(Arrahmah.com) – Pernyataan terbaru Syaikh DR Aiman Az-Zhawahiri tentang peristiwa Syam menemui pro-kontra. Seperti biasanya, orang nomor satu di Al-Qaeda ini menyampaikan pesan-pesannya dengan nada yang santun, tenang dan jauh dari provokasi. Hampir sama dengan pendahulunya di Al-Qaeda, Syaikh Usamah bin Ladin rahimahullah. (Pernyataan lengkap lihat sini: http://www.kiblat.net/2014/05/03/inilah-penegasan-al-qaidah-untuk-jn-dan-isis/)
Sebenarnya pernyataan Syaikh ini cukup adil, dan tetap bersikap proporsional. Beliau menjelaskan hakekat yang ada antara Al-Qaeda dengan [Daulah Islam Irak atau Islamic State of Irak] ISI, dan dengan [Daulah Islam Irak dan Syam atau Islamic State of Irak and Sham] ISIS serta Jabhah Nushrah (JN). Syaikh Aiman dengan santun menasehati dua kelompok jihad terbesar di Syam kini, ISIS & JN, serta meminta kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik dan fokus menghadapi musuh bersama yaitu Rezim Syi’ah.
Tidak ada kesan menyudutkan ISIS, pun tidak ada kesan menyudutkan JN. Keduanya dinasehati dengan baik oleh tokoh yang telah dan membuktikan hidupnya demi tauhid dan jihad ini.
Hanya saja arahan dan penegasan dari Syaikh Aiman ini mendapat tanggapan banyak pihak. Ada yang pro, ada yang kontra. Beberapa pernyataan itu yang dimuat dalam situs-situs jihad Indonesia telah didudukkan dengan baik oleh penulis di lasdipo.com.
Diantara tanggapan positif datang dari Syaikh Thoriq Abdul Halim. Seorang ulama jihad yang sekarang melarikan diri dari kejaran para thaghut Timur Tengah. Syaikh Thoriq mendapat suaka politik dari pemerintah Kanada. Dari tempat yang jauh sana, beliau tetap memberikan sumbangsih untuk perjuangan umat Islam. Baik dalam bentuk moral maupun arahan perjuangan umat Islam. Kini beliau mendirikan situs untuk mendukung dakwah tauhid dan jihad, (lihat: www.tariqabdelhaleem.net), (pernyataan Syaikh DR Thoriq lihat sini: http://muqawamah.com/komentar-singkat-terhadap-pernyataan-terbaru-dari-syaikh-dr-ayman-azh-zhawahiri.html)
Tanggapan lainnya adalah dari Syaikh yang tidak asing lagi dalam dunia tauhid dan jihad. Dia dianggap mentor jihad kontemporer, yaitu Syaikh Abu ‘Ashim Al-Maqdisi, penggagas situs www.tawhed.ws dan www.almaqdese.com sudah popeler bagi haraki di Indonesia. Sebab banyak sekali karya inspiratif beliau diterjemahkan ke Indonesia, misalnya karya fenomenalnya; Saudi di Mata Seorang Al-Qaeda, yang diterbitkan oleh Jazeera, Solo, juga Agama Demokrasi.
Kecerdasan beliau dalam beranalogi dan menjelaskan hakekat tauhid dan jihad membuahkan banyak mujahid yang handal lahir dari rahim tarbiyahnya. Syaikh Abu Mush’ab Az-Zarqowiy rahimahullah adalah salah satu didikan beliau. Inspirator jihad di Irak dan pimpinan Al-Qaeda Irak ini telah menanam bibit Daulah Islam Irak.
Ketegasan beliau dalam mendakwahkan tauhid dan jihad, membuat thaghut Yordan geram. Akhirnya beliau dijebloskan ke penjara oleh rezim Yordan. Hingga kini beliau mendekam di Penjara Armaimin, Yordan.
