Oleh: Ustadz Budi Ashari, Lc.
(Arrahmah.com) – Ya’qub bin Ibrahim (w: 182 H) atau yang lebih dikenal dengan Abu Yusuf adalah murid terdekat dan terbaik Imam Abu Hanifah –rahimahumallah-, yang dikenal sebagai Pemimpin para Qodhi (hakim).
Orang besar ini tidak datang tiba-tiba. Penuh perjuangan. Menarik, menyimak perjalanan masa lalunya yang unik.
Abu Yusuf berasal dari keluarga miskin. Suatu hari ia terlihat duduk di majlis Imam Abu Hanifah. Ayahnya Abu Yusuf berkata kepadanya, “Kamu jangan duduk di majlis Abu Hanifah, adapun dia rotinya dipanggang (maksudnya: orang kaya), sementara kamu perlu mencari kehidupan.”
Sejak itu Abu Yusuf menghilang dari majlis ilmu Abu Hanifah. Sang Imam mencari-cari. Setelah sekian lama, Abu Yusuf datang lagi.
Dia ditanya, “Mengapa kau menghilang dari kami?”
“Saya sibuk mencari uang dan taat kepada ayahku.” Jawabnya pada Abu Hanifah
Hari itu Abu Yusuf duduk di majlis tersebut hingga seluruh murid bubar. Abu Hanifah menyerahkan sekantong uang, “Nikmati ini.” Ternyata isinya 100 Dirham. “Tetaplah di majlis ini, jika uang itu telah habis sampaikan kepada saya,” lanjut Abu Hanifah. Begitulah dan 100 Dirham berikut pun diberikan di kesempatan lain. Dan ternyata Abu Hanifah memperhatikan betul kapan uang itu habis, tanpa diberitahu.
Ayah Abu Yusuf pun meninggal, Abu Yusuf masih kecil. Ibunya menyerahkan kepada tukang jahit pakaian agar bekerja padanya. Tetapi Abu Yusuf lebih memilih duduk di majlis ilmu Abu Hanifah. Hingga ibunya harus menemui Abu Hanifah dan protes, “Anak ini yatim dan miskin tidak bisa makan kecuali bekerja. Dan Anda sudah merusaknya.”
Abu Hanifah tegas menjawab, “Diamlah hai bu, dia ini sedang belajar ilmu. Kelak ia akan makan Faludzaj (makanan mahal orang-orang kaya dan istana) dengan minyak Fustuq di piring Fairuzaj (yang terbuat dari batu mulia berwarna kebiruan yang sangat indah)
Ibu itu marah, “Anda ini kakek tua yang sudah pikun!”
***
Waktu berlalu…
Abu Yusuf terus tumbuh dalam majlis Abu Hanifah. Hingga ia menjadi pakar ilmu tiada tanding di zamannya. Dan mendapatkan amanah menjadi hakim tertinggi di kekhilafahan.
Suatu hari di majlis Khalifah Harun Ar Rasyid, disuguhkan Faludzaj di piring Fairuzaj.
“Makanlah, makanan ini tidak dibuat setiap saat,” kata khalifah mempersilakan.
Abu Yusuf yang tidak tahu bertanya, “Apa ini wahai amirul mu’minin?”
“Ini Faludzaj.”
Abu Yusuf tersenyum. Senyum yang membuat khalifah penasaran. “Sampaikan kepada saya mengapa Anda tersenyum,” desak khalifah.
Abu Yusuf pun menceritakan kisah kecilnya. Kemudian berkata,
“ILMU ITU MEMBERI MANFAAT DAN MENGANGKAT DI DUNIA DAN DI AKHIRAT.”
Dan akhirnya berkata,
“SEMOGA ALLAH MERAHMATI ABU HANIFAH, BELIAU MELIHAT DENGAN MATA AKALNYA APA YANG TIDAK BISA DILIHAT OLEH MATA KEPALA.”
(Sebenarnya saya ingin berkata seperti Imam Abu Hanifah di hadapan banyak keluarga muslimin untuk anak-anak mereka… Ya Robb, bimbing dan cukupi kami)
(fath/parentingnabawiyah/arrahmah.com)