Oleh Abu Rasyidah
(Pemerhati Sosial Politik Indonesia)
(Arrahmah.com) – Sorotan tajam Barat kafir muharibban fi’lan beserta pengikut-pengikutnya penuh dengan Islamophobia, menyerang Sultan Brunei Darussalam karena penerapan hudud di negaranya. Sebuah penerapan syariah yang agak berbeda dengan Aceh. Antara sebuah negara dengan propinsi. Dan menjadi inspirasi bahwa perjuangan islam di jaman sekarang tidak saja bisa dilakukan oleh individu dan kelompok. Melainkan bisa juga dilakukan oleh kepala daerah bahkan kepala negara. Terlepas dari perdebatan fiqih tentang kesempurnaan penerapan hudud. Sah atau tidaknya jika dijalankan oleh pemimpin negara bukan khalifah.
Apalagi hudud yang dilakukan oleh individu atau kelompok. Tetapi apa yang dilakukan oleh Sultan Brunei patutlah diapresiasi. Sebagaimana perlu diapresiasinya setiap perundang-undangan di negeri ini yang membawa spirit dan substansi penerapan syariah. Membuka cakrawala pemikiran umat bahwa dakwah penerapan syariah jika dilakukan oleh pemegang kekuasaan negara akan berjalan efektif dan optimal. Sebagaimana tujuan perjuangan islam hakiki ke arah terantarnya penerapan syariah kaffah oleh kekuasaan negara. Sebuah sistem kekuasaan yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya dan Tuhannya, hubungan manusia dengan yang lain serta hubungan manusia dengan negara. Intinya penerapan syariah mencakup semua aspek kehidupan manusia.
Ada beberapa fenomena di seputar langkah Sultan Brunei menerapkan hudud yang menarik disorot. Persoalan Pertama, peta konstelasi opini terhadap langkah Sultan Brunei. Terutama dukungan opini umat islam khususnya oleh gerakan-gerakan/organisasi-organisasi islam. Persoalan Kedua, perdebatan fiqih di seputar penerapan hudud yang berimplikasi pada seberapa tingkat dukungan opini umat Islam terhadap langkah Sultan Brunei.
Tidak bisa dipungkiri, setiap perjuangan ke arah terantarnya tujuan kemenangan, masalah terbesar yang dihadapi oleh umat islam adalah soal persatuan. Yakni persatuan yang menjadi kekuatan mewujudkan kekuasaan penerapan syariah kaffah. Maupun persatuan yang dibangun pasca penerapan syariah kaffah berhasil diwujudkan. Pada level dunia misalnya bagaimana menyatukan visi dan misi perjuangan jihad kaum muslimin di Suriah. Di tengah masifnya operasi penyusupan untuk memporak porandakan kekuatan para mujahidin. Di Indonesia, koalisi parpol islam yang tidak terwujud karena dikalahkan oleh kepentingan atau ego parpol. Ini menunjukkan sebagian fakta begitu pentingnya persatuan umat Islam.
Persoalan Pertama, dalam konteks fenomena Sultan Brunei, opini dunia terbelah menjadi 2 bagian :Pertama, yang tidak setuju dan menyerang langkah Sultan Brunei dibawah komando Barat (AS) bersama sekutu-sekutunya. Dipenuhi dengan kebencian bercampur ketakutan pada islam yang disinyalir akan muncul dan bangkit menjadi kekuatan negara. Serangan mengatasnamakan perlindungan atas ancaman kebebasan hak-hak asasi manusia yang sarat dengan prasangka buruk terhadap islam. Barat diwakili oleh PBB diikuti oleh para selebritis barat mengarahkan opini dunia menyerang langkah Sultan Brunei bahkan sampai pada tingkat fisik.
Misalnya melakukan sabotase terhadap aset-aset negara milik Brunei Darussalam di luar negeri. Sebuah pemandangan yang berbeda dengan kondisi perlakuan terhadap aset-aset kafir muharibban fi’lan AS bersama sekutu-sekutunya laknatulloh yang jelas-jelas menyerang, menghancurkan dan menjajah secara militer, ekonomi, politik, sosial dan budaya di negeri-negeri muslim. Jangankan disabotase melainkan malah dilindungi oleh kekuatan dan kekuasaan negara. Ironisnya, bahkan Sultan dibiarkan sendirian melakukan perlawanan dengan pembelaan terhadap barat. Tidak keluar sebutirpun mutiara pembelaan yang keluar dari mulut para tokoh-tokoh islam. Biasanya sorotan tajam itu juga diikuti oleh para pegiat HAM di negeri ini.
