Asma al-Beltaji, seorang wanita berparas cantik yang mengambil bagian dalam aksi unjuk rasa menentang kudeta militer yang menggulingkan presiden Muhammad Mursi dan menjadi salah satu korban kebrutalan tentara junta, adalah seorang putri dari pemimpin Ikhwanul Muslimin (IM) Mesir, Mohammad al-Beltaji.
Setelah kematiannya oleh penembak jitu pada Rabu pekan lalu di kamp Rabaa al-Adawiyah, sang ayah mengungkapkan perasaannya kepada putrinya dan ia tuliskan dalam bentuk surat.
Berikut surat yang dituliskan oleh Mohammad al-Beltaji kepada putrinya yang telah syahid (in syaa Allah) mendahuluinya :
Putriku tercinta dan guru yang tak ternilai Asma al-Beltaji, saya tidak mengucapkan selamat tinggal kepadamu, saya katakan besok kita akan bertemu lagi.
Engkau telah hidup dengan kepala terangkat ke atas, melakukan pemberontakan melawan tirani dan belenggu dan mencintai kebebasan. Dengan diam engkau telah hidup sebagai seorang pencari cakrawala baru untuk membangun kembali bangsa ini sehingga mereka mempunyai tempat yang layak di antara peradaban.
Engkau tidak pernah menyibukkan diri dengan apa yang orang-orang seusiamu sibuk melakukannya. Meskipun pendidikan tradisional gagal memenuhi aspirasi dan ketertarikanmu, engkau selalu menjadi yang terbaik di dalam kelas.
Saya tidak memiliki cukup waktu yang berharga dalam hidup yang singkat ini, terutama waktu-waktu yang dihabiskan bersamamu. Terakhir kali kita duduk bersama di kamp Rabaa al-Adawiyah, engkaum mengatakan kepadaku : “bahkan ketika ayah bersama kami, ayah sibuk” dan saya katakan : “tampaknya kehidupan ini tidak cukup untuk kita nikmati bersama, jadi saya meminta kepada Allah agar kita bisa menikmatinya di surga”.
Dua malam sebelum engkau dibunuh, saya melihatmu dalam mimpi mengenakan gaun pengantin putih dan engkau terlihat begitu anggun. Ketika engkau duduk di sampingku, aku bertanya : “Apakah ini malam pernikahanmu?” Engkau menjawab : “Tidak bukan malam ini, tapi sore.” Ketika mereka bilang engkau dibunuh pada Rabu sore, aku mengerti apa yang engkau maksud dan aku tahu Allah telah menerima jiwamu sebagai syuhada. Engkau telah memperkuat keyakinanku bahwa kita berada di atas kebenaran dan musuh kita dalam kepalsuan.
Yang membuatku sakit adalah aku tidak bersamamu di saat terakhirmu dan aku tidak bisa melihat dan mencium dahimu untuk terakhir kalinya dan mendapat kehormatan melakukan sholat jenazah untukmu. Bukan, bukan karena aku takut untuk hidup di penjara atau terbunuh, tetapi engkau harus tahu bahwa aku tidak di sana untuk menyelesaikan revolusi ini, untuk menang dan mencapai tujuannya.
Jiwamu telah diangkat dengan kepala terangkat tinggi melawan tiran. Peluru telah memukul dadamu. Ada tekad dan jiwa yang besar dalam dirimu. Aku percaya bahwa engkau setia pada janji Allah dan Dia pun setia kepada janji-Nya untukmu. Itulah mengapa bukan kami yang diberikan syahid ini, melainkan engkau.
Putriku dan guruku tercinta…..
Saya tidak akan mengucapkan selamat tinggal kepadamu. Kita akan segera bertemu dengan Nabi kita tercinta dan para sahabatnya di tepi kolam Surga Kautsar dan itu adalah pertemuan dimana kita bisa memliki satu sama lain. (haninmazaya/arrahmah.com)