(Arrahmah.com) – Yayasan Media At-Tahaya telah merilis sebuah khutbah penuh ilmu yang pernah disampaikan oleh Syaikh Yusuf Al-‘Uyairi Rahimahullah, seorang mujahid yang syahid, in syaa Allah, pada usia 30 tahun di tangan tentara thoghut Saudi pada hari Sabtu malam Ahad 30/3/1424 H di daerah Hail.
Syaikh Yusuf baru mengenyam pendidikan Madrasah Tsanawiyah (SLTA) selama tiga bulan saat beliau kemudian memutuskan untuk meninggalkan bangku sekolah dan pergi berjihad ke Afghanistan sebagai seorang pemuda yang perkasa sementara usianya saat itu belum lebih dari 18 tahun. Di sanalah akhirnya jihad berbaur dengan hatinya dan menguasai seluruh anggota badannya
Beliau merupakan seorang jenius dengan pandangan yang tajam dan hafalan yang kuat. Sehingga beliau mampu menjadi salah satu pelatih di Kamp Al-Faruq pada masa perang Afghanistan pertama melawan Uni Soviet.
Ketika terjadi pertikaian antar kelompok jihad Afghan, Syaikh Yusuf adalah penjaga pribadi Syaikh Usamah bin Ladin Rahimahullah. Kemudian tatkala Syaikh Usamah memutuskan untuk pergi ke Sudan dengan menggunakan sebuah pesawat, Syaikh Yusuf termasuk salah seorang petinggi Al-Qaeda yang menyertai Syaikh Usamah. Di sana Syaikh Yusuf tinggal selama empat bulan, dan selama itu pula beliau menjadi pengawal pribadi Syaikh Usamah.
Dalam khutbah berjudul “Pertemuan dengan Syaikh Yusuf Al ‘Uyairi Rahimahullah” yang tersebar di internet setelah serangan penuh berkah 11 September 2001 ini, Syaikh Yusuf dengan tegas memaparkan kepada kaum muslimin di seluruh dunia bahwa jihad pada zaman kita ini adalah fardhu ‘ain dan bukan fardhu kifayah. Berikut khutbah lengkap beliau tersebut yang diterjemahkan oleh tim Muqawamah Media pada Kamis (25/9/2014).
***
YAYASAN MEDIA AT-TAHAYA
Mempersembahkan Khutbah yang Berjudul :
JIHAD PADA HARI INI ADALAH FARDHU ‘AIN
Oleh : Syaikh Yusuf Al ‘Uyairi – Rahimahullah –
Wahai saudara-saudara, wahai kaum muslimin, sungguh pada hari ini saya sangat terhenyak, pada saat umat Islam mengalami bermacam-macam jenis penghinaan dan cacian yang tidak terhitung jumlahnya, tiba-tiba ada sebuah kelompok yang maju ke depan untuk mengingkari pernyataan bahwa jihad pada zaman kita ini adalah fardhu ‘ain bukan fardhu kifayah.
Sungguh aneh orang-orang yang mengingkari perkataan ini dan mengingkari status fardhu ‘ain-nya jihad pada saat orang-orang yahudi dan nashara beserta para pembantu mereka dari kalangan agama-agama kufur menggunakan pedangnya untuk membinasakan umat Islam secara semena-mena. Maka saya ingin bertanya kepada orang-orang yang mengingkari tersebut: Kapankah jihad menjadi fardhu ‘ain menurut kalian, apakah setelah kehinaan ini ada kehinaan lagi? Atau apakah setelah kerendahan ini ada kerendahan lagi? Jika jihad pada zaman kita ini bukan fardhu ‘ain, maka kapan jihad itu akan menjadi fardhu ‘ain?
Sesungguhnya orang-orang yang menolak hukum fardhu ‘ain-nya jihad atas umat, mereka mengingkarinya dengan tidak bersandar kepada firman Allah, sekali-kali tidak! Tidak juga kepada sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, dan juga tidak kepada perkataan para imam, melainkan pengingkaran mereka ini didasari karena faktor-faktor lainnya yang menjadikan mereka mengingkari status fardhu ‘ain-nya jihad. Faktor-faktor ini bisa jadi karena ketidaktahuan akan landasan jihad, atau ketidaktahuan akan sebab-sebab ia disyariatkan, atau bisa jadi yang mendorong mereka adalah cinta dunia dan takut mati sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam!
