Perang AS di negara-negara Muslim, seperti Afghanistan dan Irak, ternyata bukan hanya menimbulkan dampak buruk bagi para tentara AS yang dikirim ke medan pertempuran, tapi juga menimbulkan efek negatif bagi keluarga yang ditinggalkan.
Hasil studi yang dilakukan Sandra Martin, profesor bidang kesehatan ibu dan anak di University of North Carolina baru-baru ini mengungkap fakta, meningkatnya kasus-kasus penelantaran anak dan penyiksaan oleh para orang tua yang berprofesi sebagai tentara dan pernah dikirim ke medan perang di Aghanistan dan Irak.
Martin melakukan survei terhadap 1. 771 keluarga tentara sejak awal perang AS di Afghanistan bulan September 2001, dan kemudian perang AS di Irak. Hasil survei menunjukkan kasus-kasus penganiayaan orang tua terhadap anak-anaknya di kalangan keluarga tentara yang salah satu orang tuanya pernah dikirim bertempur ke Afghanistan atau Irak, meningkat sampai 42 persen.
“Penugasan ke medan perang memberikan dampak besar bagi kalangan ibu yang suaminya tentara dan dikirim ke medan pertempuran, ” kata Martin.
Menurutnya, kasus-kasus penelantaran anak naik empat kali lipat, sedangkan kasus-kasus penyiksaan fisik naik dua kali lipat. Penelantaran dan penyiksaan itu dilakukan oleh para ibu pada rentang waktu penugasan suaminya.
Lebih lanjut Martin menjelaskan, perintah Pentagon agar penugasan para tentara AS ke Irak diperpanjang dan lebih sering dilakukan, makin menambah tekanan psikologis bagi para keluarga tentara itu.
Untuk mengantisipasi hal itu, studi yang didanai oleh militer AS itu merekomendasikan agar dicari strategi yang lebih maju agar para keluarga tentara itu bisa menghadapi masa-masa sulit ketika salah satu orangtua tidak berada di tengah mereka. Rekomendasi lainnya, pihak militer memberikan semacam asistensi bagi para keluarga tersebut.
Hasil studi yang dimuat di Journal of the American Medical Association itu juga menemukan fakta bahwa para ibu kulit putih yang suaminya ditugaskan ke medan perang, lebih banyak melakukan penyiksaan terhadap anak-anak mereka dibandingkan para ibu keturunan Negro dan Hispanik.
Para ayah, yang isterinya ditugaskan ke medan perang, lebih memperhatikan anak-anaknya dan cenderung tidak melakukan tindakan sewenang-wenang pada anak-anak mereka. Sayangnya, tentara AS yang di kirim ke medan perang kebanyakan kaum Adam dibandingkan kaum Hawa.
Martin juga menganalisa data pemerintah tentang kasus-kasus penganiayaan anak yang terjadi antara bulan September 2001 sampai akhir tahun 2004, di mana terdapat 1, 1 juta keluarga tentara AS yang memiliki putera-puteri di bawah usia 18 tahun.
Deborah Gibbs dari lembaga riset independent RTI (International in Triangle Park) North Carolina yang mengumpulkan data itu menyimpulkan, perlunya lebih banyak pelayanan bagi para keluarga tentara, ketika salah satu orang tua ditugaskan ke medang perang. Gibbs juga menulis, basis-basis militer AS sudah menerapkan program yang ditujukan bagi kepentingan anak-anak dan keluarga militer.
Namun menurut Martin, program yang dijalankan sekarang belum maksimal. Menjawab kritik Martin, Gibss menjawab, “Meningkatnya tingkat penyiksaan anak-anak terkait dengan penugasan salah seorang orang tua mereka ke medan perang, menunjukkan perlunya peningkatan pelayanan bagi anak-anak dan para orang tua yang beresiko tinggi melakukan kekerasan, ” ujarnya. (ln/thestar)
Sumber: Eramuslim