SINGAPURA (Arrahmah.com) – Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi membela tindakan pemerintahnya di negara bagian Rakhine yang memaksa lebih dari 700.000 Muslim Rohingya yang mayoritas melarikan diri dari rumah mereka dan mencari perlindungan di negara tetangga Bangladesh.
Berbicara pada sebuah ceramah di Singapura pada Selasa (21/8/2018) di mana dia meninjau dua tahun pertamanya berkuasa, Suu Kyi menolak untuk mengakui kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar dan sebaliknya membenarkan kampanye pemerintahnya terhadap komunitas Muslim yang terkepung tersebut.
“Kami, yang hidup melalui transisi di Myanmar, melihatnya berbeda dari mereka yang mengamatinya dari luar,” katanya, dalam respon yang jelas terhadap kritik tentang bagaimana pemerintahnya telah menangani penderitaan Rohingya.
PBB telah menggambarkan kampanye militer Myanmar di Rakhine sebagai “buku teks pembersihan etnis”, dan jurnalis dan kelompok hak asasi manusia yang telah melaporkan dari wilayah itu telah mendokumentasikan perkosaan yang meluas, pembunuhan, dan penghancuran rumah oleh pasukan pemerintah.
Meskipun demikian, penerima Hadiah Nobel Perdamaian ini telah menolak untuk mengutuk kekerasan tersebut dan bahkan menolak untuk merujuk nama Rohingya untuk kelompok etnis minoritas itu.
Banyak umat Buddha di Myanmar percaya bahwa Rohingya adalah orang Bengali yang bermigrasi ke negara itu secara tidak sah selama penjajahan Inggris di benua itu, dan telah menolak klaim bahwa mereka memiliki akar keturunan di wilayah itu berabad-abad lalu.
Sejak 2012, insiden intoleransi agama dan hasutan terhadap umat Islam telah meningkat di seluruh negeri, dengan Rohingya sering diserang dan digambarkan sebagai “ancaman terhadap ras dan agama”.
Berbicara pada Selasa (21/8), Aung San Suu Kyi juga mengatakan sulit untuk mengatakan kapan Rohingya akan dapat kembali, dan menyalahkan di Bangladesh atas keterlambatan itu.
“Sangat sulit bagi kami untuk menetapkan jangka waktu itu sendiri secara sepihak, karena kami harus bekerja dengan Bangladesh untuk melakukannya.”
Pemerintah Myanmar telah menandatangani beberapa perjanjian untuk mempersiapkan kembalinya Rohingya, tetapi badan-badan PBB serta kelompok-kelompok hak asasi manusia khawatir bahwa keselamatan pengembalian Rohingya tidak dapat dijamin.
PBB, yang belum diberikan akses ke Rakhine sejak Agustus 2017, khawatir pengungsi yang kembali tidak akan diberikan kebebasan bergerak jika mereka pulang.
Knut Ostby, seorang pejabat PBB dan koordinator kemanusiaan di Myanmar, mengatakan perjanjian repatriasi telah dilanda penundaan berulang dan pihak berwenang belum mengizinkan mereka untuk mengakses ke wilayah tersebut. (Althaf/arrahmah.com)