Apabila orang-orang yang mengingkari itu mengkaji kitab dan sunnah secara sekilas, dan perkataan para ulama mengenai hukum jihad, maka pastilah jelas bagi mereka bahwa jihad adalah fardhu ‘ain pada zaman kita ini, kepada seluruh orang yang mampu untuk melaksanakannya di seluruh wilayah kaum muslimin yang dikuasai oleh musuh. Semoga hidung para qaidun (orang yang duduk-duduk tidak mau berjihad,-red) dan para pengecut memerah karena perkataan ini, akan tetapi saya akan mengedepankan perkataan para ulama, agar saya dapat menjelaskan kepada mereka bahwa saya tidak berbicara tentang hukum ini dari pendapat pribadi saya! Akan tetapi saya berbicara berdasarkan kitab dan sunnah serta perkataan para salaf yang dianggap sebagai ijma’.
Ketahuilah wahai saudaraku – semoga Allah menerangi hatimu – bahwa para ulama bersepakat bahwa jihad pada awalnya disyariatkan oleh Allah sebagai fardhu kifayah, jika orang yang melaksanakannya sudah cukup untuk membalas serangan musuh dan menyebarkan agama, maka kewajibannya gugur bagi orang-orang selain mereka. Para ulama juga bersepakat bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang yang mampu melaksanakannya dalam tiga keadaan:
Keadaan pertama: Jika imam meminta kaum muslimin atau sekelompok orang dari mereka untuk berangkat berjihad melawan musuh, maka wajib bagi mereka untuk berangkat dan hukumnya wajib bagi setiap orang yang mampu, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى ٱلۡأَرۡضِۚ أَرَضِيتُم بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا مِنَ ٱلۡأٓخِرَةِۚ فَمَا مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ ٣٨ إِلَّا تَنفِرُواْ يُعَذِّبۡكُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا وَيَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيۡٔٗاۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ٣٩
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [QS. At Taubah: 38-39]
Imam Al-Jashash berkata mengenai maksud dari ayat ini: “Secara lahiriah ayat ini menyatakan bahwa wajib hukumnya untuk berangkat berperang jika memang diminta untuk berangkat”.
Allah Ta’ala berfirman:
قُل لِّلۡمُخَلَّفِينَ مِنَ ٱلۡأَعۡرَابِ سَتُدۡعَوۡنَ إِلَىٰ قَوۡمٍ أُوْلِي بَأۡسٖ شَدِيدٖ تُقَٰتِلُونَهُمۡ أَوۡ يُسۡلِمُونَۖ فَإِن تُطِيعُواْ يُؤۡتِكُمُ ٱللَّهُ أَجۡرًا حَسَنٗاۖ وَإِن تَتَوَلَّوۡاْ كَمَا تَوَلَّيۡتُم مِّن قَبۡلُ يُعَذِّبۡكُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا ١٦
“Katakanlah kepada orang-orang Badwi yang tertinggal: ‘Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Maka jika kamu patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan memberikan kepadamu pahala yang baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah berpaling sebelumnya, niscaya Dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih.'” [QS. Al Fath: 16]
Dan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam:
لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
“Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, namun yang ada hanyalah jihad & niat (yang baik -pent). Dan apabila kalian diminta untuk pergi berperang, maka pergilah kalian ke medan perang.” [HR. Muslim No.3468]
Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari: “Di dalamnya ada ketentuan akan wajibnya keluar berperang bagi yang ditunjuk oleh imam.”
Imma Asy-Syaukani berkata: “Wajib bagi orang yang diperintahkan untuk berangkat berperang oleh imam untuk berangkat berperang, hukumnya fardhu ‘ain bagi untuk melakukan itu; karenanya Allah mengancam siapa saja yang tidak berangkat berperang bersama Rasulullah dalam firman-Nya: ‘Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang)’, dan mengenai perintah imam untuk berangkat berperang, maka ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: ‘Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.'”
Keadaan kedua yang dikatakan oleh para ulama dapat menjadikan jihad hukumnya fardhu ‘ain adalah apabila seorang hamba telah bergabung di dalam barisan, maksudnya jika ia telah berhadapan dengan perang, maka ia diharamkan untuk meninggalkan jihad, karena hukumnya fardhu ‘ain baginya sesuai dengan firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ زَحۡفٗا فَلَا تُوَلُّوهُمُ ٱلۡأَدۡبَارَ ١٥ وَمَن يُوَلِّهِمۡ يَوۡمَئِذٖ دُبُرَهُۥٓ إِلَّا مُتَحَرِّفٗا لِّقِتَالٍ أَوۡ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٖ فَقَدۡ بَآءَ بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأۡوَىٰهُ جَهَنَّمُۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ ١٦
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” [QS. Al Anfal: 15-16]
Dan firman-Nya Ta’ala:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا لَقِيتُمۡ فِئَةٗ فَٱثۡبُتُواْ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٤٥
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” [QS. Al Anfal: 45]
Dan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seperti yang tercantum di dalam Ash Shahihaini dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hendaklah kalian menghindari tujuh dosa yang dapat menyebabkan kebinasaan,” lalu beliau menyebutkannya, salah satunya adalah: “lari dari medan pertempuran”.
