DAMASKUS (Arrahmah.com) – The Times dalam editorialnya menulis bahwa Amerika mungkin akan mempertimbangkan kembali kebijakannya terhadap Suriah. Menteri Luar Negeri Amerika, Kerry, baru-baru ini tiba di London dan Suriah menjadi salah satu topik utama pembicaraan.
Dua tahun setelah dimulainya pemberontakan terhadap rezim Assad, penderitaan rakyat Suriah meningkat, berharap untuk perubahan pemerintahan secara damai terus berkurang dan perhatian tumbuh di kalangan demokrat bahwa sebuah negara akan muncul di Suriah yang bisa menggoyahkan seluruh dunia.
Obama telah dikritik karena tidak menunjukkan keinginan untuk memainkan peran utama dalam upaya penyelesaian krisis.
Namun sejauh ini tidak ada tanda-tanda bahwa Amerika akan mengubah kebijakannya terhadap Suriah. Obama tidak ingin Amerika terlibat dalam perang berdarah dan dia terus mengabaikan seruan gerilyawan Suriah untuk melengkapi mereka dengan senjata.
Tugas Kerry adalah untuk meyakinkan Assad menggunakan jalan diplomasi. Assad tidak bisa menang dan semua pihak harus duduk untuk berbicara di meja perundingan. Ini adalah tujuan utama Kerry bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia, Lavrov di Berlin pada Rabu (26/2/2013).
Sementara itu, Rusia terus mencegah upaya Barat untuk mengganti rezim Assad. Moskow telah lama mendukung Assad dan berjanji akan terus mendukungnya. Moskow juga prihatin mengenai kemajuan Mujahidin dan takut bahwa negara tiran tersebut dapat berubah menjadi sesuatu yang menyerupai Chechnya (baca : Imarah Kaukasus-red).
Jika Moskow menolak untuk mendukung rezim Assad, maka rezim itu bisa runtuh dalam waktu singkat. Tetapi hingga saat ini belum jelas apakah Kremlin ingin membujuk Assad untuk mundur.
Selain itu, bahkan jika ia mundur, ada keprihatinan di kalangan Barat bahwa Suriah bisa terjun dalam “kekacauan” (kata ini mengacu kepada Negara Islam yang menerapkan Syariah Islam, menurut Orwellian newspeak, stabilitas adalah kekacauan-red).
Oleh karena itu, Menteri Luar Negeri AS sebelumnya, Hillary Clinton yakin Washington harus memasok senjata kepada gerilyawan Suriah yang mendukung demokrasi. Hal ini tidak hanya akan mempercepat jatuhnya rezim Assad tetapi juga akan memperkuat pengaruh kelompok demokrat dan akan mengambil Suriah di bawah kendali mereka.
Obama menolak proposal tersebut, karena takut senjata-senjata itu dapat digunakan untuk melawan Amerika sendiri. Untuk alasan yang sama, uni Eropa memblokir seruan Inggris untuk membatalkan embargo pada pengiriman senjata untuk gerilyawan non-Islamis.
Tetapi persenjataan terus datang. Rezim Assad dipersenjatai oleh Rusia dan Iran sedang oposisi dipersenjatai oleh Qatar dan Arab Saudi. Barat tidak melakukannya dan gerilyawan tidak mungkin melupakannya.
Untuk Amerika dan Eropa, biaya dari tidak adanya kebijakan yang dilakukan di Suriah akan menjadi lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, tulis The Times.
Perlu diingat bahwa informasi muncul di pers Barat yang mengatakan bahwa Saudi memberikan senjata berat untuk “gerilyawan moderat”, berusaha memperkuat kelompok pro-demokrasi sebagai lawan dari Mujahidin.
Persenjataan telah dikirim melintasi perbatasan Yordania ke provinsi Daraa dalam beberapa pekan terakhir.
Operasi ini bertentangan dengan strategi negara-negara yang terlibat dalam konflik Suriah, AS dan sekutu Eropanya, Turki, Uni Emirat Arab, Qatar dan Arab Saudi.
Musim panas tahun lalu, negara Barat tiba-tiba menyadari bahwa oposisi bersenjata menjadi lebih pro-Islam. Negara-negara yang disebutkan di atas segera menghentikan pasokan senjata kecil untuk para pemberontak.
Sekarang semuanya telah berubah. Seorang pejabat Arab yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan kepada The Washington Post :
“Idenya adalah untuk memberikan barang-barang berat, mengintensifkan pasokan dan pastikan ia pergi ke orang-orang yang ‘baik’. Jika Anda ingin melemahkan an-Nushrah, Anda melakukannya tidak dengan menghentikan pasokan senjata, tetapi dengan meningkatkan kekuatan kelompok lainnya.” (haninmazaya/arrahmah.com)