MAKASSAR (Arrahmah.com) – “Ahli tafsir, Profesor HM Qurasih Shihab mengajak semua pihak menyudahi perdebatan terkait Sunni dan Syiah. Banyak persoalan yang lebih urgen untuk di bahas. ‘Sudahlah. Itu sudah usang. Perbedaan itu hanya dibuat-buat. Masih terlalu banyak persoalan besar yang mesti kita pikirkan’. Quraish menegaskan bahwa perbedaan antara Sunni dan Syiah hanya akan menghabiskan waktu dan tenaga. Intinya kata dia, boleh berbeda dalam hal mazhab, tetapi tidak dalam akidah Islam. ‘Ibarat jalanan, tujuan kita sama. Namun, untuk menuju ke sana ada banyak mobil yang harus melalui jalanan itu,’… Nabi Muhammad kata dia, tidak lagi bertanya, lima tambah lima sama dengan berapa. Namun yang dipertanyakan 10 itu berapa tambah berapa. Itu sebabnya terjadi perbedaan’.”
Paragraf di atas merupakan bagian berita berjudul “Quraish: Perdebatan Sunni Syiah Sudah Usang” di Harian Fajar, Sabtu (16/11/2013). Pernyataan tersebut di sampaikan pada acara diskusi bertema “Makna dan Urgensi Hijrah” yang digelar oleh DPP Ikatan Masjid Mushalla Indonesia (IMMIM) di jalan Jenderal Sudirman Makassar, Jumat (15 /11/2013).
Membaca berita itu, Ustad Said Shamad yang selama ini gencar mendakwahkan sesatnya Syiah yangf berkembang di Makassar sangat menyayangkan.
“Pernyataan Prof Quraish tersebut keliru dan bertentangan dengan pendapat dan pandangan Majelis Ulama Pusat yang dalam Kitab Himpunan Fatwa MUI dengan jelas menegaskan bahwa ajaran Syiah menyelisihi ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi anutan mayoritas masyarakat Indonesia,” tulis situs lppi.makassar.com
Ustad Said lantas mengutip Fatwa Majelis Ulama dengan terang, “MUI dalam Rakernas Jumadil Akhir 1414 H/Maret 1984 M, merekomendasikan tentang paham Syi’ah sebagai berikut: faham Syi’ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia.”
Perbedaan itu diantaranya : (a) Syi’ah menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait, sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan, asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu Mustalah Hadits; (b) Syi’ah memandang “Imam” itu ma’sum (orang suci), sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan); (c) Syi’ah tidak mengakui ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ ah mengakui ijma’ tanpa mensyarat-kan ikut sertanya “Imam”‘ (d) Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedang-kan Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi dakwah dan kepentingan ummat; (e) Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Shiddiq, Umar Ibnul Khaththab, dan Usman bin Affan, sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah mengakui keempat Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib)”.
Ketua LPPI Indonesia Timur itu juga mengutip kesimpulan pandangan MUI Pusat yang tertuang dalam “Himpunan Fatwa MUI: Jakarta, MUI Pusat, 2010, haaman 48-49″ terkait status Syiah, “Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (Pemerintahan)”, Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah.”
Membaca paparan tersebut, justru perbedaan aqidah itulah yang ada pada Sunni dan Syi’i. (azm/arrahmah.com)