِّيْنَ قَبِيْلَةً مِنْ الْعَرَبِ بَهْرَجَةً مَالَهَا فِيْ دِيْنِ اللهِ مِنْ نَصِيْبٍ.
Dari Amirul mukminin AS. Dia berkata: “. . . Demi Allah! Aku mempunyai beberapa lembaran (wahyu) yang banyak serta bersifat pasti milik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Di dalamnya terdapat shahifah yang disebut al-‘Abithah. Shahifah inilah yang paling keras terhadap orang-orang Arab. Di dalamnya berisi 60 kabilah Arab yang tidak punya andil sedikit pun dalam agama Allah.[11]
Dari riwayat diatas, sekilas kita dapat merasakan, betapa fanatisme golongan dan kesukuan dari orang-orang Syiah demikian kental, mengalahkan fanatisme keagamaan mereka. Hal itu terbukti, bahwa dalam literature-literatur Syiah amat sulit untuk menjumpai cacian, hujatan apalagi ancaman terhadap orang-orang Yahudi atau Nashrani. Berbeda dengan cercaan, hinaan dan ancaman terhadap orang-orang Ahlussunnah sebagaimana yang akan kita lihat nanti.
Bagaimana mungkin seorang Muslim dapat berpikir, bahwa di dunia ini tak ada seorang pun yang berhak dikatakan Muslim sejati selain Syiah? Sebab, 60 kabilah Arab – yang ditunjuk – tidak mengikuti agama Allah sedikit pun itu mewakili semua kaum Muslimin pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dari sini menjadi tampak jelas, bahwa kebencian orang Syiah juga mengarah kepada agama Islam yang telah disebarkan oleh orang-orang Arab.
F. Lauh Fathimah
Lauh Fathimah ini berbeda dengan Mushaf Fathimah. Jika Mushaf Fathimah menurut salah satu riwayatnya diturunkan melalui malaikat yang menghibur Sayyidah Fathimah az-Zahra ‘alaiha as-salam, maka Lauh Fathimah adalah kitab yang diturunkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam., lalu beliau menghadiahkannya kepada Sayyidah Fathimah ‘alaiha as-salam. Kitab ini berisi berbagai macam rahasia yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Kitab ini tidak boleh dibaca siapapun kecuali orang-orang yang berhak. Mengenai kitab ini, al-Wafi dan al-Kafi memunculkan riwayat sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ بَصِيْرٍ عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ أَبِيْ لِجَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِيْ: إِنَّ لِيْ إِلَيْكَ حَاجَةً مَتَى يَخَفُّ عَلَيْكَ أَنْ أَخْلُوَ بِكَ فَأَسْأَلَكَ عَنْهَا؟ قَالَ لَهُ جَابِرْ: فِيْ أَيِّ الْأَحْوَالِ أَحْبَبْتَ، فَخَلَا بِهِ فِي بَعْضِ اْلأَيَّامِ فَقَالَ لَهَ: يَا جَابِرُ، أَخْبِرْنِي عَنِ اللَّوْحِ الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي يَدِ أُمِّيْ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَمَا أَخْبَرَتْكَ بِهِ أُمِّي أَنَّهُ فِي ذَلِكَ اللَّوْحِ مَكْتُوْبٌ، فَقَالَ جَابِرُ: أَشْهَدُ بِاللهِ أَنِّي دَخَلْتُ عَلَى أُمِّكَ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام فِي حَيَاةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَهَنَّيْتُهَا بِوِلَاَدةِ اْلحُسَيْنِ فَرَأَيْتُ فِيْ يَدَيْهَا لَوْحًا أَخْضَرَ ظَنَنْتُ أَنَّهُ مِنْ زُمُرِّد وَرَأَيْتُ فِيْهِ كِتَابًا أَبْيَضَ شِبْهَ لَوْنِ الشَّمْسِ فَقُلْتُ لَها: بِأَبِي َوَأُمِّي أَنْتَ يَا بِنْتَ رَسُوْلِ اللهِ مَا هَذَا اللَّوْحُ؟ فَقَالَتْ: هَذَا لَوْحٌ أَهْدَاهُ اللهُ تَعَالَى ِإِلَى رَسُوْلِهِ صلى الله عليه وسلم، فِيْهِ اسْمُ أَبِي وَاسْمَ بَعْلِيْ وَاسْمُ ابْنِي وَاسْمُ الْأَوْصِيَاءِ مِنْ وَلَدِيْ، وَأَعْطَانِيْهِ أَبِيْ لِيُبَشِّرَنِي بِذَلِكَ. قَالَ جَابِرٌ: فَأَعْطَتْنِيْهِ أُمُّكَ فَاطِمَةُ عليها السلام فَقَرَأْتُهُ وَاسْتَنْسَخْتُهُ، فَقَالَ أَبِيْ: فَهَلْ لَكَ يَا جَابِرُ أَنْ تَعْرِضَهُ عَلَيَّ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَمَشَى مَعَهُ أَبِي إِلَى مَنْزِلِ جَابِرٍ فَأَخْرَجَ صَحِيْفَةً مِنْ رِقٍّ فَقَالَ: يَا جَابِرَ، اُنْظُرْ فِي كِتاَبِكَ لِأُقْرِأَ عَلَيْهِ، فَنَظَرَ جَابِرُ فيِ نُسْخَتِهِ وَقَرَأَ أَبِي، فَمَا خَالَفَ حَرْفٌ حَرْفًا، فَقَالَ جَابِرُ: أَشْهَدُ بِاللهِ أَنِّي هَكَذَا رَأَيْتُهُ فِي اللَّوْحِ مَكْتُوْبًا:”بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ هَذَا كِتَابٌ مِنَ اللهِ الْعَزِيْزِ اْلحَكِيْمِ لمِحُمَّدٍ نَبِيِّهِ وَنُوْرِهِ وَسَفِيْرِهِ وَحِجَابِهِ وَدَلِيْلِهِ، نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْأَمِيْنُ مِنْ عِنْدِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ، عَظِّمْ يَا مُحَمَّد أَسْماَئِي وَاشْكُرْ نَعَمَائِي..”
