WASHINGTON (Arrahmah.com) – Sebuah laporan dari Pentagon baru-baru ini mengungkapkan bahwa para tahanan Muslim di Guantanamo dicekoki obat-obatan saat mereka diienterogasi untuk melemahkan kondisi mental mereka.
Laporan itu diperoleh dari situs Truthout dibawah Freedom of Information Act, yang disajikan oleh wakil inspektur jenderal intelijen Departemen Pertahanan AS, menyusul dua tahun penyedilikan penggunaan obat-obatan antipsikotik pada saat sesi interogasi.
Laporan mengungkapkan bahwa para tahanan yang ditahan di pusat penahanan di teluk Guantanamo dipaksa untuk meminum obat-obatan atau dipaksa disuntik yang substansinya tidak diketahui dengan jelas yang menyebabkan berubahnya pikiran atau melemahnya mental sang tahanan.
“Beberapa tahanan menerima obat berkelanjutan dengan obat-obatan psikoakitf yang dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk memberikan informasi akurat,” kata laporan itu.
Jenderal Pentagon menyatakan bahwa, “sekarang dalam catatan medis kami menemukan setiap bukti dari obat-obatan yang mengubah pikiran yang diberikan untuk tujuan interogasi.”
Laporan itu juga mengungkapkan bahwa banyak tahanan yang diberikan obat penenang antipsikotik yang disebut Haldol, yang biasanya digunakan di rumah sakit jiwa dan ruang gawat darurat.
Haldol, yang pertama kali dipasarkan pada tahun 1960-an, memiliki banyak efek samping termasuk depresi, kontraksi otot, hingga perilaku bunuh diri. Produk ini dapat menyebabkan gangguan gerak jika dikonsumsi berkelanjutan, yang dapat menyebabkan serangan jantung hingga kematian.
Salah satu kasus yang terjadi, menimpa salah seorang tahanan (yang tidak disebutkan namanya), ia mengatakan kepada inspektur jenderal itu bahwa ia pernah diberi pil biru pada saat ia dikirim ke Guantanamo dari Afghanistan pada 2002 lalu. Pada saat itu ia diberitahu bahwa pil itu hanyalah permen biasa, tetapi setelah ia memakannya ia merasakan pusing dan masuk dalam kondisi ‘fly’ selama beberapa hari.
Hal tersebut telah membuat tubuh para tahanan mederita sakit dan bisa menyebabkan psikosis berat jika dilakukan terus-menerus, secara medis.
Perlu diketahui, bahwa ternyata metode semacam ini juga dilakukan terhadap para tahanan -yang dipenjara oleh teroris AS- di Irak dan Afghanistan.
Metode ini telah meragukan banyak pihak terkait apakah informasi yang didapat dari tahanan benar-benar akurat atau tidak, sedang para tahanan diinterogasi dalam keadaan terpengaruh obat-obatan yang dicekoki.
Namun, Shayanan Kadidal, dari Center for Constitutional Rights, mengatakan bahwa dibawah sistem yang dibentuk oleh Pengadilan Banding AS untuk Distrik Columbia, pernyataaan para tahanan melalui metode semacam ini akan dianggap akurat, bahkan jika tahanan meminum obat-obatan saat diintrogasi, jika informasi yang dihasilkan dapat ‘diandalkan’. (siraaj/arrahamh.com)