GAZA (Arrahmah.id) – Krisis listrik yang telah berlangsung selama 18 tahun di wilayah Gaza yang terkepung telah memberikan dampak negatif terhadap kesehatan mental banyak orang yang tinggal di wilayah pesisir tersebut, demikian temuan sebuah penelitian baru-baru ini.
Para peneliti menemukan tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi terjadi pada orang-orang yang terus-menerus mengalami kekurangan listrik. Para peneliti menemukan bahwa perasaan sejahtera masyarakat meningkat seiring dengan meningkatnya akses terhadap sumber energi yang dapat diandalkan.
“Persentase tinggi penduduk Gaza, yang mengalami kekurangan listrik, mengalami kecemasan dan depresi,” kata laporan itu.
Studi ini mensurvei sekitar 350 keluarga yang tinggal di wilayah pesisir, 81 di antaranya hidup dengan pasokan listrik yang terputus-putus.
“Sekitar 93 persen peserta berpendapat bahwa mereka menderita kecemasan sedang-parah atau berat, dibandingkan dengan enam persen populasi umum di Tepi Barat,” kata studi tersebut.
Studi tersebut menambahkan bahwa 44 persen keluarga mengatakan mereka menderita depresi sedang-berat atau berat, dibandingkan dengan 5,6 persen pada populasi umum.
“Kami menemukan bahwa masalah listrik, terutama bila dikombinasikan dengan faktor stres lain yang terkait dengan tinggal di Gaza, menyebabkan masalah kesehatan mental yang serius,” kata rekan penulis Raya al-Dadah, dari Universitas Birmingham, dalam pernyataan pers.
Al-Dadah menekankan bahwa “perhatian harus diberikan pada pengembangan pasokan energi yang berkelanjutan, andal, dan terjangkau untuk kesehatan dan pengembangan masyarakat jangka pendek dan panjang”.
“Sayangnya, akses listrik yang terputus-putus dapat berdampak pada jaringan sosial dan komunitas dalam banyak hal, termasuk mengurangi kesempatan masyarakat untuk belajar atau mengakses layanan kesehatan fungsional,” kata Mazen Abu Qamar, psikolog yang berbasis di Gaza dan salah satu penulis studi tersebut.
“Sangat penting bagi warga Gaza untuk memiliki akses terhadap energi yang andal, tidak menimbulkan polusi, dan terjangkau yang dapat mendukung lapangan kerja, mendorong pembangunan ekonomi, dan membantu mengatasi kemiskinan,” katanya.
Pada 2006, satu-satunya pembangkit listrik yang menghasilkan listrik selama musim panas menjadi sasaran pemboman Israel setelah tentara Israel Gilad Shalit ditangkap, dan semua proyek yang berkaitan dengan penyelesaian krisis listrik tidak dihiraukan.
Sejak itu, warga Gaza sering mengalami pemadaman listrik.
Daerah kantong pesisir, yang dihuni lebih dari 2,3 juta orang tersebut membutuhkan sekitar 500 megawatt setiap hari. Gaza menerima 120 megawatt dari “Israel” sementara satu-satunya pembangkit listriknya menghasilkan 60 megawatt, menurut para pejabat di wilayah tersebut.
Akibatnya, penduduk setempat menerima listrik hanya delapan jam sehari, sedangkan pada musim panas dan musim dingin akan terjadi pemadaman listrik selama 12 jam sehari.
Banyak penduduk Jalur Gaza terpaksa membeli listrik dari generator swasta yang didirikan oleh perusahaan investasi dan tersebar di berbagai wilayah. Harganya yang selangit mencapai sekitar delapan kali lipat dari harga reguler.
Pasokan listrik yang tidak mencukupi telah terjadi di Jalur Gaza selama beberapa dekade, menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB.
Krisis energi akut ini mendorong wilayah tersebut ke ambang bencana yang berdampak buruk terhadap kesehatan, air, dan sanitasi. (zarahamala/arrahmah.id)