Ingatkah ketika kecil dahulu kita pernah menghafalkan nama-nama bulan dalam perhitungan tahun Hijriyah? Dalam masa itu, kuat daya ingat kita sehingga dengan fasih kita melontarkannya ketika diminta untuk menyebutkan.
Muharram, Shafar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqo’dah, dan Dzulhijjah. Semuanya lengkap terjawab beserta urutannya yang sesuai. Namun kini, cobalah kita bertanya kepada beberapa orang yang ada di sekitar kita—berapakah yang menjawab sempurna? Atau pertanyaannya, berapakah orang yang menggeleng tanda tak tahu?
Sebagian besar mungkin akan mengernyitkan dahi: Apa pentingnya? Toh umat juga sudah terbiasa menerapkan kalender Masehi dalam segala kepentingan sehari-hari. Meskipun saya masih dapat menyebutkannya tapi kan tetap tak terpakai? Begitulah respon bagi mereka yang sempat melemparkan hujjahnya.
Secara fakta, memang benar demikian. Coba perhatikan, mulai dari lembaga perbankan, lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan, hingga perniagaan—semuanya memang benar menerapkan sistem penanggalan Masehi dan hal itu telah lama berlaku bagi seluruh dunia. Tapi pernahkah kita memikirkan mengapakah hal itu bisa terjadi? Bahwa sistem yang diakui adalah sistem yang dibuat oleh orang di luar Islam. Coba camkan sejenak—betapa hebatnya sistem tersebut hingga seluruh dunia patuh mempraktekkannya dalam setiap lini lifetime mereka…
Wahai ikhwan, sesungguhnya sistem itu adalah sesuatu yang sengaja untuk dibuat,dan setiap sistem yang dibuat memiliki visi dan misi, tentu saja karena sistem dibuat oleh kaum kafir maka sudah jelas tujuannya untuk memalingkan umat Islam dari syariah Islam dan menggantikannya dengan syariah jahiliayah. Sistem itu begitu lumrah karena diperaktikkan disemua lini kehidupan. Sebagai umat Islam yang cita Islam, coba flashback lagi ke masa kecil, bukankah tugas kita hanya menghafal nama-nama bulan Hijriyah dan tidak dibiasakan untuk menggunakannya?
Begitu pun apa yang terdapat di dinding-dinding rumah kita, setiap tahun berganti—kalender Masehi kembali lagi. Beberapa waktu lalu, pernah seseorang membagi-bagikan secara cuma-cuma kalender Hijriyyah, tapi respon yang didapat tak sebagus tujuan dakwah yang ingin dicapai. Mereka yang diberi malah melontarkan keluhan yang beragam, diantaranya, “Wah, terimakasih, ya. Tapi kayaknya saya nggak ngerti cara melihat tanggalnya, tuh!”, “Aduh, di rumah saya—kalender seperti ini nggak kepake, mas. Soalnya, malah bikin pusing…”, bahkan ada yang terang-terangan menolak dengan mengatakan, “Ada yang kalender Masehi aja, nggak? Kalau ini bikin bingung karena ada tulisan Arabnya segala…” Keadaan lain pernah saya temukan di beberapa rumah yang pemiliknya muslim, kalender Hijriyyah memang terdapat disana tapi lembaran bulannya masih menunjukkan beberapa bulan yang telah lewat—itu artinya ia dibiarkan tak terperhatikan. Atau di tempat yang berbeda malah tertutupi kalender Masehi. Yang sangat jelas, ia tak sepopuler karya cipta kaum kafir itu.
Untuk diketahui, tahun Hijriyyah mulai diterapkan oleh Umar bin Khattab di masa kepemimpinannya yaitu tahun 13-23 Hijriyyah. Beliau memprakarsai penetapan perhitungan tahun yang didasarkan kepada peredaran bulan, sehingga terdapatlah dua pembagian jumlah hari dalam setiap bulannya yaitu bulan ganjil dan bulan genap. Sementara sahabat yang memiliki gagasan untuk memilih momentum hijrah sebagai landasan dalam membuat penanggalan Islam tersebut adalah Ali bin Abi Thalib. Kalau saja, penamaan sistem penanggalan tersebut diarahkan kepada masa pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu, bisa saja dinamakan Tahun Khalifah Umar. Seperti tahun Masehi yang diambil dari gelaran nabi Isa bin Maryam yang dipertuhan oleh umat Nasrani atau seperti tahun Saka di Jawa yang diperoleh dari nama seorang rajanya yang bernama Aji Saka. Hal ini merupakan pertanda juga bahwa Islam mengajarkan untuk tidak ghuluw atau berlebih-lebihan pada sesuatu yang bersifat pengkultusan terhadap seseorang dan menutup celah yang bisa mendatangkan kemusyrikan.
