(Arrahmah.id) – Presiden Suriah, Ahmad Asy-Syaraa, telah mengambil tiga langkah penting menuju penyatuan kembali Suriah dan menghadapi upaya pemecahannya.
Langkah pertama adalah menggagalkan pemberontakan bersenjata yang dipimpin oleh sel-sel rezim yang telah digulingkan di wilayah pesisir. Pemberontakan ini bertujuan untuk menjatuhkan pemerintahan baru dan memicu perang saudara. Langkah kedua adalah membuat kesepakatan dengan Pasukan Demokratik Suriah (QSD) untuk mengintegrasikannya ke dalam negara baru. Langkah ketiga adalah mencapai kesepakatan dengan warga dan tokoh berpengaruh di Provinsi Suwayda di selatan agar mereka sepenuhnya bergabung dengan institusi negara.
Namun, masalah di selatan Suriah tetap menjadi tantangan besar bagi negara itu akibat langkah-langkah yang telah diambil oleh “Israel” sejak kejatuhan rezim Assad. “Israel” telah menduduki bagian baru dari wilayah Suriah dan berusaha menghasut warga Druze di selatan untuk menentang pemerintahan Presiden Asy-Syaraa.
Meskipun pada awalnya “Israel” berusaha memasarkan tindakannya sebagai bagian dari upaya menghadapi ancaman keamanan yang diklaimnya, strategi “Israel” kini menjadi semakin jelas, terutama setelah Perdana Menteri “Israel”, Benjamin Netanyahu, pada 23 Februari lalu mengumumkan tujuan strategis negaranya di Suriah. Tujuan-tujuan ini mencakup empat target jangka menengah dan panjang:
1. Memantapkan Pendudukan Zona Penyangga di Golan dan Puncak Gunung Sheikh
“Israel” ingin menjadikan keberadaannya di wilayah ini sebagai kenyataan yang diterima dengan menghubungkannya ke ancaman jangka panjang yang diklaimnya berasal dari Suriah, bukan hanya ancaman jangka pendek. Meskipun wilayah yang diduduki baru tidak luas, “Israel” mampu mempertahankannya, baik dengan tujuan menganeksasinya secara permanen maupun untuk memperkuat posisinya dalam negosiasi dengan pemerintahan baru Suriah di masa depan.
2. Menciptakan Perpecahan di Kalangan Druze di Selatan Suriah
“Israel” berupaya menciptakan jurang pemisah yang besar antara komunitas Druze di selatan dan pemerintahan baru sebagai langkah awal dalam mendirikan entitas Druze sebagai zona penyangga antara Suriah dan “Israel”. Dalam rangka mencapai tujuan ini, “Israel” tidak hanya mendorong sentimen separatis di kalangan Druze dan menampilkan dirinya sebagai pelindung mereka, tetapi juga mengajukan usulan agar selatan Suriah dijadikan zona demiliterisasi yang melarang keberadaan tentara Suriah baru di wilayah tersebut. Selain itu, “Israel” berencana mengizinkan warga Druze bekerja di dalam wilayahnya.
3. Menghancurkan Sisa-Sisa Aset Militer yang Kini Dimiliki Pemerintah Suriah
Tujuan ini dimaksudkan untuk melemahkan kemampuan militer negara Suriah pasca kejatuhan rezim Assad, sehingga menghambat upayanya dalam mengontrol seluruh wilayahnya dan menghadapi tantangan keamanan domestik. Tantangan-tantangan ini datang dari berbagai pihak, seperti QSD, sel-sel rezim lama di pesisir, serta kelompok-kelompok bersenjata di selatan. Strategi ini juga termasuk dalam upaya “Israel” untuk mendorong separatisme di berbagai wilayah agar otoritas pusat di Damaskus semakin lemah.