Ibnu Qudamah berkata: “Apabila dua pasukan bertemu di medan perang, maka diharamkan bagi pasukan yang hadir untuk berpaling (melarikan diri). Ia harus tetap ada di tempatnya untuk berperang, berdasarkan firman Allah Ta’ala: ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya’ [Al Anfal : 45]. Dan juga firman-Nya Ta’ala: ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)’. [Al Anfal: 15]”
Keadaan ketiga yang membuat hukum jihad menjadi fardhu ‘ain adalah apabila musuh menjajah sebuah negeri dari negeri-negeri kaum muslimin, atau mengerahkan pasukannya untuk menjajahnya, atau melancarkan penyerangan terhadapnya, atau hendak menimpakan keburukan dan menyerang penduduknya baik itu sekelompok atau individu dari mereka, dengan cara melakukan penawanan, membunuh, mengintimidasi, menghina agama, menghalangi jalan Allah, dan apa saja yang serupa dengan itu, maka hukum jihad menjadi fardhu ‘ain, dan wajib hukumnya untuk berangkat berperang melawan musuh.
Keadaan-keadaan inilah yang selalu dialami oleh umat Islam sejak pertengahan abad ke-6 Hijriyah, dimulai sejak jatuhnya Andalusia hingga saat ini, yaitu musuh menyerbu kebanyakan negeri-negeri kaum muslimin dan kewajiban itu dibuktikan dengan keadaan masjid Al-Aqsha yang diinjak-injak oleh Yahudi, saudaranya kera dan babi. Maka demi Allah, wahai orang-orang yang mengingkari bahwa jihad hukumnya fardhu ‘ain, apakah kalian tidak melihat bahwa tempat isra’ Nabi kita dikuasai oleh makhluk Allah yang paling buruk? Atau apakah permasalahan Palestina ini bagi kalian tidak ada artinya?
Saya akan mengedepankan sejumlah perkataan para ulama, semoga Allah menyinari jalan kami dan kalian, dan menunjuki kita semua ke jalan yang lurus.
Syaikhul Islam berkata: “Perang defensif merupakan bentuk perang melawan agresor yang menyerang kehormatan dan agama yang paling wajib, hukumnya wajib berdasar ijma’. Musuh yang menyerang yang merusak dien dan dunia tidak ada kewajiban yang lebih penting setelah beriman selain melawannya. Maka tidak dipersyaratkan adanya syarat apapun, tetapi dilawan sesuai kemampuan yang ada dan ini sudah ditegaskan oleh para ulama madzhab kami dan madzhab lainnya.”
“Apabila musuh memasuki negeri-negeri Islam maka tidak ragu bahwasanya wajib melawannya atas penduduk yang terdekat lalu yang terdekat, karena negeri-negeri Islam semuanya berposisi sebagai negeri yang satu, dan ia wajib untuk berangkat berperang ke sana tanpa harus meminta izin kepada orangtua dan orang yang dihutangi, dan nash-nash Ahmad (Imam Ahmad) tegas dalam hal ini.”
Maka negeri-negeri kaum muslimin seluruhnya bagaikan sebuah negeri yang satu.
Al Qurthubi – Rahimahullah – berkata: “Jika jihad menjadi fardhu ‘ain dengan menguasainya musuh terhadap salah satu negeri atau mendatangi suatu kota. Jika seperti ini keadaannya, maka bagi semua penduduk negeri itu wajib untuk perang dan keluar melawannya baik dalam keadaan ringan maupun berat, muda atau tua, semuanya sesuai kemampuan yang ia miliki, baik yang mempunyai bapak – tanpa harus izin – ataupun yang tidak memiliki bapak, tidak boleh seorangpun yang mampu berperang untuk absen, baik sedikit atau banyak. Jika penduduk negeri itu tidak mampu menundukkan musuh mereka, bagi orang yang dekat dan bertetangga dengan mereka harus keluar sesuai kebutuhan penduduk negeri tersebut sampai diketahui bahwa mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk menundukkan dan melawan musuhnya. Demikian juga dengan orang yang mengerti bahwa mereka lemah untuk menghadapi musuh serta tahu dirinya bisa menyusul dan membantu mereka, ia juga harus keluar. Jadi kaum muslimin semuanya adalah penolong bagi yang lain. Hingga apabila penduduk suatu daerah telah berhasil mengusir musuh yang menduduki dan menjajahnya, kewajiban ini gugur dari yang lain. Dan jika musuh mendekati negeri Islam meski tidak sampai memasukinya, mereka tetap harus keluar melawannya sehingga agama Alloh menang, daerah terlindungi, kekuasaan terjaga, dan musuh menjadi hina. Dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.”