“Dari Abi Bashir dari Abu Abdillah, dia berkata: “Ayahku berkata pada Jabir bin Abdillah al-Anshari “Aku punya keperluan padamu, kapan kau punya kesempatan, hingga aku berbicara empat mata dengan kamu?” Jabir berkata pada ayahku “Kapanpun kau mau.” Maka suatu saat ayahku berbicara empat mata dengan Jabir, lalu beliau bertanya: “Jabir, ceritakan padaku tentang Lauh yang engkau lihat ditangan ibuku Fathimah, putri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan tentang isi Lauh itu seperti yang pernah diceritakan ibu padamu! Jabir berkata: “Aku bersaksi dengan nama Allah bahwa aku pernah menemui Ibumu Fathimah ‘alaiha as-salam saat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam masih ada. Aku mengucapkan selamat pada ibumu atas kelahiran Husain, lalu aku melihat Lauh berwarna hijau ditangannya. Aku menduga jika Lauh itu terbuat dari Zamrud. Aku juga menyaksikan tulisan putih laksana cahaya matahari, aku bertanya pada Ibumu: “Ayah Ibuku menjadi tebusanmu wahai putri Rasulullah, Lauh apakah ini? Ibumu menjawab: Lauh ini pemberian Allah subhanahu wata’ala. kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Didalamnya terdapat nama ayahku, suamiku, anakku, dan nama-nama anakku yang akan menjadi pengganti setelahku, kemudian ayahku memberikannya padaku agar aku senang. Jabir berkata: “Lalu Ibumu Fathimah ‘alaiha as-salam memberikannya padaku, maka akupun membaca dan menyalinnya. Ayahku berkata pada Jabir: “Hai Jabir, bisakah kau memperlihatkannya padaku? Jabi menjawab: “tentu”. Maka jalanlah ayahku bersama Jabir menuju rumahnya. Selanjutnya Jabir mengeluarkan lembaran yang terbuat dari kulit. Ayahku berkata: “Hai Jabir, lihatlah lembaranmu! Aku akan membacanya (dengan hafalanku)! Maka Jabir pun melihat salinan yang ada ditangannya. Sementara ayahku mulai membaca, dan bacaanya tidak keliru satu huruf pun. Maka Jabir berkata: “Aku bersaksi demi Allah, seperti itulah Lauh yang kulihat, (disitu) tertulis: “Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kitab ini dari Allah, Dzat yang Maha Mulia dan Bijaksana, (diberikan) kepada Muhammad; Nabi, cahay, duta, hijab dan petunjuk-Nya. Dibawa oleh Jibril dari sisi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Hai Muhammad! Agungkan nama-Ku dan syukuri nikmat-nikmat-Ku![12]
Di samping kitab-kitab suci Syiah yang telah kami paparkan diatas, masih ada dua lagi kitab Syiah yang diafiliasikan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Konon, keduanya berupa lembaran-lembaran kecil yang berada di ujung pedang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Lembaran itu disebut Dzu’abat as-Saif dan Shahifat ‘Ali. Menurut Syiah, Shahifah Ali ini sebenarnya berada dalam Dzu’abat as-Saif. Mengenai hal ini, al-Majlisi mengeluarkan suatu riwayat dalam al-Bihar-nya:
عَنْ أَبِيْ بَصِيْر عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ عليه السلام أَنَّهُ كَانَ فِيْ ذُؤَابَةِ سَيْفِ رَسُوْلِ االلهِ صلى الله عليه و آله صَحِيْفَةٌ صَغِيْرَةٌ فِيْهَا الأَحْرُفُ الَّتِيْ يَفْتَحُ كُلُّ حَرْفٍ مِنْهَا أَلْفَ حَرْفٍ. قَالَ أَبُوْ بَصِيْرٍ: قَالَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ: فَمَا خَرَجَ مِنْهَا إِلَّا حَرْفَانِ حَتَّى السَّاعَةَ.