4. Menghambat Pengaruh Turki di Suriah
“Israel” bertujuan untuk membatasi kemampuan Turki dalam memanfaatkan perubahan di Suriah guna memperkuat perannya di kawasan dan bersaing secara geopolitik dengan “Israel” di Timur Tengah. Untuk itu, “Israel” menjalankan beberapa strategi secara bersamaan. Selain mencari pengaruh di kalangan Druze di selatan, “Israel” juga berusaha mendiskreditkan pemerintahan Suriah yang baru agar tidak mendapatkan pengakuan internasional. “Israel” menekan pemerintahan Amerika Serikat yang dipimpin Donald Trump untuk tidak mengakui Presiden Asy-Syaraa, serta memastikan sanksi terhadap Suriah tetap diberlakukan sebagai alat tekanan. Lebih jauh, “Israel” juga mendorong Washington agar mempertahankan kehadiran militer Rusia di Suriah dengan alasan bahwa itu diperlukan untuk menyeimbangkan pengaruh Turki.
Meskipun skenario seperti pembagian Suriah, federalisasi, atau demiliterisasi selatan mungkin tampak sulit direalisasikan, kemungkinan besar “Israel” akan terus menduduki zona penyangga dan Puncak Gunung Sheikh untuk waktu yang lama. “Israel” juga akan memanfaatkan periode panjang yang diperlukan oleh Suriah untuk membangun kembali negara dan institusi keamanannya guna terus melancarkan serangan terhadap berbagai wilayah Suriah dengan dalih menghadapi ancaman potensial atau mencegah senjata jatuh ke tangan kelompok yang dianggap berbahaya oleh “Israel”.
Pendekatan ini membawa risiko besar bagi Suriah dan pemerintahannya yang baru, karena dapat menghambat stabilitas internal serta pembangunan kembali angkatan bersenjata yang kuat. Namun, tampaknya kemungkinan pecahnya perang terbuka dengan “Israel” tidak ada dalam agenda Presiden Asy-Syaraa saat ini. Fokus utama Asy-Syaraa saat ini adalah memastikan keberhasilan transisi politik, membangun kembali negara, serta menjalin hubungan baik dengan Barat guna mengakhiri sanksi dan memulai rekonstruksi Suriah.
Dalam KTT Arab darurat yang diadakan di Kairo, Asy-Syaraa menekankan pentingnya kembali ke Perjanjian Pemisahan Pasukan 1974 antara Suriah dan “Israel”, termasuk penarikan “Israel” dari wilayah-wilayah baru yang mereka duduki setelah kejatuhan rezim Assad. Presiden Asy-Syaraa sedang menjalankan tiga pendekatan utama untuk menghadapi tantangan dari “Israel”:
- Menegaskan komitmennya terhadap Perjanjian Pemisahan Pasukan 1974 untuk menunjukkan niatnya menghindari konfrontasi militer dengan “Israel”.
- Menghambat upaya “Israel” mengeksploitasi perpecahan etnis dan sektarian di Suriah dengan berupaya mengintegrasikan berbagai kelompok dari wilayah timur laut, pesisir, dan selatan ke dalam pemerintahan baru.
- Meningkatkan penerimaan internasional terhadap pemerintahannya guna mendorong komunitas regional dan global untuk menekan “Israel” agar menahan diri dan mengembalikan kondisi di selatan seperti sebelum kejatuhan Assad.
Selain itu, Asy-Syaraa juga berupaya memperluas ruang manuvernya dengan memperkuat hubungan dengan Turki. Meskipun terdapat rencana perjanjian pertahanan bersama antara Suriah dan Turki, Asy-Syaraa masih bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan tersebut karena berbagai pertimbangan. Namun, jika ancaman dari “Israel” terhadap stabilitas dan kesatuan Suriah semakin meningkat, Asy-Syaraa mungkin akan menandatangani perjanjian ini untuk mendapatkan dukungan Turki dalam memperkuat tentara Suriah yang baru.
Kesimpulannya, meskipun ancaman dari “Israel” menimbulkan hambatan besar bagi keberhasilan transformasi politik di Suriah, tantangan ini juga menciptakan peluang bagi Presiden Asy-Syaraa untuk mengembangkan strategi yang lebih menyeluruh dalam menghadapinya. Upayanya untuk memperkuat legitimasi internasional dapat menjadi kunci utama dalam mencegah konflik besar antara Suriah dan “Israel” di masa depan.
__
Artikel ini adalah terjemahan dari artikel berjudul “هذا ما سيفعله الرئيس الشرع لمواجهة إسرائيل” yang ditulis oleh Mahmoud Aloush dan dipublikasikan di Al Jazeera.
(Samirmusa/arrahmah.id)