Ibnu Abdil Barr – Rahimahullah – berkata: “Jihad hukumnya fardhu ‘ain secara umum atas setiap orang Islam yang mampu melakukan perlawanan, peperangan dan memanggul senjata dari kalangan orang-orang Islam yang sudah akil baligh yang bukan budak (hamba sahaya). Ini manakala musuh memerangi dan menguasai negara Islam. Jika demikian halnya, maka wajib bagi seluruh penduduk negara Islam tersebut untuk berperang; baik dalam keadaan ringan maupun dalam keadaan berat, anak-anak muda maupun orang yang sudah tua. Tidak boleh ada orang Islam yang tidak ikut berperang, baik dia orang kaya maupun orang miskin. Jika penduduk negara Islam itu tidak mampu mengusir musuh Islam, maka penduduk negara yang berdekatan dan bertetangga (baik mereka sedikit maupun banyak) wajib ikut mengusir musuh Islam dari negara Islam tersebut, sampai mereka diketahui mampu menahan dan mengusir musuh Islam. Demikian juga setiap orang yang mengetahui bahwa penduduk negara Islam yang diserang tersebut lemah dan tak sanggup mengusir musuh Islam, dan dia tahu bahwa dia bisa bergabung dan membantu mereka, maka wajib baginya keluar berperang, karena umat Islam adalah satu tangan (kesatuan) dalam menghadapi musuh Islam. Jika penduduk negara Islam yang diserang oleh musuh Islam berhasil mengusir musuh Islam, maka barulah kewajiban (untuk memerangi musuh Islam) gugur atas kaum muslimin yang lain. Seandainya musuh Islam bergerak mendekati Darul Islam (Negeri Islam) namun mereka belum masuk untuk menyerbu Darul Islam (negeri Islam), maka kaum muslimin tetap wajib mengusir mereka (musuh Islam)!”
Syaikhul Islam berkata: “Barangsiapa yang tak mampu berjihad dengan badannya – maksudnya jika hukum jihad menjadi fardhu ‘ain – sedang dia mampu berjihad dengan hartanya maka wajib baginya berjihad dengan hartanya. Maka wajib bagi orang-orang kaya (mampu) untuk berinfak di jalan Allah, dan untuk inilah: maka wajib bagi para wanita berjihad dengan harta mereka jika mereka memiliki kelebihan, begitu juga pada harta anak kecil jika dibutuhkan, maka (hukumnya) sebagaimana infaq dan zakat. Adapun apabila musuh sudah menyerang maka tak ada perselisihan sama sekali, karena sesungguhnya mencegah bahaya mereka terhadap Diin, jiwa dan kesucian adalah wajib secara ijma’. Maka dari itu saya katakan: jika harta tidak mencukupi untuk memberi makan kepada orang-orang yang lapar dan jihad yang akan timbul bahaya jika ia ditinggalkan, maka kita mengedepankan jihad walaupun orang yang kelaparan itu meninggal dunia.”
Imam An-Nawawi berkata: “Para ulama madzhab kami berkata; Jihad pada hari ini hukumnya fadhu kifayah, kecuali orang-orang kafir mendatangi negeri kaum muslimin, maka mereka semua wajib untuk berjihad. Jika penduduk negeri tersebut tidak mampu melaksanakannya, maka penduduk negeri lainnya wajib menyempurnakan pelaksanaannya.”
Di dalam mukhtashar Al-Khiraqi dikatakan: “Wajib bagi setiap orang apabila musuh datang untuk berangkat berjihad, baik yang tidak mampu di antara mereka maupun yang mampu.”
Ibnu Qudamah berkata: “Perkataannya: Baik yang tidak mampu di antara mereka maupun yang mampu maksudnya adalah orang yang kaya dan miskin, artinya adalah bahwa berangkat berperang menjadi kewajiban yang menyeluruh kepada seluruh orang, yang memiliki keahlian dalam berperang ketika mereka dibutuhkan untuk berangkat berjihad karena musuh mendatangi mereka. Tidak ada seorangpun yang boleh tertinggal kecuali ia dibutuhkan untuk menjaga tempat, keluarga dan harta.”
Ibnu Nuhas berkata: “Apabila orang-orang kafir memasuki sebuah negeri milik kita atau berniat untuk menyerangnya, dan jumlah mereka sama dengan jumlah penduduk negeri itu, atau lebih sedikit dari mereka, maka ketika itu jihad menjadi fardhu ‘ain, seorang hamba boleh pergi berjihad tanpa seizin dari tuannya, istri tanpa seizin suaminya, begitu juga seorang anak boleh pergi berjihad tanpa seizin dari kedua orang tuanya, orang yang berhutang tanpa seizin dari orang yang dihutangi, ini semua disepakati oleh madzhab Maliki, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal.”
