JAKARTA (Arrahmah.com) – Tokoh pluralisme Ahmad Syafii Ma’arif, mantan Ketua Umum PP MUhammadiyah, yang selama ini mengecam kelompok Islam radikal sebagai “Preman Berjubah”, kini sedang dirundung masalah. Darahnya “mendidih” saat membaca berita Tabloid Suara Islam edisi 101 (tanggal 19 November – 3 Desember 2010) halaman 13.
Dalam sebuah lead berita, Tabloid Suara Islam menulis: “Ada rekayasa terselubung dalam pemberian penghargaan (Award). Syafii Ma’arif bungkam tidak kritis lagi setelah menerima apartemen mewah senilai Rp. 2 miliar dari Aburizal Bakrie?”
Kemudian, dalam paragraf 13, juga menyatakan: “Di tengah perseteruan, kontroversi, dan penolakan oleh para sastrawan sampai cendekiawan atas penganugrahan Bakrie Award, belakangan nama sekelas Ahmad Syafi’I Ma’arif seorang cendekiawan sekaligus pendiri Ma’arif Institut cenderung bungkam. Menurut sumber Suara Islam, Syafi’I Ma’arif bungkam tidak kritis lagi setelah menerima apartemen mewah senilai 2 miliar dari Abirizal Bakrie.”
Pemberitaan inilah yang membuat Buya — demikian beliau disapa — merasa risih dan tidak nyaman, Terlebih, telepon seluler miliknya telah kebanjiran SMS dari beberapa rekan sejawatnya untuk menanyakan kebenaran berita tersebut. Meski mengaku tidak tersinggung dan malas menanggapi “berita bohong” perihal dirinya, namun rupanya ia tak tahan juga saat nama baiknya dicemarkan oleh tabloid yang menjadi corong Forum Umat Islam (FUI).
Untuk menanggapi tulisan yang dianggap menyudutkan dirinya, Rabu (8/12) lalu, Syafii Maarif menggelar konferensi pers di Mayapada Tower lantai 5, jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Didampingi kuasa hukumnya Todung Mulya Lubis, pemilik apartemen Taman Rasuna M. Deddy Julianto, dan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Saleh P. Daulay.
Dalam konferensi pers tersebut, Syafi’I Maarif membeberkan kiriman SMS dari seorang wartawan Tabloid Islam bernama Abdul Halim untuk mengkonfirmasi, apakah benar mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menerima hadiah dari pengusaha Bakrie Grup, Aburizal Bakrie berupa apartemen mewah senilai Rp. 2 miliar.
SMS yang dikirim itu sebanyak dua kali, yakni pada 24 dan 25 Sepetember 2010. SMS pertama berbunyi: “Mengapa menerima hadiah dari Aburizal Bakrie berupa apartemen mewah? Padahal beberapa tokoh, seperti Gunawan Mohammad dan Franz Magnis Suseno menolak penghargaan Bakrie Award. Apakah itu tidak mengganggu Anda yang guru bangsa? Apakah itu bukan suap?”
SMS kedua (tanggal 25) berisi: “Kalau dianggap salah, saya minta maaf dan saya cabut berita tersebut. Sebagai wartawan, saya bukannya mau fitnah, tapi tabayun terhadap berita tersebut. Bisa minta waktu buat wawancara? Kapan dan di mana?”.
Entah kenapa, Syafii Maarif enggan menjawab pertanyaan wartawan tabloid Suara Islam untuk mengkonfirmasi? Dengan alasan malas, Syafii malah menyuruh asistennya di Maarif Institute yang bernama Asmul Khairi (berinisial MUL) untuk menjawab SMS tersebut.
“SMS itu tidak saya jawab. Saya malas melayani. Saya pikir karena dia sudah minta maaf, maka saya merasa tabloid itu tidak akan memberitakan. Tapi ternyata di edisi November, beritanya tetap ada,” ungkap Syafii yang masih menyimpan rangkaian SMS itu di Black Berry-nya.
Dua setengah bulan kemudian, 7 Desember 2010, Syafii Maarif menerima SMS berikutnya dari wartawan tabloid Suara Islam Abdul Halim. Bunyinya adalah “…Hehehe, akhirnya marah juga’. Syafii Maarif pun tidak membalas SMS tersebut. Ia pikir tidak perlu baca tabloid itu.
Sebetulnya Syafii Ma’arif malas menanggapi berita yang dianggap merugikan dirinya tersebut. Namun karena dikompori kawan-kawan di Ma’arif Institut dan teman-teman sepilis lainnya, Syafii mengadu ke Todung Mulya Lubis sebagai kuasa hukumnya.
Suara Islam Tolak Minta Maaf
Akibat malas untuk menjawab konfirmasi wartawan tabloid Suara Islam sejak September, Buya Syafii Ma’arif baru merasakan dampaknya. Terlebih, kubu Syafii kerap menganggap remeh media Islam, seperti tabloid Suara Islam yang dinilainya beroplah kecil dibandingkan Majalah Sabili dan Hidayatullah. Padahal, dugaan itu salah. Tabloid Suara Islam kini beroplah 20 ribu eksemplar, mengalahkan Majalah Sabili yang akhir-akhir ini semakin menurun drastis oplahnya.
