JAKARTA (Arrahmah.com) – Apakah NKRI sudah final seperti yang selama ini digembor-gemborkan? Ternyata survey membuktikan berbeda. Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Nusron Wahid mengatakan, komitmen aktivis Islam terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tinggal 31 persen.
“Aktivis Islam, baik itu Nahdlatul Ulama atupun Muhammadiyah yang belum bergeser komitmen NKRI-nya tinggal 31 persen,” kata Nusron Wahid pada pembukaan Sarasehan Nasional Radikalisme Agama di Indonesia, menakar potensi teror dan kekerasan tahun 2012, di Palu, Jumat malam (06/01).
Di hadapan ratusan tamu tersebut Nusron mengungkapkan hasil riset dari salah satu lembaga riset marketing internasional berbasis di Singapura.
Nusron tidak menyebut nama lembaga tersebut, namun menurutnya lembaga riset itu cukup kredibel.
Responden yang dilibatkan dalam riset itu juga mencapai 20 ribu yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia.
Objek risetnya adalah aktivis Islam dan organisasi kemasyarakatan dengan pendekatan metode sampling.
Hasilnya riset tersebut kata Nusron bikin miris sehingga perlu diwaspadai.
“Yang sudah tidak percaya dengan Pancasila 12 persen, tidak percaya dengan Undang-Undang Dasar 16 persen dan tidak percaya dengan Bhineka Tunggal ika 26 persen,” kata Nusron.
Menurun Nusron, riset tersebut menunjukkan bahwa ternyata terjadinya kekerasan berbasis agama adalah masalah tafsir, apakah Islam itu hanya dipahami sebagai agama ataukah juga Islam itu dipahami sebagai negara.
Nusron mengatakan banyak yang berpandangan bahwa Islam itu tidak saja dipahami sebatas agama tetapi juga dipahami Islam adalah negara.
“Ini problemnya. Karena banyak yang berpandangan seperti itu maka negara yang berbasis demokrasi seperti Indonesia dianggap bunglon atau tidak layak untuk diikuti. Oleh sebab itu muncullah kalimat jihad,” kata anggota DPR RI itu.
Menurut dia, sejumlah konflik yang terjadi di daerah ini, apakah itu konflik antara Islam dan non Islam, konflik antara Sunni dan Syiah yang terjadi di Madura belum lama ini, semuanya berkaitan dengan masalah kebinekaan dan pengakuan akan kebebasan.
Nusron juga mengungkapkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga survei di Indonesia terhadap 630 lebih pelajar SLTA di 33 kota besar.
Nusron mengatakan, hasil survei itu menyebutkan 58 persen responsen setuju bahwa cara yang terbaik untuk berdakwa dan menegakkan syariat Islam adalah dengan jalan kekerasan(baca:Jihad).
Dia mengatakan, hasil survei itu menandakan bahwa agama dan jihad akan menjadi masalah terus menerus jika tidak segera dituntaskan.
“Ansor harus komiten dengan ini,” tegas Nusron .
NKRI Harga Mati ?
Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan pengertian negara menjalankan sekulerisme seperti yang selama ini berlaku bukanlah konsep yang sudah final disepakati oleh rakyat Indonesia.Terbukti, pada awal-awal masa mempertahankan kemerdekaan, sebagian mayoritas elemen masyarakat menginginkan Negara kesatuan yang berlandaskan Syari’at Islam.
Indikatornya ialah, dengan menangnya partai Islam Masyumi dipanggung politik Indonesia yang mengusung piagam Jakarta. Dan terjadinya perlawanan terhadap pemerintah pusat berupa gerakan bersenjata Darul Islam yang hampir merata dilakukan diseluruh provinsi Indonesia ketika itu.
Dalam sebuah dialog pada acara peluncuran buku “mereka bukan thoghut” Abu Rusdan mengungkapkan, mengenai konsekuensi penguasa yang beragama Islam, bagaimanapun juga dia berkewajiban menegakkan syariat (hukum) Islam. “Masalahnya, dari kalangan nasionalis masih ada ungkapan ‘NKRI harga mati’. Ini kan sama saja upaya menutup dialog hingga memicu kekerasan. Terutama bagi pendukung ‘hukum Islam yang harus harga mati,” ungkapnya.
Pernyataan ini diamini psikolog, Prof Sarlito Wirawan, yang juga anggota BNPT. “Siap salah, Pak Kepala. Tapi ini pernyataan mungkin ada benarnya juga nih,” ujarnya, saat menanggapi Abu Rusydan.
Menurut Sarlito, bagaimanapun juga, negara ini tidak bisa diklaim sebagai sebuah negara yang sudah sempurna. Yang mesti diupayakan adalah agar tidak ada lagi pertumpahan darah. Untuk itu, lanjutnya lagi, dialog dan komunikasi harus terbangun antar sesama warga bangsa. “Kalau terus dialog, lama-lama juga akan ketemu,” yakinnya.
Jika meminjam pengertian bangsa menurut Ernest Renan yang mendefinisikan bangsa adalah suatu kesatuan jiwa dan asas kerohanian. Maka, sudah sewajarnya bangsa Indonesia menerapkan Syari’at Islam, dan tidak perlu dianggap suatu makar ataupun menyalahi cita-cita pendirian negara ini. Karena,bila dilihat kesatuan jiwanya mayoritas bangsa ini sangat memegang nilai-nilai Islam dan asumsi masyarakat sudah kian dominan menginginkannya.(ant)
Wallahu’alam bishshowab.
(bilal/arrahmah.com)