Terdapat banyak perkataan para ulama yang menetapkan permasalahan ini, saya telah menyebutkan di antara perkataan para ulama yang telah saya nukilkan tadi, yang itu sudah menjadi ijma’. Jadi permasalahannya jelas seperti matahari yang terlihat di tengah hari, dan kami tidak menambahkan satupun perkataan dari yang mereka katakan, namun kami ingin berkata bahwa kebanyakan negeri-negeri kaum muslimin telah diserang oleh musuh pada zaman kita ini, lihatlah Andalusia yang di dalamnya Islam pernah dipelajari dan berkuasa selama kurun waktu tertentu di wilayahnya.
Lihatlah Palestina yang menjadi saksi atas penghancuran musuh terhadap negeri kaum muslimin, orang yahudi berkuasa terhadap kaum muslimin, menjajah tanah mereka, merampas kehormatan, melecehkan para wanita, membuat anak-anaknya menjadi yatim, membuat para wanitanya menjadi janda, mengusir kaum muslimin, memberantas para pemudanya dengan cara dibunuh dan ditangkap, dan menghinakan para lansia serta menindas mereka.
Jika engkau mengalihkan penglihatanmu ke Chechnya, maka engkau akan menyaksikan penderitaan yang berlipat-lipat dari apa yang dialami oleh kaum muslimin di Palestina, karena mereka dibunuh secara massal dan personal.
Begitu juga di Dagestan, di negeri yang berada di belakang sungai, di Turkistan Timur, di Burma, di Kashmir, di Filipina, di Indonesia, di Eritria, di Somalia, di Nigeria, di Sierra Leone, di Macedonia, di Albania, di Kosovo, di Bulgaria, di Rumania, di Afghanistan, dan di banyak tempat di seluruh dunia orang Islam dihinakan atau dibunuh, wanita muslimah diperkosa, lahan dan harta kaum muslimin dirampas, secara keseluruhannya adalah bahwa darah mereka adalah darah yang murah dan paling hina! Roda kebencian salibis dan yahudi berjalan untuk melindas kepala kaum muslimin di berbagai tempat, kaum muslimin yang pada hari ini masih merasakan aman, maka esok tanah, kehormatan, harta dan jiwa mereka akan direnggut, beginilah kita sampai kita mau meninggalkan sikap pengecut dan cinta dunia serta takut mati, lalu kita bangkit untuk mengibarkan panji jihad; jihad untuk menghentikan laju roda kebencian salibis yang terus melindas kita, dan mendobrak benteng-benteng kekufuran serta menghinakan mereka sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita.
Kemudian kami katakan kepada kalian wahai orang-orang yang mengingkari bahwa jihad hukumnya fardhu ‘ain, jikalau jihad itu ditujukan untuk membasmi kehinaan, maka sudah cukup baginya untuk menjadi amalan yang wajib, dan kalaulah kami berpendapat seperti pendapat kalian – meskipun besarnya dosa kalian terhadap hak umat Islam – dan berkata dengan perkataan kalian, bahwa jihad pada zaman kita adalah fardhu kifayah, maka katakanlah – demi Allah – apakah orang yang menegakkan jihad sudah memenuhi jumlah yang dibutuhkan oleh medan perang sehingga yang lain menjadi gugur kewajibannya?
Bukankah kita bersepakat bahwa jihad hukumnya adalah fadhu kifayah, yaitu jika belum ada yang melaksanakannya maka hukumnya masih fardhu ‘ain bagi orang yang tersisa? Jikalau jihad hukumnya masih fardhu kifayah dan tidak berubah menjadi fardhu ‘ain ketika musuh menyerang tanah kaum muslimin, maka tetap saja kami mengatakan bahwa hukumnya fardhu ‘ain, karena kelompok yang melaksanakannya di setiap medan perang masih belum cukup personil dan masih belum mampu menahan musuh.
Bukankah kalian telah mengatakan bahwa shalat ‘ied itu hukumnya fardhu kifayah? Yang jika penduduk suatu negeri tidak ada yang mengerjakannya maka semuanya berdosa?
Maka mengapa kalian tidak mengatakan seperti itu dalam urusan jihad yang kalian katakan bahwa statusnya adalah fardhu kifayah padahal belum ada sebagian orang yang mengerjakannya, maka bagaimana bisa kewajiban kalian dan umat yang lain menjadi gugur?
Begitu juga apabila kita juga mengatakan seperti perkataan kalian yang kejam bahwa sesungguhnya jihad pada hari ini adalah fardhu kifayah, maka sungguh kami akan katakan kepada kalian bahwa jumhur ulama mewajibkan jihad sekali dalam setahun – minimal – jika statusnya masih fardhu kifayah, maka apakah kalian dapat menyebutkan berapa jumlah peperangan yang dilancarkan terhadap negeri-negeri orang kafir pada zaman kita ini? Hingga kami dapat membenarkan kalian bahwa jihad statusnya fardhu kifayah!
