TEL AVIV (Arrahmah.id) — Sebuah jajak pendapat di Israel pada Rabu (14/2/2024) menunjukkan bahwa masyarakat Israel semakin tidak yakin bahwa pemerintahnya bisa menang dalam operasi militernya di Jalur Gaza.
Survei yang dilakukan Jewish People Policy Institute tersebut menggambarkan bahwa keyakinan masyarakat pada kemenangan Israel turun sebesar 20 persen dari Oktober 2023.
“Hanya setengah lebih sedikit kalangan responden Yahudi yang masih yakin kemenangan akan tercapai,” demikian diungkapkan institut tersebut, seperti dikutip dari Anadolu Agency (14/2).
Survei menunjukkan tingkat kepercayaan terhadap Pemerintah Israel turun dari 38 persen bulan lalu ke 34 persen. Tingkat kepercayaan terhadap petinggi militer juga semakin turun karena perang semakin berlarut tanpa ada tanda-tanda kemenangan.
Sementara itu, kepercayaan terhadap perdana menteri Benjamin Netanyahu yang sudah rendah sebelum Israel menyerang Jalur Gaza pada Oktober 2023, karena kebijakannya yang tidak populer soal reformasi hukum, tetap tidak meningkat.
“Hanya 33 persen populasi Yahudi Israel yang memiliki keyakinan tinggi pada perdana menteri,” kata institut tersebut.
Survei juga mendapati bahwa hanya 30 persen warga Israel yang masih ingin pemilu digelar sesuai waktunya, sementara sepertiga lainnya menginginkan pemilu dimajukan sesegera mungkin.
Selain itu apabila diberi pilihan antara mengalahkan Hamas atau menyelamatkan sandera, 47 persen Yahudi Israel lebih memilih mengalahkan Hamas. Hanya 25 persen yang memilih menyelamatkan sandera.
Saat ini, negosiasi gencatan senjata untuk Gaza masih berlangsung di Kairo, Mesir. Kelompok Hamas telah mengutus delegasi ke Kairo pada Rabu kemarin.
Qatar dan Mesir yang bertindak sebagai mediator dilaporkan sudah mengadakan perundingan dengan perwakilan Israel pada Selasa (13/2).
Direktur CIA William Burns dan Kepala Mossad David Barnea terlibat dalam pembicaraan di Kairo pada Selasa kemarin.
“(Negosiasi) berjalan konstruktif dan bergerak ke arah yang benar,” ungkap Juru Bicara Keamanan Nasional Amerika Serikat John Kirby menggambarkan pembicaraan di Kairo.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah meminta Hamas segera menyetujui proposal gencatan senjata dengan Israel, termasuk di dalamnya pertukaran antara sandera Israel dan tahanan Palestina.
Abbas berpendapat, hal itu penting guna menghindari konsekuensi fatal yang harus ditanggung warga Palestina di Jalur Gaza, termasuk mereka yang mengungsi di kota perbatasan Rafah
“Kami menyerukan gerakan Hamas untuk segera menyelesaikan kesepakatan tahanan, untuk menyelamatkan rakyat Palestina dari bencana bencana lainnya dengan konsekuensi yang mengerikan, yang tidak kalah berbahayanya dengan Nakba pada 1948, serta menghindari serangan pendudukan terhadap kota Rafah yang akan menimbulkan ribuan korban, penderitaan dan pengungsian bagi rakyat kita,” kata Abbas, Rabu lalu, dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA.
Abbas kemudian meminta pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara Arab bekerja secara serius guna menyelesaikan kesepakatan gencatan senjata Israel-Hamas.
Dia mengingatkan bahwa ratusan warga Gaza terbunuh setiap hari jika tak ada tindakan yang diambil untuk menghentikan perang.
“Kami menganggap semua orang bertanggung jawab atas hambatan apa pun dari pihak mana pun yang dapat mengganggu kesepakatan itu, karena hal-hal tersebut tidak lagi dapat ditoleransi, dan sudah waktunya bagi semua orang untuk memikul tanggung jawab,” ucap Abbas.
“Sekali lagi, kami menyerukan kepada semua orang, terutama gerakan Hamas, untuk segera menyelesaikan kesepakatan sehingga kita dapat melindungi rakyat kita dan menghilangkan semua hambatan,” kata Abbas menambahkan.
Israel meyakini masih ada 134 warganya yang disandera di Gaza setelah militer Israel pada Senin (12/2) menyelamatkan dua sandera di Kota Rafah di Jalur Gaza selatan.
Serangan Israel ke Gaza sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan setidaknya 28.576 rakyat Palestina dan mencederai 68.291 orang lainnya. Sementara itu, sekitar 1.200 warga Israel disebut tewas akibat serangan Hamas.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut serbuan Israel itu menyebabkan 85 persen populasi Gaza terusir dari tempat tinggal mereka, 60 persen infrastruktur Gaza rusak dan hancur, serta kelangkaan pada makanan, air bersih, dan obat-obatan. (hanoum/arrahmah.id)