Hijrah Rasulullah beserta kaum Muhajirin dari bumi Mekkah ke Madinah merupakan momentum sejarah yang teramat penting bagi perkembangan Islam selanjutnya. Terlebih setelah peristiwa eksodus tersebut kemajuan dunia Islam bisa mencapai kejayaannya, sehingga hal inilah yang menjadi pondasi yang tepat bagi penamaan tahun Islam.
Berkaitan dengan bulan-bulan Islam, Allah Ta’ala dalam firman-Nya yang berbunyi;
Artinya, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah duabelas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. at-Taubah, 9:36)
Empat bulan haram yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Allah memasukkan keempat bulan itu dalam kelompok bulan-bulan haram dikarenakan pada bulan tersebut terdapat pelarangan untuk berperang, membunuh, dan melakukan perbuatan maksiat lainnya, bukanlah pula berarti perbuatan maksiat boleh dilakukan di luar ke-empat bulan itu, akan tetapi ganjaran dosa yang diancamkan jauh lebih besar.
Kembali kepada sistem yang digunakan dalam perhitungan tahun Hijriyyah yaitu didasarkan pada peredaran bulan. Menurut peredaran bulan, jumlah hari-hari dalam satu tahun terdapat 354,36705 hari dibagi 12 bulan sehingga menjadi sekitar 29,530588 hari. Dari perhitungan tersebut maka terbentuklah bulan genap dan bulan ganjil. Dalam sebuah hadits periwayatan Imam Bukhari, Rasulullah bersabda yang artinya, “Bershaumlah dan berbukalah karena melihat bulan. Jika keadaan tertutup mendung sehingga tak dapat melihatnya maka sempurnakanlah Sya’ban menjadi 30 hari.” Keadaan yang disebutkan pada hadits tersebut yaitu menunjukkan bulan yang tak sempurna adalah yang terdiri dari 29 hari dan bulan yang sempurna adalah yang 30 hari.
Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah lil buhutsil ‘ilmiyyah wal ifta’ yaitu Komisi Tetap untuk pembahasan ilmiah dan fatwa kerajaan Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa no. 2072 tentang hukum menggunakan kalender Masehi yaitu tidak boleh bagi kaum muslimin menggunakan kalender Masehi karena sesungguhnya hal tersebut merupakan tasyabbuh kepada orang-orang Nashara dan hal itu termasuk kepada syi’ar agama mereka. Dan kaum Muslimin diharamkan mengikuti syi’ar orang-orang kafir. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang larangan keras mengikuti syi’ar orang kafir. Dari Abu Munib,dari Ibnu Umar R.A, dia menceriterakan, Rasulullah saw bersabda: “Aku diutus menjelang kiamat dengan membawa pedang sehingga hanya Allah saja diibadati yang tiada sekutu bagi Nya. Rezkiku dijadikan dibawah naungan tombakku. Kehinaan dan kerendahan dijadikan kepada orang-orang yang menentang perintahku. Dan barang siapa menyerupai suatu kaum,maka dia termasuk golongan mereka”.
Dari penjelasan dan keterangan hadits ini sepatutnya kaum Muslim segera beralih kepada Kalender Islam, kita saksikan ditahun baru masehi yang baru saja berlalu, kita saksikan banyak orang Islam bergembira dengan tahun baru dan ikut pula merayakannya,sadarkah mereka tahun barau apa ini? Kalender apa yang dipakai selama ini, bukankah kita mempunyai kalender hijrah, mengapa kita mengabaikannhya? Cinta Islam harus ditumbuh suburkan,Izzah Islam harus dikobarkan, umat Islam hanya bisa mulia kembali jika kita semua kembali menghidupkan nilai-nilai sejarah dalam keluarga dan masyarakat kita. Otak yang telah dikotori oleh materialisme, sekularisme, pluralisme, liberalisme (sepilis), hedonisme harus segera dicuci ulang dengan Islam. Adakah kalender islam dirumah anda?
Ketahuilah bahwa Islam itu bersifat totalitas, pun termasuk dalam sistem penanggalan karena hal tersebut yang telah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah saw. Sementara Rasulullah sendiri menyatakan dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa barangsiapa berusaha menyerupai suatu kaum maka ia masuk dalam golongan kaum tersebut. Beliau selalu menyelisihi apa-apa yang menjadi ciri umat dari luar Islam, oleh karena itu bagi kita sebagai umatnya, mari selisihi syi’ar-syi’ar mereka dan mari mulai sekarang. Wallahu ‘alam bishawwab. (Ghomidiyah)