Siapa lagi kalau bukan diantaranya adalah JOL (Jaringan Orang Liberalis). Dan sorotan itu juga diback up oleh berbagai media-media barat mainstream baik cetak maupun online. Dalam pusaran perang opini seperti itu, maka kelompok-kelompok islam yang wait and see dengan mempertanyakan apakah langkah Sultan benar-benar ke arah tujuan penerapan syariah secara kaffah atau bukan pada akhirnya larut dalam gelombang yang melemahkan langkah Sang Sultan. Karena cenderung tidak ada sikap politik yang jelas dalam bentuk dukungan terhadap kebijakan politik Sultan yang sangat menggetarkan barat. Harusnya apa yang dilakukan Sultan menjadi inspiring terutama bagi negeri ini sebagai negara tetangga yang berpenduduk mayoritas muslim dan memiliki kedekatan geografi-kultur.
Kedua, adalah opini yang mendukung bahkan melakukan pembelaan terhadap kebijakan sang Sultan. Naifnya pembelaan opini ini hanya dilakukan oleh beberapa gelintir media Islam terutama media online. Sehingga suaranya kecil terdengar dibanding suara opini yang menyerang oleh media-media barat mainstream sekuler. Menjadi sepi juga karena media-media mainstream di negeri ini juga diam seribu bahasa. Padahal tidak jarang media-media mainstream di negeri ini dimiliki juga oleh kaum muslimin. Dan mestinya karakter berbagai elemen umat Islam terhadap setiap fenomena penerapan syariah adalah saling menopang satu sama lain. Bukan kemudian saling melemahkan.
Apalagi terjebak dan terkotak pada perasaan mementingkan kelompoknya. Perlu kesadaran umum tentang pentingnya membangun ukuwah islamiyah terutama dalam konteks perjuangan penegakkan syariah secara kaffah. Tanpa melihat dari mana latar belakang negara, daerah, kelompok dan individunya. Saling menghormati. Saling menghargai. Saling menyayangi. Mengedepankan berpikir positip. Kecuali ditemukan fakta politik di balik fenomena penegakkan syariah tersebut hanya menjadi dalih kamuflase untuk menjelek-jelekkan citra islam di tengah cengkeraman kehidupan kapitalis sekuler saat ini. Disinilah kreatifitas perjuangan umat Islam dituntut.
Di satu sisi senantiasa terus membangun kesolidan internal dengan ukuwah islamiyah. Di sisi yang lain harus pandai memetakan skenario, makar, tipudaya yang dilakukan oleh musuh-musuh islam yang senantiasa menyesatkan dan menghancurkan Islam.
Kedua, dari aspek penafsiran fiqih persoalan sah atau tidaknya penerapan hudud yang dilakukan oleh penguasa bukan imam/khalifah dalam sistem khilafah. Karena kesimpulan sah atau tidaknya akan berimplikasi kepada penafikkan/pengabaian atau apresiasi terhadap langkah penerapan syariah. Meski belum sepenuhnya diterapkan secara kaffah. Atau sebagai langkah awal/tahapan untuk menerapkan syariah di semua aspek kehidupan. Di bawah dominasi dan pengaruh besar kungkungan sistem thogut ekonomi kapitalis dan pemerintahan demokrasi.
Di tengah kekhawatiran pembelokkan kesadaran umum umat bahwa penerapan syariah secara kaffah mustahil tanpa melalui institusi yang kompatible dari sisi empiris, historis, dan yuridis yakni “khilafah”. Tetapi jika ada penguasa negara yang berkeinginan dengan kekuasaannya menerapkan hukum syara’ sebagai tahapan penyempurnaan penerapan hukum syara’ menyeluruh sebagaimana upaya menyempurnakan keterikatan hukum syara’ oleh seorang individu atau kelompok muslim. Lalu dianggap tidak sah. Ini sebuah kesimpulan yang bisa jadi benar tapi kurang elok.
Seperti peribahasa Jawa “Bener Ning Ora Pener“.Sudah benar merujuk dalil-dalil syara’ tetapi membuka celah penafsiran yang berbeda pemahaman terhadap fakta. Tentu dibutuhkan pemikiran yang jernih dan komprehensif melihat persoalan ini. Dengan mempertimbangkan sudut pandang tidak saja tasyri’i melainkan juga siyasiy. Sehingga tercipta kondisi opini yang berangkat dari akar kajian mendalam fiqih dan dengan mempertimbangkan kemaslahatan masa depan perjuangan islam ke depan menuju kemenangan.
