Oleh: Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
Direktur Pesantren Tinggi Al-Islam, Pondok Gede, Bekasi.
Pengertian Syarat Dalam Jual Beli
(Arrahmah.com) – Syarat dalam jual beli adalah syarat yang disepakati oleh kedua pihak yang sedang melakukan akad jual beli, seperti sang pembeli mensyaratkan bahwa pembayarannya dicicil dan penjual meminta jaminan tertentu dari pembeli, atau si pembeli meminta untuk meminta waktu tiga hari untuk mempertimbangkan pembelian barang tertentu.
Perbedaan antara istilah: “Syarat dalam jual beli” dan “Syarat jual beli.”
Ada beberapa perbedaan antara dua istilah tersebut, diantaranya adalah :
Pertama: Syarat jual beli ditentukan oleh syariat Islam. Sedangkan syarat dalam jual beli yang menentukan adalah salah satu dari dua pihak yang melakukan transaksi.
Kedua: Syarat jual beli merupakan syarat sahnya suatu akad, berbeda dengan syarat dalam jual beli yang bukan merupakan syarat sahnya suatu akad tetapi hanya syarat yang mewajibkan salah satu dari dua pihak yang bertransaksi.
Ketiga: Syarat jual beli tidak bisa digugurkan, sedangkan syarat dalam jual beli bisa digugurkan menurut kesepakatan kedua belah pihak.
Keempat: Syarat jual beli semuanya benar dan berlaku, karena berasal dari syariah, berbeda dengan syarat dalam jual beli, yang sebagiannya sah dan sebagian lainnya tidak sah serta tidak berlaku, karena yang meletakkan adalah manusia yang bisa benar dan salah.(Ibnu al-Utsaimin, asy-Syarhu al-Mumti’ : 3/ 485 )
Macam-macam Syarat Dalam Jual Beli
Syarat dalam jual beli dibagi menjadi dua : Syarat yang sah dan syarat yang batil
Macam Pertama: Syarat Yang Sah
Al-Mardawaih di dalam Al-Inshof ( 4/ 245) membagi syarat dalam jual beli yang sah menjadi tiga macam :
-
Syarat yang sesuai dengan tujuan jual beli, seperti mensyaratkan bahwa barang harus bisa diambil, dan pembayaran harus tunai.
-
Syarat yang di dalamnya terdapat maslahat akad, seperti orang yang mensyaratkan untuk menjual barangnya dengan cara kredit, atau meminta jaminan dalam pembayarannya, atau pembeli mensyaratkan barangnya harus yang bagus.
-
Syarat tertentu yang bermanfaat bagi penjual atau pembeli, seperti seseorang menjual rumah dengan syarat ditempati terlebih dahulu selama sebulan. (lihat juga al-Bahuti dalam ar-Raudh al-Murabi’: 1/215)
Dalil kebolehan syarat-syarat di atas adalah hadist Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya :
بِعْنِيهِ بِأوقِيَّةٍ ، قُلْتُ: لَا، ثُمَّ قَالَ: بِعْنِيهِ فَبِعْتُهُ بأِوقِيَّةٍ, وَاشْتَرَطْتُ حُمْلَانَهُ إِلَى أَهْلِي
“Juallah untamu padaku dengan satu uqiyyah.” Aku berkata: ” Tidak”. Beliau bersabda lagi: “Juallah ia padaku”. Lalu aku menjualnya dengan satu uqiyyah, namun aku memberikan syarat agar unta itu membawa barang-barang yang di atasnya dahulu pada keluargaku. (HR. Bukhari dan Muslim)
Macam Kedua: Syarat Yang Batil
Syarat yang batil ini dibagi pula menjadi tiga macam :
Pertama: Syarat yang bertentangan dengan tujuan akad jual beli, seperti mensyaratkan adanya akad lain (sewa-penyewa atau akad utang piutang) dalam akad jual beli. Sebagai contoh, seseorang berkata : “Saya menjual rumah kepadamu dengan harga sekian tapi syaratnya kamu harus membeli mobil saya dengan harga sekian.”
Kedua: Syarat yang bertentangan dengan tujuan jual beli, tetapi tidak membatalkan akad, seperti seseorang yang menjual suatu barang dengan mensyaratkan agar tidak rugi dalam jual belinya, atau seseorang yang menjual mobil tetapi mensyaratkan kepada pembelinya agar tidak menjualnya atau memberikannya kepada orang lain.