Syaikh Aiman Menurut Syaikh Al-Maqdisi
Menanggapi pro kontra tentang pernyataan Syaikh Aiman, Syaikh Al-Maqdisi menulis beberapa kalimat dukungan kepada Syaikh Aiman serta tadzkiroh bagi para pencela Syaikh Aiman. Tulisan ini dimuat dalam, www.kiblat.net dan http://muqawamah.com/ dan telah diterjemahkan oleh saudara Agus Abdullah di kiblat.net (lihat sini: http://www.kiblat.net/2014/05/07/al-maqdisi-sayangkan-pihak-yang-meremehkan-senior-mujahidin/)
Bagi Syaikh Al-Maqdisi, Syaikh Aiman adalah sosok yang sangat beliau hormati dan beliau kagumi. “Sabtu, 5 Jumadil Akhir 1435, saya telah mendengar sebagian dari pesan saudara kita tercinta, mujahid yang mulia dan bijaksana, Syaikh Aiman Azh-Zhawahiri, semoga Allah melindunginya, dan meneguhkan kita dan beliau di atas kebenaran yang nyata,” tulis Al-Maqdisi dalam risalahnya tersebut.
Dalam tulisan yang dimuat dalam situs rujukan tauhid serta jihad internasional ini, Syaikh Al-Maqdisi memuji Syaikh Aiman atas kata-katanya yang sopan, jauh dari kasar maupun kedengkian. Beliau sangat menyayangkan atas sikap orang-orang yang mencela para senior dalam dunia dakwah dan jihad. Orang yang mencela para senior mujahidin ini beliau sebut sebagai orang bodoh, yang tidak memiliki akhlak, dan jauh dari etika seorang muslim, apalagi akhlak pejuang. Tentunya mereka ini, dalam pandangan Al-Maqdisi, sangat tidak layak menyandang gelar singa tauhid.
Contoh orang yang paling lurus tauhidnya dan paling mulia diantara manusia adalah Rasulullah ﷺ. Kalau boleh dikata, beliau lah yang paling pantas disebut singa tauhid. Walau demikian, Rasulullah ﷺ menjadikan akhlak sebagai standar seorang muslim yang bertauhid, dan neraca untuk menimbang kedudukan di sisi Allah ﷻ.
Salah satu buktinya, adalah hadits yang disebut oleh Syaikh Al-Maqdisi dalam tulisannya tersebut;
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ إِلَيَّ مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا، وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الثَّرْثَارُونَ، وَالْمُتَشَدِّقُونَ، وَالْمُتَفَيْهِقُونَ
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan duduknya paling dekat kepadaku pada hari kiamat adalah orang yang akhlaknya terbaik di antara kalian. Sedangkan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat adalah orang-orang yang banyak bicara, suka ngobrol dan bermulut besar (sombong).” (HR. At-Tirmidzi).
Dalam hadits dari Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i, Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ قَالُوا بَلَى قَالَ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
“Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur (sombong).” (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).
Syaikh Al-Maqdisi menyebutkan ciri orang yang dicintai oleh Allah ﷻ adalah berlemah lembut kepada orang-orang beriman, “Bahwa ciri mereka (yang menyebabkan dicintai oleh Allah) yang paling khas adalah lemah lembut kepada orang beriman terlebih lagi kepada tokoh-tokoh orang beriman, orang-orang yang mulia, dan para pembesar orang beriman,” tulisan Syaikh Al-Maqdisi.
Apa yang disebut oleh Syaikh Al-Maqdisi sejalan dengan firman Allah ﷻ. Dalam banyak ayat, seperti firman-Nya dalam surat Muhammad:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (QS Al-Fath: 29)
Bahkan, Allah menyifati generasi pilihan dengan sikap lemah lembutnya terhadap sesama muslim (QS. Al-Maedah: 54). Tentunya, Syaikh Aiman dan para mujahidin di Al-Qaeda maupun di pihak yang berlawanan dengan ISIS adalah muslim, yang layak mendapatkan wala’ dan sikap lemah lembut dari seorang muslim.
Oleh karenanya Syaikh Al-Maqdisi menyayangkan mereka yang mencela para senior mujahidin seperti Syaikh Aiman. Beliau menulis, “Maka, kepada setiap orang yang suka mengasah lidah atau giginya untuk mencela tokoh-tokoh yang dipercaya orang-orang beriman secara umum yang menolong agama Islam, hendaknya Anda tahu bahwa Anda bukanlah bagian dari orang-orang terpilih yang dicintai dan tidak masuk dalam golongan orang-orang yang dipekerjakan oleh Allah untuk menolong agama-Nya sebagai pengganti dari orang-orang yang berpaling.”