Ini bukan kali pertama Syafii Maarif kerap mengganggap remeh media Islam yang dinilainya beroplah kecil dan tidak punya pengaruh besar, sehinga ia merasa berhak untuk menolak untuk diwawancarai. Syafii adalah tokoh sepilis (sekuler, pluralisme dan liberalisme) yang alergi dengan kelompok Islam yang selama ini memperjuangkan syariat Islam. Syafii sering menyebut kelompok Islam yang sering mengkritiknya sebagai radikal. Itulah sebabnya, ia tidak suka dengan media Islam.
Setelah Syafii Ma’arif dan kuasa hukumnya menggelar jumpa pers. Kini giliran Tabloid Suara Islam (SI) menggelar konferensi pers di Kantor Luthfie Hakim & Partners di Jalan Jeruk No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (9/12) siang.
Hadir dalam jumpa pers tersebut, antara lain: Munarman (kuasa hukum SI), HM Luthfie Hakim (Wakil Pemimpin Redaksi SI), Wirawan Adnan SH (Legal officer SI), KH. Muhammad Al-Khaththath (Pemimpin Umum SI), Aru Syeiff Asadullah (Pemimpin Redaksi SI), Amran Nasution (Staf Ahli SI), dan Ahmad Sumargono (Dewan Redaksi SI).
Perlu diketahui, Tabloid Suara Islam merupakan corong Forum Umat Islam (FUI). Dewan Redaksi meliputi kalangan ulama, kiai dan pimpinan ormas Islam. Seharusnya Syafii Ma’arif tidak memandang sebelah mata media Islam manapun.
Dalam jumpa pers, kuasa hukum tabloid Suara Islam Luthfie Hakim SH yang juga Wapemred Suara Islam menegaskan, Ahmad Syafii Maarif seharusnya menjelaskan dengan gamblang: mengapa beliau menolak dikonfirmasi (istilah wartawan Suara Islam, tabayyun) tentang benar atau tidak telah memperoleh apartemen Rp. 2 miliar dari Aburizal Bakrie, pengusaha Bakrie Grup yang juga Ketua Umum Golkar?
Sesunguhnya, ada dua wartawan yang ditugaskan untuk mewawancarai Syafii Maarif, yaitu Abdul Halim dan Jaka. Halim sudah mencoba menghubungi Syafii Maarif melalui SMS pada tanggal 24 dan 25 September 2010, tapi tidak dijawab. Justru pada SMS tanggal 24 September dijawab oleh orang lain (asistennya) dengan initial MUL yang mengaku disuruh Syafii Maarif untuk menjawab SMS wartawan tabloid SI. Bukannya menjawab baik-baik, Mul malah mengancam Halim agar menarik SMSnya kepada Syafii Maarif. Jika tidak akan ada upaya hukum atas dirinya.
“Sungguh ganjil sekali dan aneh, jika wartawan tabloid SI cuma bertanya (tabayyun) kepada Syafii Maarif. Tapi mengapa yang harus menjawab orang lain, dengan ancaman pula?” kata Luthfie merasa geli.
Menurut Luthfie, Suara islam sudah melakukan kaidah jurnalistik yang benar, yakni membuat lead berita tersebut dengan kalimat tanda tanya? Begitu juga sudah melakukan konfirmasi, tapi Syafii menolak untuk sekedar menjawab ya atau tidak. Alasan menolak diwawancara, apakah karena Syafii memandang Tabloid Suara Islam hanya tabloid yang beroplah kecil yang hanya dibaca terbatas kalangan tertentu saja, sehingga tidak perlu diladeni? “Kami merasa tidak dihargai, dilecehkan dan dianggap nobody oleh Syafii Maarif.
Sebuah media online memberitakan, bahwa Syafii merasa diteror selama dua bulan sebelum diberitakan. Menjadi aneh, seorang yang berprofesi wartawan yang menghubungi narasumber untuk sekedar konfirmasi, oleh Syafii Maarif disebut menteror. Ini ancaman terhadap profesi wartawan.
Ingat, Syafii Maarif itu dibesarkan oleh pers. Tapi kenapa beliau melecehkan pekerjaan pers. Harian Kompas sampai menyebut Syafii sebagai guru bangsa. Jika dia seorang tokoh bangsa yang dibesarkan oleh pers, Syafii harusnya menghargai pekerjaan wartawan yang hendak melakukan cek dan ricek. Jadi, tidak ada istilah malas meladeni.
Soal Suara Islam akan diadukan Syafii maarif dan Todung Mulya Lubis ke Dewan Pers, seharusnya Syafii lebih dulu mengirim surat hak jawab. Saat ini belum ada hak jawab yang digunakan Syafii. Yang pasti, pihak Suara Islam mengaku tidak gentar, jika persoalan ini dibawa ke Dewan Pers, bahkan ke jalur hukum. Suara Islam juga menolak untuk minta maaf, seperti yang dituntut Syafii Maarif cs. Karena pihaknya merasa sudah melakukan kerja jurnalistik secara benar, dan tidak ada berita fitnah, seperti yang dituduhkan Syafii.
Munarman menyesalkan sikap Syafii dan Todung yang selama ini dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan anti kekerasan.Namun, dalam konferensi pers kemarin, ada “oknum” preman mengatasnamakan ormas Islam, menantang konfrontasi fisik dengan Suara Islam.
Semoga Syafii dan Todung Mulya Lubis yang selama ini mendukung kebebasan pers, tidak mengkriminalkan pers, untuk membawa tabloid Suara Islam ke meja hijau.
(ahmad zidan/arrahmah.com)