Jika kalian berpura-pura buta terhadap nash-nash yang telah disebutkan tadi – dan masih banyak lagi yang semisalnya – maka ketahuilah bahwa perlakuan yang pantas kalian terima adalah seperti yang disebutkan di dalam fatwa Syaikhul Islam yang beliau sebutkan ketika menafsirkan Surat An-Nur, beliau berkata: “Intisari dari pengucilan itu adalah mengucilkan keburukan-keburukan beserta pelakunya, begitu juga mengucilkan orang yang mengajak kepada kebid’ahan, mengucilkan orang-orang yang fasik, dan mengucilkan siapa saja yang bergaul dengan mereka dan membantu mereka. Begitu juga orang yang meninggalkan jihad tanpa ada kepentingan karena meninggalkannya, maka mereka harus dihukum dengan cara dikucilkan dan tidak boleh dibantu dalam hal kebaikan dan ketaqwaan. Karena pezina, pelaku liwath, orang yang tidak berjihad, ahli bid’ah, peminum minuman keras; mereka semua beserta orang-orang yang bergaul dengan mereka adalah berbahaya bagi agama Islam, tidak boleh dibantu baik dalam hal kebaikan dan ketaqwaan. Sedangkan orang yang tidak mengucilkan mereka, maka ia adalah orang yang meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan”.
Lihatlah – semoga Allah menyinari hati kalian – bagaimana Syaikhul Islam memerintahkan untuk mengasingkan pelaku zina dan liwath (homo) serta orang yang meinggalkan jihad, bukan apa-apa! Kecuali karena status jihad pada zaman Syaikhul Islam adalah fardhu ‘ain, seiring Tartar menyerang negeri kaum muslimin, menjadi jelas bagi beliau bahwa berdasarkan ijma’, jihad pada zaman beliau telah berstatus fardhu ‘ain. Jadi barangsiapa yang meninggalkan kewajiban yang hukumnya fardhu ‘ain yang di dalamnya terkandung kemaslahatan bagi umat ini, maka ia diasingkan sebagaimana pelaku liwath diasingkan.
Kami meminta agar Allah menerangi hati kami dan juga kalian, dan mengembalikan kita ke dalam agama dengan kondisi yang baik.
Persepsi kita menjadi terbalik – wahai saudara-saudara sekalian –, manhaj kita juga terbalik, kita menuntut agar kita berkuasa sebagaimana para sahabat Ridhwanullahi Alaihim berkuasa di belahan bumi bagian timur dan barat, dan kita menginginkan hasil yang pernah dirasakan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, namun kita tidak mengerjakan amalan pendahuluan yang dapat membuahkan hasil sebagaimana yang diraih oleh mereka, maka sangatlah mustahil.
Apabila kita memerhatikan keadaan para sahabat Ridhwanullahi alaihim, maka kita akan mendapati bahwa dahulu para sahabat Radhiyallahu Anhum, pada zaman Nabi Shallallahu alaihi wasallam jihad itu statusnya bagi mereka adalah fardhu kifayah, dan statusnya tidak pernah berubah menjadi fardhu ‘ain kecuali pada tiga peperangan, kemudian pada era khulafa’ rasyidin Radhiyallahu Anhum, jihad tidak pernah berubah statusnya menjadi fardhu ‘ain, karena jihad yang ada pada masa mereka adalah jihad thalab, bukan jihad defensif, karenanya jihad pada zaman mereka statusnya adalah fardhu kifayah, meskipun seperti itu, namun para sahabat Ridhwanullahi alaihim saling berlomba-lomba untuk berangkar ke medan jihad, dan memenuhi pintu-pintunya. Para sahabat meninggalkan anak-anak mereka, harta mereka dan istri-istri mereka serta meninggalkan ladang-ladang mereka dan pekerjaan mereka, semua itu disebabkan mereka lebih memilih apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka mereka menyerahkan leher mereka untuk ditebas di jalan Allah agar kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menjulang tinggi.
Ketika para sahabat Ridhwanullahi alaihim mendatangi Bai’ah Aqabah, dan berkata kepada RasulullahShallallahu alaihi wasallam, “Apa yang kami dapatkan?”, beliau menjawab: “Bagi kalian Jannah”, maka mereka membai’at beliau dan berkata: “Kami tidak akan membatalkan dan tidak akan meminta untuk dibatalkan.”
Ketika bai’at yang pertama, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mendapati para sahabat beliau membai’at beliau, kemudian ketika mereka pergi ke Perang Badar, mereka berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam: “Laksanakanlah, dan kami akan berada di belakang engkau, jikalau engkau memerintahkan kami untuk terjun ke dalam lautan, niscaya kami akan terjun.”