Beliau menyarankan mereka yang suka mencela dan membesar-besarkan kesalahan mujahidin, terlebih para senior jihad, agar berhenti atau duduk diam bersama Qo’idun. Beliau tegaskan,”Berhentilah bersikap berlebih-lebihan terhadap kesalahan Mujahidin dan duduklah saja bersama orang-orang yang enggan berjihad (qa’idun) atau menangislah karena engkau terhalang dari karunia yang agung itu! Bila engkau jujur!”
Hormatilah Pendahulu Dalam Hijrah dan Jihad
Hal lain yang membuat gusar Syaikh Al-Maqdisi adalah sikap ‘kurangsopan’ atau kalau boleh disebut ‘kekurang ajar-an’ mereka yang baru menapaki jalan tauhid dan jihad, atau hanya pengamat di balik layar laptop yang mencela para senior dalam dakwah dan jihad. Seakan-akan mereka lebih mulia dan lebih layak menyandang gelar ahlu haq dari para senior tersebut.
Atau mencela orang yang lebih tua umurnya, tua pengalaman jihad dan dakwanya. Dan Syaikh Aiman termasuk dalam jajaran para senior dalam jihad dan dakwah. Ia menulis, “Perhatikanlah penilaian bagi orang yang lebih dahulu dalam hijrah dan usia dalam hal imam shalat. Kepemimpinan mujahidin lebih pantas menggunakan penilaian itu karena lebih besar urusannya daripada kepemimpinan shalat. Sebab jihad berhubungan degan darah dan jiwa. Bila disandarkan kepada ilmu kefakihan, hijrah, visi jangka panjang, dan pengetahuan realitas, maka tidak ada seorang pun yang berhak mendahuluinya.”
Beliau melanjutkan:
“Karena itulah, ketika anak kemarin sore yang baru belajar Islam dan sedikit keahlian dalam jihad serta pertimbangan maslahat dan madharat membuat keputusan sendiri, niscaya ia membuat keputusan yang nyeleneh sendiri dan akan bermaksiat kepada para pemimpin dan orang bijak di antara mereka. Mereka akan terjerumus ke dalam perpecahan dan perbedaan, serta mengalirkan darah yang diharamkan akan berakibat pada hilangnya wibawa berlaku ghuluw (ekstrem) dan membangkang.”
Diantara sandaran Syar’i beliau adalah hadits-hadits berikut:
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِنًّا
“Orang yang mengimami suatu kaum adalah yang paling baik bacaannya terhadap Kitab Allah. Bila bacaannya sama, maka dahulukanlah yang paling tahu tentang sunah. Bila mereka sama dalam sunah, dahulukanlah siapa yang lebih dahulu berhijrah. Bila mereka sama dalam hijrah, maka dahulukanlah yang usianya lebih tua.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit, ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَلَمْ يَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan dari kalangan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda di antara kami. Dan menghargai hak orang yang alim di antara kami.” (HR Imam Ahmad dan Hakim).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bahwa Rasul ﷺ bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ شَرَفَ كَبِيرِنَا
“Bukan dari kalangan kami orang yang tidak mengasihi yang lebih muda di antara kami dan menghargai kemuliaan orang tua di antara kami.” (HR Ahmad).
Beliau berkata, “Sabda Nabi ﷺ, ‘bukan dari kalangan kami’ adalah pelepasan diri yang berkonsekuensi bahwa pelakunya berhadapan dengan ancaman tersebut dan ia menyimpang dari manhaj yang benar, sesat dari jalan yang lurus.”
Dalam tulisan itu, pun Syaikh Al-Maqdisi mencela orang-orang yang membunuh karakter para pejuang dan senior mujahidin, juga beliau sangat tidak menyukai orang yang menjauhkan masyarakat maupun anak muda dari arahan-arahan senior mujahidin.
Tentu saja, orang mensifati Syaikh Aiman dan senior mujahidin lainnya dengan “Ngawur” atau “Kontradiktif” termasuk orang yang menjauhkan umat dari senior mujahidin. Ini yang saya pahami dari penjelasan Syaikh Al-Maqdisi.
