DAMASKUS (Arrahmah.id) – Suriah menolak laporan pengawas senjata kimia global yang menyalahkan rezim Assad atas serangan klorin 2018 yang menewaskan 43 orang di pinggiran kota Damaskus.
Damaskus dan sekutunya Moskow mengatakan serangan 7 April 2018 di kota Douma dilakukan oleh pemberontak dan petugas penyelamat, laporan yang diterbitkan pada Jumat (27/1/2023) oleh Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) “tidak memiliki bukti ilmiah”.
“Suriah sepenuhnya menolak laporan itu,” kata kementerian luar negeri dalam pernyataan yang disiarkan kantor berita negara SANA.
Namun, OPCW menolak klaim bahwa pemberontak dan pekerja darurat melakukan serangan itu, dengan mengatakan ada “alasan yang masuk akal untuk percaya” bahwa setidaknya satu helikopter angkatan udara rezim Suriah telah menjatuhkan dua silinder gas beracun di Douma selama perang sipil Suriah.
Pengacara menyoroti “kredibilitas” penyelidikan OPCW, menekankan keyakinan mereka bahwa Suriah adalah pelakunya.
“Untuk meningkatkan kredibilitas dan ketidakberpihakan, para penyelidik mendiskusikan semua skenario yang mungkin… [laporan itu] berada pada tingkat profesionalisme, ketidakberpihakan, dan kemahiran tertinggi,” kata pengacara Abdel Nasser Hoshan kepada Al-Araby Al -Jadeed.
Para peneliti juga mengutuk penolakan rezim terhadap laporan tersebut.
“Kami terbiasa melihat rezim Suriah melakukan penolakan terus menerus ketika dihadapkan dengan bukti yang membuktikan kejahatannya… tidak mengherankan,” Wael Alwan, seorang peneliti di Pusat Studi Jusoor, mengatakan kepada Al-Araby Al-Jadeed.
“Kami telah melihat ini selama bertahun-tahun selama penangkapan lawan-lawannya, dan penyangkalan [rezim] terhadap kehadiran mereka di penjara, dan kemudian selama demonstrasi damai ketika [rezim] menembak [pengunjuk rasa] dan menyalahkan kelompok bersenjata untuk itu… [ dan] ketika [rezim] membunuh ribuan orang dan terus menyangkalnya,” tambah Alwan.
Damaskus menyangkal penggunaan senjata kimia dan bersikeras telah menyerahkan persediaannya berdasarkan perjanjian 2013, yang dipicu oleh dugaan serangan gas sarin yang menewaskan 1.400 orang di Ghouta, pinggiran Damaskus.
Hak suara Suriah di OPCW ditangguhkan pada 2021 karena penolakannya untuk bekerja sama setelah dituduh melakukan lebih banyak serangan kimia.
Konflik Suriah dimulai pada 2011 ketika rezim secara brutal menindak pengunjuk rasa pro-demokrasi yang menuntut Presiden Bashar Asad mundur dari kekuasaan.
Selama perang lebih dari 500.000 orang tewas, sebagian besar di tangan rezim dan sekutunya Rusia. (zarahamala/arrahmah.id)