XINJIANG (Arrahmah.id) — Beberapa hari lalu ribuan warga etnis minoritas Muslim Hui terlibat bentrok dengan pihak berwenang Cina, yang akan menghancurkan kubah dan masjid mereka.
Sejak Sabtu (27/5/2023), warga etnis Hui mengepung dan berjaga-jaga lantaran khawatir masjid mereka dihancurkan secara paksa oleh pasukan pemerintah.
Ini bukan kali pertama warga Muslim Hui yang berusaha melindungi masjid, terlibat ketegangan dengan pihak berwenang.
Pada 2018, ribuan penduduk Hui di Ningxia melakukan aksi duduk selama tiga hari untuk mencegah pihak berwenang menghancurkan masjid yang baru dibangun.
Pemerintah setempat menunda pembongkaran, namun kemudian mengganti kubah dan menara masjid menjadi pagoda bergaya tradisional Tionghoa.
Meskipun sama-sama melakukan perlawanan, namun perlakuan Cina terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang berbeda dengan etnis Muslim Hui.
Apa saja perbedaaanya? Berikut disampaikan;
Dilansir dari The Diplomat (22/7/2014), Uighur dan Hui adalah dua kelompok etnis Muslim utama di Cina. Meski sama-sama menganut Islam, namun imej mereka di dalam masyarakat Tionghoa sangat berbeda.
Etnis Uighur, yang berbicara bahasa Turki dengan aksara Arab, memiliki penampilan berbeda dengan etnis mayoritas Han di Cina. Populasi Uighur yang berjumlah sekitar 8 juta jiwa, sebagian besar tinggal di daerah otonomi Uighur di Xinjiang. Sementara etnis Hui yang diperkirakan terdiri atas 11 juta jiwa, tersebar di seluruh wilayah Cina. Tapi sebagian besar dari mereka terkonsentrasi di daerah otonomi Ningxia.
Dari segi warna kulit, Hui sedikit berbeda dari etnis Han. Bagi sebagian besar orang Hui, bahasa Mandarin adalah bahasa ibu. Mereka juga punya preferensi makanan yang hampir sama dengan etnis Han, meski tak makan daging babi dan minum alkohol. Namun perbedaan paling mencolok antara Uighur dan Hui yang paling mencolok adalah posisi mereka di mata pemerintah Cina.
Berbeda dengan Hui, etnis Uighur lebih banyak mengalami diskriminasi.
“Dengan kedok kontraterorisme dan upaya ‘anti-separatisme’, pemerintah mempertahankan sistem diskriminasi etnis terhadap Uighur dan dengan tajam mengekang ekspresi agama dan budaya,” demikian catatan Human Rights Watch tahun 2013.
Diskriminasi terjadi dimungkinkan karena 2 hal, yaitu:
Alasan pertama adalah budaya. Seperti etnis mayoritas Han, Uighur juga punya keterikatan kuat dengan praktik budaya dan sangat mengutamakan sejarah panjang budaya mereka.
Uighur disebut enggan berbaur dengan masyarakat Han, Sebagai gantinya, etnis Han menganggap Uighur sebagai ‘kaum barbar’ karena inferioritas mereka menimbulkan kebencian.
Sementara Hui, dianggap sebagai agama minoritas yang ideal bagi pemerintah Cina, terutama karena mudah berasimilasi dengan etnis mayoritas Han.
Masjid-masjid Hui sebagian besar adalah perpaduan harmonis antara arsitektur dinasti Tiongkok tradisional dengan motif-motif Islami.
Aspek lainnya yang memengaruhi posisi masyarakat Uighur dan Hui adalah ras. Diskriminasi ras mewarnai hubungan Uighur dan Han di Cina.
Banyak orang Han merasa tidak nyaman dengan Uighur, karena meyakini mereka sebagai pencuri dan penganut agama yang fanatik dan militan.
Sebagian kesalahpahaman ini lantaran Han dianggap kurang mampu membedakan perbedaan antara kelompok minoritas Turki.
Akibatnya, ketika kejahatan dilakukan oleh orang Tajik, Kazakh, Kyrgyz, Uzbek, atau Tatar, Han kemungkinan besar akan menggambarkan pelaku kesalahan kepada pihak berwenang sebagai orang Uighur. Namun, Hui berbaur bebas di lingkungan masyarakat. Penguasaan mereka terhadap bahasa Mandarin memberi ‘legitimasi’ bagi etnis Han.
Alasan kedua dan terpenting dalam kesenjangan perlakuan pemerintah bagi Uighur-Hui adalah teritorialitas. Uighur meyakini Cina melakukan pendudukan secara tidak adil di wilayah Xinjiang. Mereka mereka wilayah mereka dianeksasi cina beberpa puluh tahun lalu.
Sementara Hui hampir tak pernah menantang otoritas teritorial Cina. Hui cenderung jarang menunjukkan minat dalam hal politik, juga tak punya banyak pengalaman dalam pemerintahan. (hanoum/arrahmah.id)