JAKARTA (Arrahmah.com) – Amir Jamaah Ansharut Tauhid Ustadz Abu Bakar Baasyir kembali meluncurkan karyanya berjudul Tadzkiroh II. Buku ini adalah lanjutan Tadzkiroh I, yang ia tulis semasa menjalani masa penahanan di Rumah Tahanan Bareskrim, Mabes Polri.
Buku tadzkiroh ini, merupakan buku peringatan dan nasehat Amir JAT itu kepada para pengemban jabatan dan kekuasan di NKRI agar mau meninggalkan hukum kufur buatan manusia yang dapat menjerumuskan mereka kepada kekafiran dan ancaman siksa pedih di akhirat.
Buku bersampul hijau setebal 176 halaman ini secara garis besar berisi peringatan dengan menyertakan firman Allah SWT yang ditujukan untuk Ketua MPR/DPR dan penyelenggara negara yang thagut bidang hukum dan pertahanan yang mengaku Muslim.
Peluncuran buku dilakukan bersama dengan bedah buku tersebut yang menghadirkan, beberapa pembicara diantaranya Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Dr. Irfan Idris, Ustadz Muhammad Achwan (Amir Binniyabah JAT), Ustadz Abu Fida, dan Harits Abu Ulya di Taman Ismail Marzuki (TIM, Jakarta, Minggu (6/1/2013).
Ustadz Baasyir yang kini menjalani masa tahanannya di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, menasihati mereka agar tidak lagi mempertahankan sistem pemerintahan kafir dan tegaknya hukum-hukum jahiliyah sebelum maut menjemput.
“Mereka harus menuntut penguasa agar mengubah dasar negara dan hukum positif NKRI dengan syariat Islam secara kaffah,” begitu ucap Ustadz Baasyir seperti tertulis dalam kata pengantarnya halaman sembilan, yang ia tulis pada 16 Maret 2012 di rutan Bareskrim.
Menurutnya, jika penguasa menolak, mereka harus bekerjasama dengan umat Islam mengadakan revolusi sampai NKRI benar-benar diatur dengan syariat Islam secara menyeluruh, dengan alasan ini termasuk hak asasi dan keyakinan umat yang tak boleh ditawar.
“Bila tak mampu bertaubat dengan langkah di atas, maka semua pimpinan dan anggota MPR/DPR wajib melepaskan jabatan, juga semua aparat thagut di bidang hukum dan pertahanan wajib melepaskan jabatannya dalam pemerintahan thagut,” tambahnya.
Ustadz Baasyir juga meminta kepada istri-istri mereka agar menasehati suaminya agar bertaubat melepaskan jabatan di MPR/DPR dan instansi lainnya. Bila suaminya menolak, istrinya harus pergi melepaskan diri dari suaminya karena pernikahannya batal. Karena menurutnya, pernikahan mereka batal karena suaminya kafir.
Sementara itu, salah satu pembicara Ustadz Muhammad Achwan menjelaskan bahwa Ustadz Abu Bakar Ba’asyir memang selalu memberikan tadkiroh jilid 1 dan 2 kepada jajaran kepolisian, polri, koramil polsek dengan tujuan memberikan pencerahan kepada mereka terhadap negara yang sudah amburadul.Tapi, karena adanya kepentingan tertentu, menurut Ustadz Achwan, mereka tidak fair terhadap umat islam yang menginginkan pencerahan.
“Ustadz Abu tidak mempermasalahkan apa nama negara ini, yang penting syariat Islam ditegakkan,” jelas Amir Binniyabah JAT ini dalam press conference kepada awak media.
Perlawanan
Sedangkan, pembicara lainnya menjelaskan bahwa vonis kafir atau pengkafiran yang banyak diulas dalam buku tersebut dan diarahkan kepada pihak-pihak yang enggan berhukum dengan hukum Allah atau kepada para thoghut dan penolongnya (anshor). Pada substansinya merupakan bentuk seruan perlawanan atas kezaliman yang mereka sebarkan.
