Kesedihan anggota keluarga kami selama tiga setengah tahun di mana ayah saya Abdul Qadir Mullah berada di balik jeruji, sungguh tak terlukiskan. Meskipun semua anggota keluarga kami memiliki kekuatan mental yang sangat besar, tapi kami semua sekarang benar-benar hancur.
Ini bukan pertama kalinya ayah saya ditahan, namun besarnya kesedihan kami saat ini adalah sangat luar biasa.
Saat-saat seperti ini, biasanya kegiatan kami: mengunjungi ayah di penjara di Kashimpur di distrik Gazipur pada hari Sabtu, mencoba untuk memenuhi semua kebutuhan dasarnya dari luar, karena ia memiliki masalah kesehatan, berjalan ke sana kemari untuk melanjutkan perlawanan hukum; berusaha berjuang dari ketidakmampuan kami untuk melakukan sesuatu yang berarti untuk melindungi dirinya yang tidak bersalah dari murka tirani, semua ini hampir melumpuhkan keluarga kami. Meskipun semuanya terasa berat, tapi senyum lembut dari wajah polos ayahku membuat segalanya terasa ringan.
“Tidak ada dendam Fisik“
Saya sering berada di luar negeri saat ayah dipenjara kali ini, dan saya tidak bisa berbuat banyak. Saya berada di luar negeri bahkan pada 10 Desember 2013 ketika otoritas penjara mengatakan kepada anggota keluarga kami untuk melakukan kunjungan terakhir kami ke ayah. Saya mengambil penerbangan langsung dan mencapai Dhaka pada pagi hari 11 Desember 2013.
Dalam perjalanan, saya berdoa kepada Allah agar Allah memberi saya kesempatan untuk melihat ayahku untuk terakhir kalinya. Segala puji bagi Allah bahwa Allah mengabulkan doa saya dan memberikan kesempatan itu.
Ketika kami pergi ke penjara lagi untuk melakukan kunjungan terakhir kami di malam hari, 12 Desember 2013, ayah saya memeluk saya dan berkata: “Tidak ada balas dendam fisik, kamu membalas dendam atas ketidakadilan yang dilakukan pada ayah dengan terlibat dalam gerakan Islam sehingga bisa membangun Islam.”
Ketika kami meninggalkan penjara, kami mengetahui bahwa ayahku akan dieksekusi pada malam itu. Otoritas penjara seharusnya menyerahkan jenazah ayah kepada kami, tetapi mereka tidak melakukannya. Lima belas anggota keluarga kami sudah siap untuk melakukan perjalanan ke rumah kami di Faridpur dimana otoritas penjara kemudian mengambil jenazah ayahku.
Keluarga kami dipukuli dan dipenjara
Kami semua sedang siap menunggu jenazah ayah di lantai bawah dari tempat tinggal kami. Pada saat itu pengacau dari beberapa partai berkuasa Liga Awami dengan buas menyerang kami dengan senjata tajam. Kemudian polisi mengepung kami yang saat itu dalam keadaan kaget. Mereka mulai memukuli kami! Kami dipukuli beberapa kali oleh polisi dan dipaksa masuk ke dalam mobil van polisi, kami semua khawatir bahwa kami akan dijadikan target penculikan.
Akhirnya, kami dibawa ke kantor polisi Ramna di Dhaka. Setelah beberapa jam, paman dari pihak ibu saya dan kakak saya datang ke kantor polisi dan membebaskan kami. Beberapa orang di antara kami ada yang terluka parah.
Ketika kami kembali ke rumah larut malam. Polisi telah menguburkan ayah saya buru-buru dan kami tidak boleh melihat jenazah ayah saya.
Bahkan dalam masyarakat biadab sekalipun, manusia tidak memperlakukan orang lain dalam cara yang biadab seperti ini. Ayahku mengambil tiket kelas pertama ke surga dan kami masih dibiarkan tinggal terdampar. Ya Allah! Beri kami kemampuan untuk memikul tanggung jawab besar yang ayah saya amanatkan pada kami!
*ditulis oleh putra Abdul Qadir Mullah, Hasan Maudud. Surat ini diterjemahkan dari website BD Today Bangladesh.
(ameera/arrahmah.com)