Dari Abi Bashir, dari Abi Abdillah AS.: Bahwa sesungguhnya di ujung pedang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ada Shahifah kecil yang didalamnya terdapat huruf-huruf, dimana dari setiap hurufnya terbuka seribu huruf. Abu Bashir berkata: Abu Abdillah berkata: “Tidak keluar darinya kecuali dua huruf hingga hari kiamat.”[13]
Dalam riwayat lain juga dinyatakan:
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ عليه السلام قَالَ: وُجِدَ فِيْ ذُؤَابَةِ سَيْفِ رَسُوْلِ االلهِ صلى الله عليه و سلّم صَحِيْفَةٌ فَإِذَا فِيْهَا مَكْتُوبٌ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ, إِنَّ أَعْتَى النَّاسَ عَلَى اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَتَلَ غَيَرَ قَاتِلِهِ, وَ مَنْ ضَرَبَ غَيْرَ ضَارِبِهِ, وَ مَنْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيْهِ فَهُوَ كَافِرٌ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ تَعَلَى عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عليه و آله, وَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثاً أَوْ آوَى مُحْدِثًا لَمْ يَقْبَلِ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَ لَا عَدْلًا.
Dari Abi Abdillah AS., dia berkata: Dalam Dzu’abah as-Saif Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ditemukan lembaran berisi “Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya manusia yang paling durhaka kepada Allah pada hari kiamat adalah orang yang membunuh orang lain yang bukan pembunuhnya, memikul orang yang tidak memikul kepadanya, dan orang yang tidak mencintai walinya. Dia ingkar kepada yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, barang siapa yang membuat perkara bid’ah, maka Allah tidak menerima darinya bayaran dan tebusan di hari kiamat kelak.”[14]
Yang perlu dijadikan catatan akhir dari pemaparan di atas, bahwa kitab-kitab ‘samawi’ Syiah tersebut tidak pernah muncul kepermukaan, karena semua kitab-kitab itu hanya sekedar fiktif belaka. Untuk itulah mereka selalu membungkus cerita itu dengan ending yang sama: bahwa kitab-kitab tersebut kini berada digenggaman Imam al-Mahdi yang tengah bersembunyi. Adakah argumentasi lain dari Syiah selain dalih kegaiban Al-Mahdi dan pengakuan dusta (taqiyyah) akan keaslian Quran umat Islam?
Referensi
[1]Al-Kulaini, al-kafi, juz 1 hlm. 239.
[2]Ibid, juz 1 hlm. 240.
[3]Sayyid Husain al-Musawi, Lillahi tsumma li at-Tarikh, hlm. 26.
[4]Al-majlisi, Bihar al-Anwar, juz 13 hlm. 181.
[5]Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1, hlm. 239.
[6]. Sayyid Husain al-Musawi, Lillahi tsumma li at-Tarikh, hlm. 60.
[7]Sayyid Husain al-Musawi, Lillahi tsumma li at-Tarikh, hlm. 60 dan al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 25 hlm. 117.
[8]Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 26 hlm. 124-125 dan Muhammad bin al-Hasan bin Furukh ash-Shaffar, Bashair ad-Darajat, hlm. 52.
[9]Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 26 hlm. 121 dan Muhammad bin al-Hasan bin Furukh ash-Shaffar, Bashair ad-Darajat, hlm. 46.
[10]Sayyid Husain al-Musawi, Lillahi tsumma li at-Tarikh, hlm. 61.
[11]Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 26 hlm. 37.
[12]Dikutip oleh Al-Qifari dalam Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 725-726.
[13]Al- Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 26 hlm. 56.
[14]Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 27 hlm. 65, 104 dan 375.
(adibahasan/arrahmah.com)