Sebenarnya banyak nasehat berharga dalam tulisan Syaikh Abu Ashim Al-Maqdisi hafidzahullah tersebut. Hanya saja, kedengkian, cinta buta dan ta’ashub (sikap fanatik buta) terhadap golongan tertentu yang membuat seseorang buta dari nasehat-nasehat berharga itu dan akhirnya tidak bisa mengambil pelajaran.
Sebagaimana kaum Yahudi dibutakan oleh kecintaannya terhadap anak sapi yang mereka agungkan dari wahyu Allah kepada nabi Musa ‘Alaihi Salam. Akhirnya mereka menjadi manusia yang ngeyel nan keras kepala. Setiap nasehat nabi Musa ‘Alaihi Salam selalu dianalisa lalu mencari alasan untuk menolak kebenaran.
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاسْمَعُوا قَالُوا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيمَانُكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Memang benar kebenaran itu tidak bisa dilihat dari seseorang. Tetapi Allah dan Rasulullah ﷺ, telah menjelaskan ciri-ciri kebenaran dan para pengembannya. Dan berdasarkan kaedah kebenaran yang disebut oleh Syaikh Al-Maqdisi di atas, maka sangat wajar Syaikh Aiman diyakini sebagai pengemban kebenaran oleh Syaikh Al-Maqdisi dan para ulama jihad terkemuka lainnya.
Maka jika orang yang diklaim atau mengklaim sebagai mujahid atau singa tauhid, selayaknya tidak mencela beliau. Dan para mujahidin lainnya. Walau berbeda dengan kelompok yang ia ngefans, yang ia idolakan. Anggaplah perbedaan ini sebagai ijtihad dan fitnah, sebagaiman fitnah pada perang jamal maupun shiffin.
Jika tidak demikian, sungguh sangat buruk apa yang diperintahkan oleh jihad dan tauhid mereka. Jika mereka benar-benar berjihad dan bertauhid.
Syaikh Aiman dalam Pandangan Akh Aman Abdurarrahman
Diantara pelaku dakwah yang memberi pandang terhadap ketegasan Syaikh Aiman adalah Akhi Aman Abdurrahman. Memang Aman tidak setenar Syaikh Al-Maqdisi, tetapi bagi penggiat dakwah dan jihad di Indonesia setidaknya pernah mendengar nama da’i yang sedang terdzalimi di penjara thaghut Indonesia ini. Walau sebagian orang menyebut ‘konsep takfir’ yang dihasung Akhi Aman Abdurrahman sebagai gaya sensasi, namun pemikiran beliau cukup diminati oleh beberapa anak muda di Indonesia.
Siapa yang membaca tulisan Akhi Aman, ia pasti berkesimpulan, ia dulunya sangat ‘Al-Maqdisi Minded’. Nuansa pemikiran Syaikh Al-Maqdisi, sangat terasa dalam banyak tulisan maupun ceramah Akhi Aman. Hal ini bisa dibuktikan dalam situs dan blog para pengagumnya di www. http://millahibrahim-news.com/ atau blog http://millahibrahim.wordpress.com/ . Karya dan pemikiran Syaikh Abu Ashim Al-Maqdisi sangat mewarnai kedua jendela dunia maya ini.
Namun sejak konflik ISIS dan JN, serta kemunculan arahan-arahan Syaikh Aiman terhadap jihad Syam, ada jurang yang dalam antara sikap Syaikh Al-Maqdisi dan ‘muridnya’ Akhi Aman Abdurrahman. Apalagi saat Al-Maqdisi mengkritik ISIS, baik pemikiran maupun aksi lapangannya yang dianggap terlalu ekstrem dalam takfir dan meremehkan darah mujahidin Syam selain mereka.
Jika Syaikh Al-Maqdisi memandang ISIS telah menyimpang dari manhaj ahlus sunnah, lebih bercorak khawarij. Berbeda dengan Akhi Aman, ia memandang ISIS adalah representasi muwahhidun dan mujahidin sejati.
Tentang Syaikh Aiman, Akhi Aman menganggapnya orang yang telah menyimpang, atau minimal serba kontradiktif dan ngawur. Walau Akhi Aman belum memiliki reputasi yang diakui dalam hijrah dan jihad, namun ia boleh dibilang berani, -kalau tidak boleh dibilang lancang- dalam menyikapi Syaikh Aiman yang telah meninggalkan kemewahan dunia di Mesir, berhijrah ke Afghanistan, menjual jiwa, raga dan hartanya di jalan Allah.
