LONDON (Arrahmah.id) — Grace Parker, perempuan asal Inggris yang berperang melawan mujahidin di Irak dan Afghanistan, diberhentikan secara medis pada 2019 karena menderita PTSD (post-traumatic Stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma dan depresi. Setelah diberhentikan, perempuan 35 tahun ini menghabiskan waktu menjadi tunawisma. Sekarang ia bekerja sebagai pendamping pekerja seks.
Grace menegaskan bahwa tidak cukup yang dilakukan untuk membantu para veteran perang yang mengalami masa-masa sulit karena PTSD dan masalah kesehatan mental lainnya. Ia tak menyalahkan siapa pun.
“Ini adalah pilihan buruk saya sendiri. Tapi saya tak enak terhadap Angkatan Darat ketika saya diberhentikan,” ujarnya, dikutip dari The Sun (9/5/2022).
Ia merasa hanya sebagai angka, dan semua kebaikan yang ia lakukan dilupakan. Tidak banyak wanita di Royal Engineers dan ia mencapai begitu banyak, tetapi rasanya tidak ada apa-apanya.
“Saya mengangguk setuju karena saya sedang menjalani pengobatan. Saya mengalami depresi. Saya sakit selama setahun jadi seharusnya ada sesuatu yang lebih baik untuk tentara selama waktu itu, yang mungkin akan menghentikan saya diberhentikan.”
Grace, dari Sheffield, Inggris, menghabiskan 14 tahun di Angkatan Darat setelah terpilih sebagai rekrutan terbaik. Dia juga mendapat pujian untuk pekerjaan yang luar biasa dengan Royal Engineers pada Operasi Shader di Irak.
Grace mengatakan ibunya berada di RAF (Royal Air Force), sedangkan ayah dan tiga saudara lelakinya di Angkatan Darat. Hal itu yang membuatnya juga berakhir dengan karier militer.
“Saya mendapat masalah dan hampir dikirim ke penjara saat remaja,” ungkap Grace. Ia kemudian mencoba mengembalikan hidupnya ke jalurnya dan bergabung di militer pada usia 19 tahun.
Grace Parker bergabung ke Royal Engineers sebagai pencari ranjau. Ia dinobatkan sebagai rekrutan terbaik di Pirbright, Surrey, kemudian menghabiskan lima tahun sebagai pemberi sinyal di Jerman dan dipromosikan menjadi kopral tombak.
Pada 2009, ia menghabiskan enam bulan di Afghanistan sebagai insinyur tempur, dengan kamp yang diserang secara teratur oleh mujahidin. Ia sempat mengikuti tur ke Falklands dan Kanada.
“Hidup itu luar biasa. Saya kemudian ditempatkan di Warminster di Wiltshire dan dipromosikan menjadi kopral — seorang komandan seksi. Saya sedang menjalani latihan militer di Dataran Salisbury,” ujarnya.
Pada 2015, ia bergabung dengan 22 resimen Insinyur. Di Irak, Grace mendapat pujian dari seorang komandan gabungan untuk pelayanan yang luar biasa.
“Kembali ke rumah, saya dipromosikan menjadi sersan tetapi segalanya segera menurun,” imbuhnya. Grace menjadi stres dan dinyatakan sakit, ia kemudian menjalani terapi.
Di tengah mimpi buruk tentang apa yang dia lihat di Afghanistan dan Irak, dia didiagnosis menderita PTSD dan bipolar.
“Angkatan Darat melakukan yang terbaik, tetapi itu tidak bagus. Saya disuruh pulang. Saya diberhentikan pada 2019. Saya diberikan pelepasan medis yang terhormat secara penuh,” kata dia.
Pernikahannya dengan seorang prajurit berantakan dan Grace menghabiskan waktu di biara. Dia mendapat pekerjaan di sebuah hotel dan belajar keperawatan.
Tetapi selama Covid-19, ia pindah ke ibunya di Bristol. Grace akhirnya mendapatkan kerja sebagai pebdamping pekerja seks pada Februari 2022 dan tak tahu harus berbuat apa. Tugasnya hanya mengantarkan para tamu untuk bertemu dengan pekerja seks di kamar mereka.
“Saya butuh uang dan pengawalan adalah jawabannya. Saya sedang berada di situs kencan ketika seorang pria bertanya apakah saya tertarik untuk menjual jasa. Saya bilang iya,” ujarnya.
Grace Parker mengatakan apa yang ia lakukan untuk bertahan. Namun, ia melihat ke masa depannya. Ia ingin berkuliah. “Saya menabung untuk bepergian,” tegasnya.
Berdasarkan penelitian, gangguan stres setelah trauma ini juga menimpa para anggota regu penolong 9/11di WTC, New York, AS. Menurut para peneliti, selain para anggota regu penolong, PTSD lazimnya ada di kalangan veteran militer.
Para peneliti Stony Brook University menjelaskan bahwa para pasien dengan PTSD harus dipantau penurunan kognitifnya. Saran itu didasarkan kepada penelitian yang secara konsisten menunjukkan bahwa suatu kondisi dapat dipakai memprediksi kondisi lainnya, apalagi setelah pengalaman-pengalaman traumatis.
Penelitian sebelumnya mengkaitkan PTSD, gangguan depresi berat, dan penurunan kemampuan kognitif, tapi penelitian terbaru ini adalah yang pertama kalinya menunjukkan adanya penurunan kognitif pada regu penolong sipil yang bukan karena cedera kepala. (hanoum/arrahmah.id)