(Arrahmah.com) – Para pengamat di fakultas hukum New York University dan Stanford bahwa program drone AS meneror rakyat Pakistan dan program tersebut memiliki “kontraproduktif.”
Kesimpulan laporan teresebut didasarkan pada pengamatan intesif selama sembilan bulan, termasuk dua bulan investigasi di Pakistan, meliputi lebih dari 130 wawancara dengan para korban dan kerabat mereka, saksi mata dan catatan ahli, dan peninjauan mendalam laporan media.
Hasilnya, diketahui bahwa perang drone di Pakistan tidak hanya membunuh dan melukai warga sipil, laporan menemukan bahwa serangan drone membuat trauma para penduduk dan membuat orang-orang menahan anak-anak mereka untuk pergi ke sekolah dan menghindari perkumpulan masyarakat, meskipun mereka tidak melakukan hal-hal yang dianggap salah oleh AS.
Laporan juga menambahkan bahwa ada bukti kuat bahwa serangan drone juga menargetkan para penyelamat yang berusaha menyelamatkan atau mengevakuasi korban dari tempat kejadian, sesuatu yang menurut Christof Heyns, pelapor khusus PBB dalam Ekstra-Yudisial, mengatakan hal itu merupakan kejahatan perang.
“Drone terbang 24 jam sehari di atas masyarakat di barat laut Pakistan (Waziristan), menyerang rumah-rumah, kendaraan, dan tempat-tempat publik tanpa peringatakan,” lapor studi tersebut, dikutip Antiwar. “Keberadaan mereka (drone) meneror para pria, wanita, dan anan ak-anak, meningkatkan trauma psikologi dan kegelisahan di antara masyarakat sipil. Mereka yang hidup di bawah drone harus menghadapi kekhawatiran terus-menerus bahwa serangan mematikan mungkin akan ditembakkan setiap saat, dan sadar bahwa mereka tak berdaya untuk melindungi diri mereka sendiri. Ketakutan-ketakutan ini telah mempengaruhi perilaku.”
Laporan studi menambahkan bahwa, “Serangan-serangan itu pastinya membunuh terduga para pejuang tempur dan mengacaukan jaringan aktor bersenjata. Namun, keprihatinan serius tentang efektifitas dan sifat serangan drone yang kontra-produktif telah meningkat. Jumlah target-target ‘level tinggi’ dalam persentase total korban amat sangat rendah-diperkirakan hanya 2%.” Artinya, korban terbesar adalah warga sipil tak bersenjata.
BBC meringkas beberapa poin utama yang ditemukan dari studi tersebut, di antaranya:
1. Anak-anak dijauhkan dari sekolah karena takut serangan drone.
2. Ada bukti signifikan dari praktek serangan drone yang mana para penyelamat yang tiba di tempat kejadian ditargetkan dalam serangan lanjutan.
3. Drone terbang di atas kepala menyebabkan stres dan ketakutan yang besar di antara masyarakat sipil.
4. Selain kematian atau korban luka, serangan-serangan drone juga menyebabkan kerusakan properti, memperparah kesulitan ekonomi dan trauma perasaan yang dialami para korban luka dan keluarga korban.
Orang-orang menjadi takut untuk menghadiri perkumpulan publik, misalnya saja pemakaman, karena takut serangan drone.
Laporan studi ini memperingatkan bahwa ada masalah hukum serius dalam perang drone yang dilancarkan pemerintahan Barack Obama, dan mendesak transparansi dan reformasi.
“Pemikiran ulang yang signifikan atas target pembunuhan dan kebijakan-kebijakan serangan drone AS, sudah melampaui batas. Para pembuat kebijakan AS, dan masyarakat Amerika, tidak bisa terus mengabaikan bukti mencelakakan sipil dan dampak target pembunuhan dan serangan-serangan drone AS di Pakistan yang kontra-produktif,” kata laporan itu.
CIA, adalah salah satu pihak di tubuh pemerintahan Obama yang diduga berada dibalik program pembantaian menggunakan drone ini, yang dikatakan diselubungi “kerahasiaan.”
Pengadilan AS telah berusaha menyeret CIA ke pengadilan untuk menuntut transparansi program drone, namun CIA tetap bungkam tidak memberikan informasi lebih mendalam. CIA tidak mengkonfirmasi, tetapi juga tidak membantah program drone ini. (siraaj/arrahmah.com)