MALAWI (Arrahmah.com) – Kamp kumuh Thembehlihle didirikan lebih dari satu dekade yang lalu namun akses terhadap kebutuhan dasar seperti air, tempat berlindung, keamanan, dan perumahan masih menjadi sebuah fatamorgana.
Sebuah laporan dalam berita CII menjelaskan bahwa kamp kumuh yang terletak di kaki pemukiman itu berada di pinggiran kota Lenasia yang kaya yang berpenduduk mayoritas Muslim, namun sangat sedikit Muslim dari pinggiran kota makmur ini telah menginjakkan kaki di kamp tersebut untuk menghabiskan waktu bersama dengan orang Muslim yang miskin itu, sebagaimana dilansir oleh World Bulletin, Rabu (15/7/2015).
Ini terjadi walaupun sejumlah besar populasi Muslim di kamp kumuh itu merupakan orang Malawi Asli.
Muslim yang tinggal di kamp itui juga menghadapi tantangan setiap hari, dimana banyak dari mereka sering mendapatkan serangan xenophobia.
Meskipun tantangan yang dihadapi di bulan Ramadhan lebih berat, tetapi ada seorang pria yang masih peduli terhadap mereka setiap Ramadhan dengan menyediakan buka puasa setiap hari.
Warga Lenasia yang tidak ingin disebutkan namanya itu mengatakan bahwa ia telah memberi makan Muslim di Thembelihle selama bulan puasa sejak tahun 1997.
“Saya telah melakukan ini selama 19 tahun terakhir untuk mendapatkan ridho Allah pada saat yang sama membantu saudara Muslim saya kesempatan untuk mendapatkan makanan yang layak,” katanya.
“Saya melakukan pendekatan kepada 30 wanita di Lenasia untuk menyiapkan makanan selama bulan Ramadhan dan Alhamdulillah kami tidak pernah melewatkan waktu berbuka seharipun di bulan Ramadhan,” tambahnya.
Dalam Islam memberi makan orang yang berpuasa memiliki pahala yang besar dan sang dermawan ini memahami hal tersebut dan memilih tempat dimana banyak Muslim takut untuk mendatangi tempat itu.
“Banyak Muslim yang tinggal di sini mengalami kesulitan sehingga kami mencoba untuk melakukan sesuatu untuk mereka selama bulan Ramadhan,” katanya.
Masjid satu-satunya yang berada di kamp kumuh itu mengalami kesibukan besar menjelang waktu berbuka puasa. Masjid itu sendiri merupakan struktur berwarna-warni yang asing di wilayah tersebut.
Dalam beberapa menit masjid itu sudah penuh dengan jama’ah yang menunggu untuk mengakhiri puasa mereka, dengan kurma dan jeruk.
Jannat Chikaba, Warga Muslim di Thembelihle, yang telah berada di daerah itu selama 17 tahun mengatakan bahwa Ramadan pertamanya di daerah itu benar-benar berat saat hanya ada beberapa Muslim yang tinggal di daerah itu.
“Orang-orang sekarang lebih memahami tentang Ramadhan, pertama kali mereka tidak mengerti apa sebenarnya puasa,” kata Chikaba.
Dia mengatakan bahwa banyak orang Afrika Selatan lokal di kamp itu yang menyaksikan kami berpuasa selama Ramadhan, dan mereka berpikir bahwa kami berpuasa untuk mendapatkan makanan dari Muslim India.
“Ini tidak seperti itu, kami berpuasa karena perintah Allah. Mereka berpikir Ramadan adalah waktu untuk menerima sesuatu tapi kami mencoba untuk meyakinkan mereka bahwa berpuasa adalah untuk mendapatkan pahala dari Allah,” tambahnya.
Abdurasheed Atwabi, seorang imam di kamp kumuh itu, yang merupakan lulusan dari Malawi Islamic Centre di mana ia menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya mengatakan bahwa selama lima tahun ia telah menghabiskan waktu di masjid kamp kumuh itu, dan telah menjadi pembelajaran bagi dirinya.
“Anda belajar lebih banyak dari orang-orang saat Anda bisa membantu mereka yang tidak mampu dan untuk mengajarkan Islam kepada anak-anak,” kata Atwabi.
“Bagi mereka (para jama’ah) bangun dan datang ke sini (masjid) di tempat yang tidak memiliki listrik dan menghabiskan sebagian besar malam berdiri melaksanakan shalat tentu hal yang sulit bagi mereka, tetapi dengan rahmat Allah mereka bisa melakukannya, masjid selalu penuh ,” katanya Atwabi.
(ameera/arrahmah.com)