CAMBRIDGE (Arrahmah.com) – Seorang gadis Muslimah kecil berusia tiga belas tahun telah menyuarakan jeritan hatinya terhadap Islamophobia yang dia alami setiap hari dalam hidupnya dan juga di sekolahnya, dan dia meminta kepada pihak sekolah untuk menawarkan keragaman mengajar untuk memperbaiki kesalahpahaman yang tersebar di media.
“Saya menghadapi stereotip ini setiap hari karena saya seorang gadis Muslimah. Itu yang saya alami,” Sumaiya Mahee mengatakan kepada Metro.us, sebagaimana dilansir oleh onislam, Rabu (10/6/2015).
“Menulis tentang ini menguatkan rasa percaya diri saya karena itu memberi saya cara untuk mengatasi stereotip yang saya hadapi. Ketika saya mulai berbicara tentang hal itu, saya menyadari bahwa saya tidak sendirian dan bahwa anak-anak lainnya mengalami hal yang sama.“
Hidup di kota yang beragam dan progresif sebagai Cambridge, Massachusetts, Mahee merasa tidak aman dari prasangka yang dialami setiap hari akibat agama yang dianutnya.
Dia kemudian menuliskan apa yang dialaminya sehari-hari dalam sebuah easi. Ia menulis esai yang berjudul, “You’re Not Who You Say You Are: Beyond the Single Story,”. Tulisan tersebut dibuatnya dalam sebuah tugas sekolah di Kennedy–Longfellow School.
Tulisan tersebut kemudian menyebar di media sosial dan diterbitkan dalam sesi Public Radio International’s Global Nation Education. Tulisan yang dibuat Mahee menunjukkan kesadaran diri dan pengetahuan budayanya yang jauh melampaui usia sekolahnya.
“Sulit untuk menerima karena saya dipandang sebagai teroris oleh orang. Sulit untuk menerima karena saya bukan tipe orang yang akan menyakiti seseorang,” ungkap Mahee.
Dia menulis dalam esainya, “menurut masyarakat dan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, saya bukan saya yang sebenarnya,” identitas eksternal yang telah dipaksakan pada anak Muslim.
“Tujuan saya adalah untuk terus berusaha memperbaiki stereotip ini,” kata Mahee.
“Saya tidak ingin anak-anak Muslim lainnya tumbuh dan harus menghadapi hal itu dan tidak bisa melakukan apa-apa.“
Mahee menulis tentang perlakukan buruk yang harus dihadapi setiap hari dimana hal itu sudah tidak bisa ditolerir lagi.
Peristiwa itu terjadi ketika ia, kakaknya dan temannya dalam perjalanan pulang dari masjid pada suatu malam dengan memakai kerudung, pada saat itu ada dua orang yang mentertawakan mereka dan berkata, “Bahaya! Ada Muslim! “
Mahee kemudian berteriak, “Tunggu sampai kami datang ke hadapan kalian! kalian tidak akan bertahan lebih lama lagi!”
Bagi Mahee yang masih berusia muda itu, media yang harus disalahkan atas terjadinya peningkatan sentimen anti-Muslim dimana media sering menggambarkan Muslim sebagai teroris.
“Jika seseorang menyebut saya seorang teroris, saya tidak akan memilih tindakan yang telah saya pilih. Saya akan memberitahu anak-anak Muslim lain untuk memberitahu orang-orang seperti apa Muslim yang sebenarnya,” kata Mahee.
“Muslim ditampilkan di TV sebagai teroris dan itu membuat orang berpikir bahwa itulah Muslim yang sebenarnya.”
Tulisan Mahee mengejutkan guru bahasa Inggrisnya yang menolak kenaikan sentimen anti–Muslim.
“Saya terkejut ketika saya pertama kali membaca ini,” kata guru bahasa Inggrisnya, Woodly Pierre–Louis.
“Ini dia, seorang gadis kecil kecil dan hal itu membuatku terkejut bahwa orang-orang bisa melihat dia sebagai ancaman atau target ejekan. Saya sama sekali tidak percaya ada orang yang berkomentar seperti itu.“
Mahee percaya bahwa sekolah harus mulai mengajarkan keragaman dan mendorong siswa untuk melakukan dialog secara terbuka untuk menumbuhkan peleburan budaya yang nyata.
“Dibutuhkan waktu lama untuk mengubah pola pikir masyarakat,” kata Mahee.
“Sekolah harus memberikan kepada siswa cara untuk melihat bahwa kita melalui hal yang sama meskipun kita memiliki latar belakang yang berbeda. Itu langkah pertama dalam membuat perubahan,” ungkapnya.
(ameera/arrahmah.com)