Sikap Akhi Aman bisa dilihat di http://millahibrahim-news.com/reads/2014/05/pengkajian-dan-analisa-terhadap-sikap-ngawur-dan-kontradiksi-adh-dhawahiriy.html . Dilihat dari judul makalah yang ia terjemahkan ini, nampak sekali ‘kebencian’ terhadap Syaikh Aiman. Padahal judul makalah Arab tidak seperti yang disebut oleh Akhi Aman. Judul makalah yang ditulis oleh orang yang berinisial, Abu Mu’adz Al-Anshori ini diberi judul “Qira-ah Wa Tahlil Li Khithab Adh Dhawahiriy” (lihat. http://alplatformmedia.com/vb/showthread.php?t=46948 ) . Nampaknya, pemberian judul oleh Akhi Aman ini agar ada kesan ketimpangan dalam pemikiran Syaikh Aiman. Minimal terlalu bombastis dan terlalu sensasi. Sebab judul tulisan Akh Aman lebih terkesan kasar dan membunuh karakter Syaikh Aiman.
Demikian juga saat menanggapi tulisan Syaikh Al-Maqdisi di atas, Akhi Aman lebih cenderung menolak tanpa berupaya mengambil pelajaran dari tulisan Syaikh Al-Maqdisi, sebagaimana ia mengambil pemikiran-pemikiran Al-Maqdisi sebelum terjadi fitnah di Syam, (lihat: http://millahibrahim-news.com/reads/2014/05/komentar-terhadap-statement-al-maqdisiy.html)
Da’i yang disebut oleh para pengagumnya dengan Singa Tauhid ini menulis, “Begitu juga statement Syaikh Al Maqdisiy yang mencela Daulah dan para Anshar Daulah dengan celaan yang kasar dan tidak sesuai dengan kebenaran dan waqi’ yang sebenarnya, maka kita wajib menolak dan mengabaikan statementnya itu, karena ia adalah statement yang tidak beda dengan statement Abu Qatadah sebelumnya yang jelas kebatilannya.”
Dia menekankan pentingnya mengikuti kebenaran, tidak mengekor pada sosok tertentu. Sayangnya, dia tidak menjelaskan apa definisi kebenaran yang dia maksud, dan apa ciri-ciri kebenaran dan para pengusungnya. Sebagaimana Syaikh Al-Maqdisi menyebutkan beberapa standar kebenaran.
Salah satu ciri kebathilan menurut Syaikh Al-Maqdisi adalah berkata-kata kasar. Beliau menulis,
“Shalawat dan salam kepada Nabi kita yang bersabda, ‘Perjanjian yang baik adalah bagian dari iman.’ Beliau juga mengabarkan bahwa di antara tanda-tanda hari kiamat adalah munculnya orang-orang berpemahaman dangkal yang memimpin urusan orang banyak lagi penting. Banyak orang yang bodoh, buruk ucapannya, bermoral buruk yang tampil di zaman kita ini untuk menyesatkan para pemuda dan memalingkan mereka dari pemahaman yang benar, fikih yang tepat, dan mereka menyakiti para masyayikh dengan lisan mereka yang panjang, celaan, hinaan, dan kebohongan.”
Jika suatu kaum sudah tercela moralnya
Maka siapkanlah kuburan dan ratapan untuk mereka
Para thaghut Arab dan non-Arab selamat dari celaan mereka, namun justru para pemimpin mujahidin dan ulama rabbani tidak lepas dari cercaan. Bahkan mereka tidak menghargai sama sekali pengorbanan dan jihad para tokoh. Andai saja mereka, saat menyebarkan tulisan-tulisan mereka, mengingat firman Allah, “Dan tidaklah ada kata yang terucap kecuali dada malaikat yang mencatat dengan teliti.”
