Oleh Irfan S Awwas
(Ketua Lajnah Tanfidziah Majelis Mujahidin)
(Arrahmah.com) – Peristiwa Monas 212, yang terpaksa dikunjungi Presiden Jokowi pada penutup acara, memang spektakuler. Namun demikian, sebagai tadabur dan bahan analisis, setidaknya ada dua hal yang patut diperhatikan.
Pertama, kita patut bangga dan bersyukur pada Allah. Bukan hal mudah mengumpulkan 7,5 juta umat Islam di satu tempat pada waktu yang sama dan untuk kepentingan yang sama. Tapi hal itu benar benar terjadi pada acara bela Islam lawan penista Alqur’an di Monas 2 Desember 2016, yang dipuncaki dengan khutbah Jum’at Dr. Habib Rizieq Syihab, Lc. MA yang membahana ke seantero dunia.
Kedua, mengandalkan jumlah banyak untuk meraih kemenangan ternyata belum cukup. Diperlukan, selain arus massa yang besar bagai gelombang dahsyat, juga perlu ilmu, strategi perjuangan, dan jihad yang disiplin.
Firman Allah: “Wahai kaum mukmin, berjihadlah kalian dengan sungguh-sungguh untuk membela Islam. Allah akan menguji kalian. Allah tidak membuat syariat agama yang memberatkan kalian…” (Qs. Alhaj, 22:78)
Massa besar untuk presure rezim penguasa, bahkan mampu “memaksa” kehadiran Presiden, Wapres, Menkopolhukam, sekalipun tidak diundang, memang membanggakan. Tapi tujuan demo sejak awal adalah menghukum Ahok si penista Alqur’an dan tidak menjadikan orang kafir sebagai pemimpin di tengah masyarakat mayoritas muslim. Itulah prinsip dan isi Almaidah 51. Tapi sampai sekarang Ahok belum ditahan.
7,5 juta massa umat Islam yang berkumpul di Monas, bagai film kolosal terbesar sepanjang abad. Belum pernah sejarah umat manusia, baik muslim maupun kafir, mampu menggiring massa sedahsyat itu, berkumpul disatu tempat tanpa paksaan, tanpa dibayar, tanpa koordinasi. Spektakuler!
Akan tetapi massa sebesar itu, bagaikan buih yang mudah disapu gelombang. Sabda Nabi Saw. “Akan datang suatu masa, jumlah umat Islam banyak tapi bagaikan buih…”
Mengapa? Karena kepemimpinan negara tidak berada dalam otoritas umat Islam. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif didominasi oleh mereka yang berseberangan dengan jiwa dan semangat Islam. Sementara orang kafir, munafik dan pendukungnya terus berambisi menjadi pemimpin untuk mengendalikan umat Islam.
Pertanyaanya, apakah perbuatan menista Alqur’an seperti yang dilakukan Ahok sebuah kejahatan? Faktanya dia dijadikan tersangka pidana penistaan. Lalu, mengapa seorang penjahat boleh menjadi gubernur? Apakah Indonesia adalah negaranya para penjahat?
Seorang pemimpin yang memosisikan dirinya sebagai musuh rakyat, dengan menista agama rakyatnya, maka pemimpin tersebut tidak berhak lagi memimpin rakyat itu. Oleh karena itu, jika konsisten menjadi negara hukum, maka kejaksaan harus menangkap tersangka Ahok dan KPU harus membatalkan pencalonan Ahok sebagai cagub DKI Jakarta.
Sekedar himbauan, panitia aksi dari GNPF MUI penting untuk memikirkan strategi kedepan tanpa terjebak dengan eforia sesaat. Wallahu a’lam
(*/arrahmah.com)