Jumat (20/5) telah dideklarasikan sebuah majelis yang menaungi dua sekte dalam Islam, Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni) dan Syi’ah. Majelis yang dimotori oleh PP DMI dan PP IJABI ini dideklarasikan dengan nama MUHSIN yang merupakan kepanjangan dari Majelis Ukhuwah Sunni Syiah Indonesia. Walaupun, belakangan PP DMI menolak keterlibatan dalam deklarasi ini, namun tetap bahwa keterlibatan kader DMI yang notabene merupakan seorang Sunni dapat menjadi syubhat bagi masyarakat awam.
Deklarasi ukhuwah dua sekte besar Islam ini merupakan deklarasi yang pertama kali dilakukan di dunia. Nusantara telah menjadi saksi kejahilan umat muslim di negeri ini. Apakah warga muslim sunni yang terlibat dalam deklarasi ini tidak tahu hakikat syi’ah..? Atau hal ini merupakan sebuah konspirasi yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dalam mengaburkan al haqq dan mencampur baurkannya dengan al bathil..?
H. Daud Poliradja (Ketua Departemen Kepemudaan PP DMI) berkata dalam deklarasi MUSHIN di Jakarta, “Kami yakin Sunni-Syiah bisa bersatu dalam bingkai kebhineka-an tanpa memandang aspek Fikih.” (sabili.co.id, 24/05/11).
Sebagai seorang intelektual, seharusnya Daud Poliradja memahami dengan benar hakikat syi’ah yang sebenarnya dan perbedaan di antara sunni dan syi’ah bukan merupakan perbedaan madzhab fikih belaka. Lebih dari itu, sunni dan syi’ah berbeda keyakinan dalam hal-hal yang fundamental (aqidah).
SIAPAKAH SYI’AH?
Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji).
Adapun menurut terminologi syariat, Ibnu Hazm telah memberikan definisi yang mudah difahami: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113).
Asy Syahrastani menyatakan bahwa syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147).
Adapun syi’ah yang tergabung dalam organisasi IJABI merupakan syi’ah imamiyah atau dikenal juga dengan nama syi’ah 12 imam. Sedangkan ulama ahlus sunnah biasa menyebut kelompok ini dengan sebutan rafidhah. Kelompok inilah yang merupakan kelompok mayoritas dan masih tersebar hingga kini, bahkan mereka telah memiliki sebuah negara dan pemerintahan di Iran.
MENCELA DAN MENGKAFIRKAN SAHABAT NABI
Di antara perbedaan yang mendasar antara sunni dengan syi’ah adalah pendapat dan keyakinan kedua sekte ini tentang kedudukan para sahabat Nabi. Diriwayatkan oleh seorang ulama syi’ah Al-Kisysyi dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hal. 12-13), dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) bahwa ia berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata: “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.” Kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi’ah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyariyyah Fi Mizanil Islam, hal. 89).
Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.” (Al-Kafi, 8/248, dinukil dari Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 45, karya Ihsan Ilahi Dzahir). Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini Al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 46).
Bahkan dalam sebuah ceramah, seorang ulama syi’ah di Iran mencela Ummul Mu’minin ‘A’isyah dengan mengatakan bahwa sebutan al humaira (kemerah-merahan) yang diberikan Nabi kepada ‘A’isyah bukanlah berasal dari kata “al hamra” (merah), tapi berasal dari kata al himar (keledai), sehingga al humaira tidak diartikan sebagai “yang kemerah-merahan” namun menjadi “yang seperti keledai”. Na’udzubillah.
Tidaklah salah kemudian bila kita mengatakan bahwa keyakinan syi’ah lebih buruk daripada Yahudi dan Nashrani. Jika kita tanyakan kepada orang-orang Yahudi: siapakah orang terbaik dalam agama kalian? Maka tentulah mereka akan menjawab: sahabat-sahabat Musa. Dan umat Islam menyepakatinya. Jika kita tanyakan kepada orang-orang Nashrani: siapakah orang-orang terbaik dalam agama kalian? Maka pasti mereka akan menjawab: sahabat-sahabat Isa. Namun, jika kita bertanya kepada orang-orang syi’ah: siapakah orang-orang terburuk dalam agama kalian? Maka mereka akan menjawab: para sahabat Nabi. Maka, apakah ada yang lebih buruk daripada pemahaman seperti ini dalam menilai kedudukan para sahabat Nabi?
PENDAPAT ULAMA AHLUS SUNNAH TENTANG SYI’AH
Ulama ahlus sunnah telah menyepakati kesesatan syi’ah sejak lama. Di antara ulama ahlus sunnah yang menyatakan keburukan sekte syi’ah rafidhah adalah:
- Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar, beliau berkata: “Ia telah kafir kepada Allah.” Kemudian ditanya: “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata: “Tidak, tiada kehormatan (baginya)”. (Siyar A’lamin Nubala, 7/253).
- Al Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar al Marwadzi, katanya: “Saya mendengar Abu Abdullah berkata, bahwa Imam Malik berkata: “Orang yang mencela shahabat-shahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam golongan Islam.”
- Dari Yunus bin Abdila’la, beliau berkata: “Saya telah mendengar Imam Asy-Syafi’i, apabila disebut nama syi’ah rafidhah, maka ia mencelanya dengan sangat keras, dan berkata: kelompok terburuk.” (Al Manâqib, karya al Baihaqiy 1/468)
- Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam.” (As-Sunnah, 1/493, karya Al-Khallal).
- Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal. 125).
Serta masih banyak lagi pendapat ulama ahlus sunnah tentang kesesatan dan keburukan syi’ah. Maka, apakah mungkin sunni dan syi’ah bersatu? Apakah mungkin kelompok orang-orang yang memuliakan para sahabat bisa bernaung bersama orang-orang yang menghinakan mereka..?
Apalagi, jika kita telusuri lagi berbagai macam kesesatan syi’ah lainnya, maka kita tidak akan pernah menemukan sehelai benang merah pun yang dapat mengikat ukhuwah antara sunni dan syi’ah, karena selama keyakinan syi’ah belum berubah dan mereka belum bertaubat atas segala macam bentuk kesesatannya, maka selama itu pula pertentangan dan permusuhan di antara sunni dan syi’ah. Wallahu a’lam.
Al Fadhli
Penulis adalah Ketua Mahasiswa Pecinta Islam (MPI) Bandung