Secara khusus, khasanah fiqih tentang hudud salah satunya dijelaskan oleh aktifis Islam Ust Hafidz Abdurrahman dalam sebuah ulasannya yang dimuat oleh salah satu media online islam pada 4 Maret 2014 dengan judul “Sahkah pelaksanaan hudud bukan oleh khalifah”. Dijelaskan bahwa sahnya pelaksanaan hudud hanya boleh dilakukan oleh khalifah berdasarkan pada dalil-dalil syara’ antara lain :Pertama, bahwa penerapan hudud hanya boleh dilakukan penguasa negara yang menegakkan syariah Allah melalui mekanisme pengadilan. Kedua, bahwa penguasa negara yang memiliki kewenangan menerapkan hudud adalah penguasa dalam sistem negara islam yang disebut dengan imam/khalifah.
Sebagaimana pendapat sebagian ulama mu’tabar antara lain Ibnu Taymiyah, Al-Qurthubi, Imam asy-Syafi’iy dan Ibn Qudamah. Ketiga, bahwa penerapan hudud menjadi kesatuan tidak terpisah dari penerapan syariah yang lain. Karena Islam menuntut umatnya untuk menjalankan ajarannya secara kaffah tidak ditoleriir penerapan syariah sebagian saja. Selain itu penerapan hudud secara berdiri sendiri tanpa dibarengi dengan penerapan syariah yang lain sebagai kesatuan sistem islam akan menyebabkan kaburnya gambaran Islam secara utuh.
Jika memang demikian ketentuan syara’ berkaitan dengan penerapan hudud maka dalam konteks Sultan Brunei ada beberapa hal yang penting disikapi secara bijak antara lain :
Pertama, penjelasan Ust Hafidz Abdurrahman sebagaimana di atas sebenarnya dijelaskan untuk menjawab pertanyaan sah atau tidak hudud dilakukan oleh individu atau kelompok. Bukan oleh negara. Namun kesimpulannya walaupun oleh negara tetapi bukan negara islam (khilafah) maka dianggap batil. Tapi yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa Brunei Darussalam sebagai sebuah entitas negara tidak bisa disamakan dengan Saudi Arabia yang menerapkan sistem monarchi.
Dimana banyak ketidak syar’iyyan Saudi Arabia sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Adilah Al-Qoth’iyyah ‘ala ‘Adami Syar’iyyati Ad-Duwailati As-Su’udiyyah karya Muhammad bin Abdillah Al-Mas’ariy. Dan bagaimana jika ini diyakini sebagai bagian dari dakwah yang dilakukan oleh penguasa. Penerapan hudud saja menuai badai penolakan. Apalagi penerapan syariah kaffah dalam bingkai khilafah tentu bukan hanya badai tetapi gelombang tsunami penolakan dari berbagai arah. Dalam konteks perang opini perlu pengelolaan opini yang menguntungkan islam di satu sisi namun juga aktifitas interaksi dengan penguasa Brunei Darassalam untuk mendorong penerapan syariah secara kaffah di sisi yang lain. Tidak berhenti hanya menjelaskan ketentuan hukumnya.
Kedua, syarat pelaksanaan hudud adalah dilakukan oleh penguasa yang menerapkan syariat islam yang disebut oleh sebagian ulama’ muta’bar sebagai seorang imam/khalifah. Sebuah istilah syar’i yang merujuk kepada sistem islam namanya khilafah islamiyah. Pertanyaannya apakah jika Sultan Brunei seorang kepala negara yang menerapkan hudud sebagai ikhtiar tahapan penerapan syariah secara kaffah dianggap sebagai sebuah kebatilan. Maka dalam konteks peta konstelasi opini dunia meski sudah benar secara syar’i tetapi opini tersebut sejalan atau searah dengan gelombang penolakan dan penyerangan penerapan hudud oleh Sultan Brunei.
Di bawah komando barat (AS) laknatulloh. Inilah dilema perjuangan islam di belantara perang pemikiran dan politik. Dan yang perlu dipahami dan disepakati adalah bahwa seruan syara’ yang menjadi “kalimat yang sama” di antara para pejuang islam sebagaimana banyak dijelaskan di dalam kitabulloh Al-Qur’anul Kariim dan Al Hadits adalah bahwa penerapan syariah secara kaffah sebagai tujuan perjuangan islam untuk meraih keridloan Allah Subhanahu Wa Ta’alla semata.
Wallahu a’lam bis showab.
(arrahmah.com)