Inilah respon dari para sahabat terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika berhadapan dengan musuh, inilah yang mereka lakukan ketika pertama kali mereka mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَۚ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَيَقۡتُلُونَ وَيُقۡتَلُونَۖ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh.” [QS. At-Taubah: 111], mereka langsung menyerahkan jiwa mereka kepada Allah. Mereka juga melakukan transaksi dan berdagang bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala setelah mendengar firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ ﴿١٠﴾
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?” [QS. Ash-Shaf: 10].
Mereka langsung mendapati bahwa perdagangan ini:
تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّـهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١١﴾
“(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [QS. Ash-Shaf: 11]
Mereka mendapati bahwa perdagangan ini merupakan perdagangan yang paling lama, maka mereka pun meninggalkan perdagangan dunia, harta mereka dan anak-anak mereka lalu bergegas menuju perdagangan tadi.
Ketika kita melihat kepada keadaan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang maju ke medan jihad, maka kita akan mendapati bahwa tidak ada yang terkecuali, besar maupun kecil, memiliki udzur ataupun tidak, semuanya berlomba-lomba untuk berjihad, bahkan para wanita sekalipun saling berlomba-lomba untuk berjihad. Aisyah Radhiyallahu Anha meminta kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, Asma’ binti Yazid bin As Sikkin juga meminta kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, semuanya meminta kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam untuk ditempatkan di dalam jihad, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengabarkan kepada mereka bahwa jihadnya mereka adalah haji dan umrah.
Begitu juga ketika kita melihat keadaan orang-orang yang memiliki udzur dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kita akan mendapatkan keadaan mereka seperti yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam Sunannya dan Ibnu Al Mubarak di dalam kitabnya (Al-Jihad), dari Amru bin Al-Jamuh, ia adalah seorang yang jalannya sangat pincang, dan dia memiliki 4 orang putra yang turut serta berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau mengadakan peperangan, maka ketika Perang Badar, Ibnu Al-Jamuh ingin berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia pun berkata kepada putra-putranya: “Bawa saya keluar,” mereka pun mengabarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menginformasikan mengenai keadaan ayah mereka dan keinginannya yang sangat kuat untuk pergi berperang bersama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengizinkannya untuk tetap berada di Madinah pada saat Perang Badar.
Ketika tiba masanya Perang Uhud, ia ingin keluar berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, namun dilarang oleh anak-anaknya, maka ia pun berkata: “Mustahil, kalian telah menghalangi surga bagi saya pada saat Perang Badar, lalu kalian ingin menghalanginya lagi pada Perang Uhud?”
Mereka tidak mengizinkan dirinya namun ia tetap keluar pada Perang Uhud meskipun kondisinya yang sangat pincang, ketika ia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengadukan kondisinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggugurkan kewajiban jihad darimu,” maka Amru bin Al-Jamuh berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak-anakku melarangku untuk keluar berperang bersamamu, demi Allah sesungguhnya saya berharap untuk mati syahid dan menginjakkan kaki saya yang pincang ini di surga.”
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada anak-anaknya: “Hendaknya kalian membiarkannya, barangkali Allah akan mengaruniakannya mati syahid”, ia pun keluar berperang bersama NabiyullahShallallahu ‘alaihi wasallam, ia didampingi oleh seorang budak miliknya, lalu ia berkata kepada budaknya yang bernama Sulaim itu: “Kembalilah kepada keluargamu,” maka si budak berkata: “Lebih baik saya bersamamu ketika engkau terluka pada hari ini – maksudnya syahid di jalan Allah”. Lalu si budak itu maju berperang hingga terbunuh, kemudian Amru bin Jamuh juga maju dan berperang hingga terbunuh juga.
Al-Baghawi juga menyebutkan bahwa An-Nu’man bin Qauqal berkata pada saat Perang Uhud: “Saya bersumpah kepada-Mu wahai Rabb, tidaklah matahari terbenam kecuali kaki saya yang pincang ini telah melangkah di taman surga”. Maka ia pun syahid pada hari itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Saya telah menyaksikannya berada di dalam surga.”
Lihatlah wahai saudara-saudara yang semoga dirahmati oleh Allah, bagaimana para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam saling berlomba-lomba padahal di antara mereka ada orang yang telah diizinkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk tidak ikut berperang), Allah berfirman mengenai mereka:
لَّيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَمَن يُطِعِ اللَّـهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَن يَتَوَلَّ يُعَذِّبْهُ عَذَابًا أَلِيمًا ﴿١٧﴾
“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang).” [QS. Al-Fath: 17]
Wahai saudaraku, apabila engkau menyaksikan pada sekeliling para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang masih kecil, maka pasti engkau akan terkagum-kagum, karena pada saat Perang Uhud, putra-putra para sahabat itu ditunjukkan kepada beliau dan mereka masih kecil, beliau ditunjukkan dengan Usamah bin Zaid namun beliau menolaknya untuk ikut berperang, beliau ditunjukkan dengan Zaid bin Tsabit namun beliau menolaknya untuk ikut berperang, beliau ditunjukkan dengan Abdullah bin Amru namun beliau menolaknya untuk ikut berperang, beliau ditunjukkan dengan Amru bin Hazm namun beliau menolaknya untuk ikut berperang, beliau ditunjukkan dengan Rafi’ bin Khadij namun beliau menolaknya untuk ikut berperang, lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya pandai memanah.”
