JAKARTA (Arrahmah.id) – Indomie: Rasa Ayam Spesial termasuk dalam salah satu mi instan yang ditarik peredarannya di Taiwan dan Malaysia karena terbukti mengandung karsinogenik atau zat pemicu kanker
Terkait kabar yang meresahkan ini, pakar sekaligus guru besar Universitas Indonesia menegaskan pentingnya peran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memantau keamanan suatu produk makanan.
Dalam sebuah pernyataan, Departemen Kesehatan Taiwan menemukan bahwa sejumlah “Mie Kari Putih Ah Lai” dari Malaysia dan sejumlah mi “Indomie: Rasa Ayam Spesial” dari Indonesia, keduanya mengandung etilen oksida, senyawa kimia yang terkait dengan limfoma dan leukemia. Temuan itu dilaporkan oleh Departemen Kesehatan Taiwan pada Senin 24 April 2023 lalu.
“Mengandung etilen oksida atau tidak, tentu harus dikonfrimasi dengan BPOM karena inilah salah tanggung jawab BPOM,” ujar Dokter spesialis penyakit dalam konsultan gastroenterologi hepatologi, Prof Dr dr H Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP, kepada awak media, Kamis (27/4/2023), lansir VIVA.
Guru besar pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu menambahkan bahwa laporan tersebut harus ditelusuri lebih lanjut di Indonesia. Sebab, temuan di luar negeri belum tentu sama hasilnya dengan produk yang ada di Indonesia. Maka, butuh berbagai pihak terkait untuk segera menyelidiki laporan produk makanan tersebut.
“Ketika ada suatu isu yang mengandung sesuatu yang berbahaya, tentu perlu dilakukan evaluasi mengapa demikian adanya,” tambahnya.
Prof Ari menambahkan bahwa pada dasarnya mi instan sendiri tak menyebabkan masalah pada sistem pencernaan, termasuk usus dan lambung. Menurutnya, mengonsumsi mi instan dalam jumlah tak berlebihan akan diproses oleh pencernaan dan nantinya diserap ke usus halus.
“Jadi kenyataannya mi instan suatu kondisi hancur dan diserap oleh usus akan bercampur dalam feses. Bukan sesuatu yang tidak atau sulit diurai,” tambahnya.
Ada pun mengonsumsi suatu yang instan tak diperbolehkan dalam jumlah berlebih, termasuk mi instan. Maka dari itu, mi instan dapat dikonsumsi dengan batasan yang sifatnya disesuaikan kebutuhan masing-masing individu.
“Mengenai sering atau tidak seringnya itu tertentu, sesuai kebutuhan,” tambah Prof Ari.
Sesuai kebutuhan ini merujuk pada kandungan gizi di dalam asupan total sehari-hari. Dalam sebungkus mi instan, gizinya didominasi oleh karbohidrat sehingga berbahaya akan kelebihan kalori. Kandungan gizi lainnya termasuk kecil. Satu hal yang juga disorot adalah kadar garam di dalam bumbu lezat mi instan yang dapat memicu hipertensi. Untuk itu, mi instan boleh dikonsumsi dengan porsi seimbang sesuai anjuran Kementerian Kesehatan.
Dipertimbangkan juga kadar garam, gula, dan minyak dalam asupan sehari-hari yang tidak disarankan berlebihan dari konsumsi mi instan tersebut.
Paling utama, Prof Ari menganjurkan mengonsumsi sumber makanan segar dan minim pengolahan sehingga kadar gizi lebih banyak dan mencukupi kebutuhan tubuh.
“Jadi memang kita sebenarnya berusaha menghindari makanan praktis seperti ini, mengingat idealnya adalah makanan-makanan yang kita masak sendiri,” pungkasnya.
Sebelumnya, Departemen Kesehatan Taiwan tersebut menjelaskan bahwa kandungan etilen oksida itu ditemukan pada mi dan bumbu di produk mi asal Malaysia. Sementara pada produk Indomie, kandungan etilen oksida hanya ditemukan pada bumbunya saja.
Sementara itu, menurut informasi di situs web Biro Zat Beracun dan Kimia di bawah Administrasi Perlindungan Lingkungan Tingkat Kabinet Taiwan, etilen oksida beracun jika dikonsumsi atau dihirup.
Selain menyebabkan limfoma dan leukemia, etilen oksida juga dapat menyebabkan iritasi serius pada kulit dan mata siapa saja yang bersentuhan dengan zat tersebut, bahkan dapat memicu cacat lahir dan keturunan.
(ameera/arrahmah.id)