Syarat-syarat di atas bertentangan dengan tujuan jual beli, karena seseorang yang sudah membeli barang dari orang lain, maka dia berhak memperlakukan barang tersebut sesuai dengan kehendaknya. Kalau hal itu disyaratkan oleh penjual, maka syarat itu adalah syarat yang batil.
Ini berdasarkan hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ , وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap syarat yang tidak terdapat di dalam Kitab Allah adalah batil, walaupun seratus syarat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga: Mensyaratkan jual beli dengan sesuatu yang belum terjadi. Syarat seperti ini batil dan jual belinya juga batil dan tidak sah. Seperti penjual mobil berkata : ” Saya jual mobil ini kepadamu jika bapak saya rela, atau saya jual mobil ini, jika saya pergi ke luar kota.”
Hukum Akad dalam Akad Lain
Para ulama sepakat bahwa tidak boleh seseorang membuat akad jual beli yang disyaratkan didalamnya pinjaman, atau sebaliknya tidak boleh meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan mensyaratkan adanya jual beli.
Larangan ini berdasarkan hadist Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutang, dan tidak halal dua syarat dalam satu transaksi, dan tidak halal keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta tidak halal menjual sesuatu yang bukan milikmu.”
(Berkata Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram (232) : Hadist diriwayatkan oleh al-Khomsah, dan disahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Huzaimah serta Hakim )
Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang syarat akad dalam akad selain jual beli yang disyaratkan pinjaman di dalamnya:
Pendapat Pertama: Tidak boleh sama sekali mensyaratkan suatu akad dalam akad lain. Ini pendapat mayorita ulama.
Tetapi mereka sendiri masih berbeda pendapat apakah syarat yang batil, akan mempengaruhi keabsahan akad?
Syekh Al-Bahuti salah satu ulama al-Hanabilah berpendapat bahwa jika syaratnya batil, maka akadnya secara otomatis juga batil.
Sedangkan riwayat lain dari madzhab Hanabilah mengatakan bahwa walaupun syaratnya batil, tetapi akadnya tetap sah, artinya syarat yang batil tidak mempengaruhi keabsahan suatu akad. Disini mereka membedakan antara akad dan syarat.
Dalilnya adalah hadist Barirah, ketika Aisyah ingin memerdekakan Barirah dari perbudakan dengan tebusan sejumlah uang, majikan Barirah tidak mengijinkannya, kecuali dengan syarat bahwa wala’nya untuk mereka. Syarat ini adalah batil, yang benar bahwa wala’nya untuk yang memerdekakannya, yaitu untuk Aisyah.
Karena mereka memaksakan syarat yang batil tersebut, maka Rasulullah menyarankan kepada Aisyah untuk menyetujui syarat yang batil tersebut, tetapi nantinya tidak dianggap, dan akadnya tetap sah. Beliau bersabda :
خُذِيهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ اَلْوَلَاءَ, فَإِنَّمَا اَلْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ , فَفَعَلَتْ عَائِشَةُ
“Ambillah dan berilah persyaratan wala’ itu kepada mereka, sebab wala’ itu hanya bagi orang yang memerdekakan.” Lalu Aisyah melakukan hal itu. (HR. Bukhari dan Muslim )
Pendapat kedua: Tidak boleh berkumpul tujuh akad lain dengan akad jual beli yang teringkas dalam kata: Jusho Musyniq (Ju’alah, Shorof, Musaqoh, Syirkah, Nikah, dan Qiradh).
Pendapat Ketiga: Dibolehkan mensyaratkan adanya akad dalam akad selama tidak menyebabkan adanya riba’ dan penipuan. Ini pendapat Malikiyah, Ibnu al-Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim.
Mereka beralasan bahwa pada asalnya suatu akad dan persyaratan adalah hal yang dibolehkan, kecuali apa yang telah diharamkan dalam syariat. Ini berdasarkan keumuman firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang beriman tunaikanlah janji-janjimu.” (QS. al-Maidah : 1)
Wallahu A’lam…
(ahmadzain.com/arrahmah.com)