Beberapa orang menjadi saksi bahwa ia memang pintar memanah, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun membolehkannya.
Tahu bahwa Rasul membolehkan Rafi’, maka Samurah bin Jundub yang ditolak karena belum cukup umur itu pun berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya pernah mengalahkan Rafi’ dalam gulat, – maksudnya bagaimana bisa engkau membolehkan Rafi’ sedangkan saya pernah mengalahkannya dan badan saya lebih kuat!”
Maka Nabi memerintahkan keduanya untuk bergulat, lalu Samurah berhasil mengalahkan Rafi’, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memperbolehkan Samurah juga.
Saudara-saudara yang mulia, sejarah itu penuh dengan kisah-kisah para sahabat yang saling berlomba-lomba untuk berjihad, anak-anaknya pun ditunjukkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka merayu Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk ikut berperang, bahkan para sahabat Radhiyallahu Anhum hati mereka itu hidup, dan persepsi mereka benar, jika mereka tidak bisa berangkat berjihad karena suatu halangan, maka mereka akan menangis karena merasa pedih dan rugi, Allah berfirman mengenai mereka:
وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوا وَّأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنفِقُونَ ﴿٩٢﴾
“dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.” lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” [QS. At-Taubah: 92].
Mereka menangis karena tidak bisa pergi berjihad di jalan Allah! Sedangkan kita, kita meminta kondisi yang baik kepada Allah, hati kita sakit, yang kita cintai adalah dunia dan yang kita takuti adalah kematian, apabila salah seorang dari kita mengetahui bahwa ia akan segera berhadap-hadapan dengan musuhnya sebagai seorang mujahid, ia justru menangis, menangis! Benar, menangis kalau bukan karena anak dan dunia, maka karena takut jika musuhnya membunuhnya. Maka lihatlah perbedaan yang sangat jelas antara keadaan kita dengan keadaan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka bagaimana kita menuntut hasil seperti yang diraih oleh para sahabat Rasulullah, jika kita tidak beramal sesuai dengan jejak mereka dan tidak mengorbankan seperti apa yang telah mereka korbankan!!
Sesungguhnya status jihadnya para sahabat ketika itu adalah fardhu kifayah, meskipun begitu namun mereka tetap berkorban untuk jihad, setiap sahabat Radhiyallahu Anhum memiliki kisah sendiri-sendiri mengenai jumlah peperangan yang ia sertai. Sedangkan kita; status jihad telah berubah menjadi fardhu ‘ain bagi kita karena musuh telah menyerang negeri kaum muslimin dan kita adalah orang yang paling jauh dan medan perang dan orang yang paling besar rasa cintanya terhadap dunia, meskipun begitu kita masih saja mendustai diri kita sendiri dengan dan berkata: “Untuk agama kami berkorban”!!
Kita mengira bahwa kedustaan kita terhadap diri kita sendiri akan bermanfaat bagi kita kelak di hari kiamat, yaitu di sisi Yang Maha Mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati!
Jikalau tujuan jihad itu hanya membebaskan wilayah kita dan menjaga kehormatan kita dari orang-orang kafir saja, maka tentulah ia sudah cukup menjadi sebab agar para pemilik hati yang hidup berlomba-lomba untuk pergi ke medan jihad seperti apa yang dilakukan oleh para sahabat Ridhwanullahi alaihim yang tidak pernah berhenti berjihad dan menanyakan apakah statusnya fardhu ‘ain atau fardhu kifayah?
Akan tetapi ketika Allah menawarkan kesepakatan kepada mereka, mereka langsung menjual nyawa mereka, karena persepsi para sahabat Ridhwanullahi alaihim merupakan persepsi yang benar dan manhaj mereka adalah manhaj yang baik, jadi apabila kita ingin berkuasa sebagaimana mereka berkuasa, maka sumbangkanlah seperti apa yang mereka sumbangkan.
Kami memohon kepada Allah agar membenarkan pemahaman kita dan mengembalikan kita kepada agama dalam kondisi yang baik, dan menjadikan kita berlomba-lomba untuk berangkat ke medan jihad agar kita dapat meraih dunia sebagaimana para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meraihnya.
Dirilis oleh :
(banan/arrahmah.com)