Bagi saya, penulis, apa yang dikatakan oleh Akhi Aman kepada Syaikh Aiman sangat tidak layak. Jika ia tidak mau mengikuti Syaikh Al-Maqdisi dalam menyikapi Syaikh Aiman. Minimal dia diam saja, tidak mencela, dan menghalang-halangi umat dari hikmah yang disampaikan oleh Syaikh Aiman. Itu lebih selamat dan ringan pertanggung jawabannya di sisi Allah ﷻ. Toh dia tidak mengetahui hakekat yang terjadi di Syam, dan juga tidak pernah duduk dengan Syaikh Aiman, sehingga ia memahami dengan baik-baik apa yang dimaksud oleh Syaikh Aiman. Karena, terkadang untuk memahami maksud seseorang dalam pernyataannya, kita harus memahami karakter dan kebiasaannya, serta kondisi yang bersangkutan.
Sebagaimana kemampuan dan menafsirkan teks Al-Qur’an dan Al-Hadits, sangat terkait dengan ilmu tentang kondisi, tradisi, dan gaya bahasa masyarakat yang hidup saat Al-Qur’an diturunkan. Apalagi yang disikapi adalah perkataaan seorang pemimpin jihad yang mengarahkan anak buahnya di berbagai wilayah ditengah keterbatasan kemampuan berkomunikasi, dan ditengah incaran serangan musuh.
Terkait kehati-hatian memahami pernyataan para ulama apalagi seorang imam mujahid seperti Syaikh Aiman, ada baiknya Saudara Aman dan ikhwan yang terlalu ghuluw membela ISIS merenungi ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berikut ini:
((فإنه يجب أن يفسر كلام المتكلم بعضه ببعض ويؤخذ كلامه هاهنا وهاهنا، وتُعرف ما عادته يعنيه ويريده بذلك اللفظ إذا تكلم به)).
“Sungguh wajib menafsirkan perkataan seseorang dengan menggunakan perkataannya yang lain, harus mengambil perkataannya di sana dan di sini. Dari ini akan diketahui apa yang ia kehendaki dari lafadz –ungkapan itu-, dan kebiasaannya jika berbicara dengan ungkapan itu.” (al-Jawab Ash-Shahih liman Baddala Dinal alMasih, 4/44)
Jika memang dalam pandangan Akhi Aman bahwa Syaikh Aiman salah –walau saya pribadi, dan demikian juga para ulama melihat beliau benar dan seorang alim yang bertakwa, dan mujahid yang tidak takut kecuali kepada Allah- tidak bisakah beliau merenungkan ungkapan Imam Adz-Dzahabi ini:
((ولو أنَّا كلَّما أخطأ إمامٌ في اجتهاده في آحاد المسائل خطأً مغفوراً له قُمنا عليه وبدَّعناه وهجَرناه، لَمَا سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن منده ولا مَن هو أكبر منهما، والله هو هادي الخلق إلى الحقِّ، وهو أرحم الراحمين، فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة))،
“Jika setiap kali seorang imam salah berijtihad dalam beberapa masalah, yang kesalahannya terampuni, kemudian kita melawannya, membid’ahkannya dan menjauhinya (hajr), maka tidak ada seorang pun yang selamat dari kita. Baik itu –sekelas-, imam Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau ulama yang lebih agung dari keduanya. Dan Allah memberi petunjuk kepada makhluk ke jalan kebenaran. Dan kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan sikap yang kasar.” (Siyaru A’lamin Nubala’, 14/39)
Pengalaman kita selama ini mengajarkan, bahwa apa yang dipikirkan oleh seorang alim dan mujahid yang menghabiskan waktunya dalam jihad dan dakwah seperti Syaikh Aiman, sangat berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh seseorang yang belum menginjakkan kakinya di bumi jihad dan tidak memiliki pengalaman berharokah.
Pengalaman akan memberikan pelajaran yang tidak didapatkan di buku apalagi di internet. Kelembutan sikap Syaikh Aiman, dan kehati-hatian beliau dalam mengikapi permasalahan seperti di Syam, lahir dari pengalaman dan tarbiyah yang sangat panjang dalam harokah dakwah tauhid dan jihad.
*Wallahu A’lam bis Shawab– Ya Allah tunjukilah kami ke jalan yang benar dalam permasalahan yang diperselisihkan*
Penulis: Mujahid Abu Raihan
Diedit Oleh: Akrom Syahid
(an-najah.net/arrahmah.com)