“Jadi takfir (vonis kafir) itu pada hakikatnya merupakan perlawanan, perlawanan terhadap thoghut yang akan bertindak diktator. Dan, perlawanan ini merupakan ibadah walaupun terkadang dianggap tidak masuk akal, karena sebagian ibadah tidak semuanya masuk akal,” ungkap Ustadz Abu Fida.
Mubaligh yang juga lulusan Univ. Ummul Qurra’ ini melanjutkan, bahwa pengkufuran terhadap thoghut itu merupakan prinsip utama di dalam tauhid yaitu seperti termaktub dalam ayat fa man yakfur biththoghut wa yu’min billah (Barang siapa mengkufuri thoghut, dia telah beriman kepada Allah).
“Inti iman itu ada dua, al kufru bith thoghut, al iman billah” jelasnya.
Sedangkan, Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya menilai buku itu sudah cukup ilmiyah dan sesuai dengan Fatwa MUI tentang larangan Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme. Meskipun ia menyayangkan MUI membahas dalam fatwa tersebut hingga kepada status NKRI.
“Saya sayangkan fatwa tersebut tidak meningkatkan pembahasan manathul Hukmi , apakah negara ini sekuler dan juga diharamkan,” ujarnya.
Harits pun, memberi masukan terhadap buku tersebut, agar memasukkan juga kepala Badan Intelijen sebagai sasaran seruan tersebut. Karena, dalam sejarahnya Intelijen mempunya peran besar dalam merusak negeri ini. Selain itu, buku tersebut menurutnya berpeluang dijadikan sasaran dramatisasi oleh BNPT untuk melegitimasi pemberangusan gerakan dakwah dan jihad bahwa ustadz Ba’asyir telah menyerukan Jihad kepada negeri ini dengan hukumnya yang fardhu ‘ain.
“Padahal, seruan itu bersifat umum, dan tidak berkait dengan jama’ah. Seruan itu implementasinya itu diserahkan kepada umat dalam bentuk dan kemampuan sendiri-sendiri,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, pada hakikatnya buku tersebut bentuk kasih sayang ustadz Ba’asyir kepada para pengemban negara agar dapat selamat di dunia dan akhirat.
BNPT batal hadir
Sementara itu pula, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) Prof.Irfan Idris, urung menghadirkan acara bedah buku tersebut. Sehari sebelumnya, ia beralasan sedang sakit. Atas ketidak hadirannya, ia mengirimkan penggantinya yaitu Muslih Nasohah anggota MUI Bidang Dakwah Khusus yang juga Dosen UIN Lampung.
Tak Pelak, ketidak hadiran Irfan Idris disayangkan oleh pembicara dan peserta yang hadir. Karena, mereka tidak dapat berdiskusi langsung dengan lembaga yang kerap kali menuding ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan JAT terlibat dalam jaringan teroris.
Salah satu peserta seorang dosen Univ Ibnu Khaldun DR.Poppi Pasaribu, mempersoalkan sosok pengganti Irfan Idris tersebut. Menurutnya, kehadiran pengganti itu tidak layak dan menyalahi disposisi.
“Seharusnya prof Irfan mengirim pejabat eselon dua atau tiga dari BNPT bukan dari MUI. Jadi, menurut saya kehadiran pak Muslih tidak legal berada dalam forum ini, pertanyaannya mengapa mau menjadi alat dalam posisi yang salah ini,” tandasnya
Sebelumnya, secara halus Muslih mengkritisi buku tadzkiroh tersebut kurang ilmiyah karena terlalu banyak menaruh lampiran dan ia mengklaim perlu diberi masuka agar tidak dilecehkan ketika buku itu berada dimasyarakat.
Harits Abu Ulya pun membantah bahwa buku tersebut tidak ilmiyah. Menurutnya ketidak ilmiyahan buku seringkali tergantung paradigma yang membacanya.
“kalau orang-orang sekuler melihat pencantuman ayat Qur’an dan hadis mereka mengatakan buku tersebut tidak ilmiyah, mereka mau mengatakan buku tersebut ilmiyah jika terdapat kutipan kata-kata sarjana barat atau pun filosof barat” imbuhnya. (bilal/arrahmah.com)